Mengajar di kelas-kelas istimewa memerlukan mood yang bagus. Namun hal itu terkadang sulit diwujudkan. Terlebih lagi saat kelas istimewa itu dihuni oleh 30 remaja yang sedang asyik mencari perhatian dan jati diri.
Tiga hari dalam satu minggu saya harus menjaga mood dengan baik. Hal itu harus saya lakukan agar bisa menyelesaikan seluruh rangkaian jadwal mengajar di hari-hari itu. Hal itu bisa sering bisa dilakukan bila masih berada di jam-jam awal. Lain lagi ceritanya bila masuk di jam terakhir dan cuacanya sangat panas. Beberapa kali saat masuk di jam akhir dengan cuaca yang panas, mood saya rusak dan akhirnya mengomel panjang lebar.😔😔
Saya bukan orang yang bisa bersikap diam atas semua kegaduhan yang mereka buat. Saya tidak bisa tetap tersenyum dan melenggang begitu saja. Itu bukan gaya saya.💃
Kata celembeng dan cerewet lebih sering dilekatkan pada nama saya, dibandingkan kata pendiam. Orang-orang justru akan merasa heran jika saya hanya diam dan tidak bicara. Mereka akan mengira saya sakit padahal sehat-sehat saja. 😎
Jika menilik pada struktur alur semua kecerewetan saya itu masih berada dalam tahap komplikasi (masalah mulai bertumpuk) belum sampai pada tahap klimaks (puncak masalah). Tahap klimaks dari kekesalan dan kemarahan saya adalah diam dan tidak peduli. Saya sering menyebutnya "The Mingkem Show". 😏
Untuk menghadapi kelas istimewa saya sering menyiapkan LKPD (Lembar Kerja Peserta Didik). Hal ini saya lakukan agar mereka dapat beraktivitas dengan teman kelompoknya sehingga tidak terlalu berisik. Meski LKPD yang saya berikan terkadang jawabannya mirip-mirip dengan temannya di kelompok lain.
Setiap selesai mengajar di kelas istimewa rasa-rasanya beban di hati berkurang. Apalagi bila mood saya tetap baik setelah keluar dari sana. Hal ini sangat baik untuk saya. Masih ada kelas lain yang harus saya masuki. Saya tak ingin mood yang rusak membuat pembelajaran di kelas lain terkena imbas.
Di sebuah kelas istimewa pun masih ada anak yang memiliki semangat belajar. Ada satu anak yang membuat saya selalu berusaha untuk menjaga kondusivitas mood. Anak itu tak pernah berkomentar. Akan tetapi, dari wajahnya tampak kekesalan dan kekecewaan. Dia akan menghela napas berat dan hatinya mungkin berkata "heum lagi-lagi ibu marah, lagi-lagi ibu tantrum". 😆
Mengajar di kelas istimewa memang bukan pertama kalinya bagi saya. Selagi masih jadi guru honor pun saya sudah terbiasa diberikan jadwal di kelas istimewa. Namun generasi sekarang adalah generasi yang secara mental jauh lebih manja dibanding generasi sebelumnya. Generasi sekarang cenderung terlalu dalam ketika menanggapi sesuatu. Daya juang mereka jauh lebih rendah. 😢
Remaja sekarang terlalu dininabobokan dengan kecanggihan teknologi. Mereka juga lebih mudah mengakses internet sehingga bahasa-bahasa viral lebih mudah diserap dibandingkan dengan bahasa-bahasa formal. Mereka sering mengucapkan kata-kata yang sedang viral itu meski kadang tidak tahu artinya.
"Pick me", "mewing", "tobrut" kata-kata itu sering mereka ucapkan. Entah itu karena mereka ingin dianggap keren atau menuruti teman. Sebagian dari mereka kadang tidak tahu arti kata-kata itu. Tak jarang kata-kata viral itu menjadi permasalahan di antara para remaja. Belum lagi masalah panggil memanggil nama orang tua. Tak jarang saya menerima pengaduan "Bu si A nyebut-nyebut nama bapak saya, si B menghina ayah saya".
Kalau sudah seperti itu saya hanya mengelus dada dan memegang kepala. Bukan mau triping apalagi ajeb-ajeb. Hal itu saya lakukan untuk membisiki diri saya supaya bersabar. Sayalah orang dewasa di antara mereka. Masa saya harus ikut-ikutan kesal dengan kebocahan mereka.
Rekan-rekan terkadang menggoda saat melihat saya baru keluar dari kelas itu. Karena kelas istimewa itu adalah salah satu tempat menguji kesabaran. Di waktu-waktu istirahat atau senggang kami pun sering bertukar cerita dan saling menertawakan kekesalan masing-masing. Hal itu cukup untuk jadi obat bagi kami para pengajar di kelas istimewa.
Harapan saya untuk kelas istimewa tidak banyak. Saya hanya ingin tetap membersamai mereka hingga pembelajaran di tahun ajaran ini selesai dan tetap sabar. Meski untuk itu usaha saya harus lebih banyak dan tentunya stok sabar saya harus sering diisi ulang. Mudah-mudahan mereka jadi anak-anak yang soleh dan soleha. 💪