Repetisi adalah gaya bahasa yang menggunakan kata kunci
yang terdapat di awal kalimat untuk mencapai efek tertentu dalam penyampaian
makna ulangan (sandiwara dan sebagainya). (KBBI)
Aku ingin bebas
Aku ingin terbang ke Angkasa
Aku ingin menari bersama burung
Sepenggal repetisi dalam puisi
di atas terkesan indah. Namun tatkala repetisi itu dilakukan terus menerus
justru memudarkan keindahannya.
Dalam hidup terkadang kita harus melakukan
pengulangan demi pengulangan. Hal tersebut dilakukan dengan berbagai tujuan.
Seperti halnya saat seorang ibu yang terus menerus mengingatkan anaknya untuk
melakukan ini dan itu.
"Salat dulu
nak!", "Makan dulu nak!", "PR nya dikerjakan."
Kata-kata tersebut sering kali terdengar
diucapkan oleh seorang ibu pada anaknya. Hal itu dilakukan karena rasa kasihnya
pada sang anak. Namun di sisi lain si anak tak jarang malah merasa bentuk
perhatian dari ibunya adalah repetisi yang menjengkelkan dan membosankan.
Pengulangan-pengulangan seperti itu
tentunya tidak akan hanya terjadi di lingkungan rumah, di sekolah atau di dunia
kerja pun tak dapat dielakkan. Banyak repetisi membosankan yang mengiringi
keseharian kita. Saking bosannya terkadang membuat kita jadi malas dan tak lagi
peduli.
Jika kita ingat kembali secara umum manusia
adalah makhluk yang terbiasa dengan rutinitas. Meskipun pendekatan pembelajaran
humanisme lebih digaungkan dibandingkan behaviorisme, kita tak bisa sepenuhnya
melepaskan behaviorisme. Dalam pendekatan behaviorisme ada istilah drill
(pengulangan) yang dilakukan untuk mengajarkan sesuatu. Hal ini masih bisa
digunakan sampai sekarang apalagi untuk anak-anak.
Ketika mengajarkan sesuatu pada anak
tentunya kita akan banyak memberikan pengulangan-pengulangan. Salah satu
contohnya saat mengajarkan huruf dan membaca. Kita harus terus menerus untuk
mengingatkan mereka “ini a, ini b, ini c” dan seterusnya. Cara ini cukup
efektif bila mengingat usia dan pola pikir mereka yang masih dalam proses
pembentukan.
Lain halnya jika pada anak yang sudah
menuju remaja. Repetisi justru akan dianggap membosankan karena pada tahap ini anak
sudah memiliki pemikiran spekulasi tentang kualitas ideal yang diinginkan dalam
diri sendiri dan orang lain. Pada tahap ini anak merasa tidak perlu lagi
diingatkan tentang hal-hal yang sudah mereka tahu. Mereka cenderung merasa
jengah jika kita terus menerus mengingatkannya tentang sesuatu.
Lalu apakah yang harus dilakukan? Supaya
semuanya tak lagi menjadi repetisi yang membosankan.
Yang harus kita lakukan adalah mengganti
kata-kata atau susunan kata yang digunakan sehingga repetisi tak lagi terasa
membosankan. Kita juga bisa menggunakan bicara atau cara penyampaian lain yang
lebih berterima. Kepiawaian dalam memilih kata dan menggunakan cara penyampaian
yang berbeda akan lebih membantu. Selain itu kita juga harus melihat terlebih
dulu pada siapa repetisi ini kita berikan. Bagaimana kondisi orang tersebut
juga perlu menjadi pertimbangan.
Mari kita sama-sama belajar agar bisa
menerima segala hal dengan lebih bijaksana. Mari kita belajar lebih memahami
agar repetisi bertujuan baik yang kita terima tak lagi membosankan.