Jumat, 13 Juni 2025

Makna Safia untuk Akhtar

    "Meski usiaku lebih muda tak berarti cintaku lebih labil. Kau hanya tak ingin mengakui saja kalau sebenarnya hatimu mulai tergerak." Akhtar tersenyum getir. Dia mengambil ranselnya dari kursi lalu pergi. Meninggalkan Safia tertegun dalam kedalaman makna di balik kata-kata Akhtar.

    Bukan baru kali ini Akhtar pergi dengan hati yang kesal. Dia sudah seperti ini sejak sembilan tahun yang lalu. Meski begitu dia tetap menemui Safia. Dia yakin suatu hari nanti Safia akan merasakan ketulusan hatinya. 

***

    Akhtar ingat pertemuan pertama mereka. Hari itu Akhtar pergi bermain ke rumah Sauqi, sahabatnya. Di teras Akhtar melihat seorang gadis sedang menyiram bunga. Gadis itu tampak begitu asyik dengan kegiatannya. Dia sampai tak menyadari kedatangan Akhtar. 

    “Permisi.... Permisi.... Permisi....” Akhtar berdiri sambil memanggil gadis yang sedang asyik menyiram bunga. Meski Akhtar sudah berkali-kali memanggil gadis itu masih tak mendengar, Akhtar pun menepuk pundaknya. Gadis itu kaget dan secara refleks menyiram Akhtar. 

    “Ma... af ....” Gadis itu meminta maaf saat melihat Akhtar basah kuyup.

    “Tar, kamu lagi ngapain?” Sauqi tertawa melihat sahabatnya basah kuyup.

    “Mandi....” Sahutnya sambil menyeka air dari wajahnya. Dia menatap sebal pada Sauqi yang tertawa ngakak.

    “Pasti kamu bikin kaget Safia?” Sauqi melirik kakaknya yang mematung dan tampak merasa sangat bersalah. “Fia, ambilin handuk sana!” Sauqi meneleng pada Safia yang langsung kabur ke rumah.

    “Siapa dia?” Tanya Akhtar yang baru hari ini melihat Safia. 

    “Kakak perempuanku.” Sauqi menjelaskan sambil menggandeng Akhtar masuk ke rumah.

    “Kakak?” Akhtar terbelalak tak percaya. Gadis itu tampak seumuran dengan Sauqi. 

    “Dia seperti vampir. Wajahnya seperti tidak menua.” Sauqi berkelakar.

    “Mungkin karena mukamu yang kelewat move on.” Akhtar mengacak rambut Sauqi. 

    “Enak saja.” Sauqi berusaha menjauhkan tangan Akhtar dari tangannya. 

    “Sama kakak kok panggil nama.” Akhtar menatap Sauqi tak percaya. Kakak-kakaknya pasti sudah mencincangnya habis kalau dia berani memanggil mereka dengan nama.

    “Udah biasa. Lagi pula hanya beda empat tahun.” Sauqi tertawa. “Nih ganti baju sana!” Sauqi menyerahkan handuk dan baju ganti pada Akhtar. “Sepertinya Fia terlalu malu hingga lupa membawakanmu handuk,” lanjutnya.

    Sejak hari itu Akhtar mulai sering main ke rumah Sauqi. Dia sengaja pergi ke sana untuk melihat Safia. Dia bertanya pada Sauqi apakah Safia sudah punya pacar atau belum. Akhtar merasa sangat senang saat Sauqi mengatakan kakaknya tak punya pacar. 

    “Kamu naksir kakakku?” Tebak Sauqi saat Akhtar makin sering bermain ke rumahnya. Yang ditanya malah asyik memandangi Safia yang sedang Yoga di halaman belakang. “Anak ini!” Sauqi kesal karena merasa diabaikan lalu meninju bahu Akhtar.

    “Apaan sih, qi?” Akhtar mengusap bahunya.

    “Katanya mau main PS. Eh malah ngintipin kakak gue!” Sauqi ngedumel.

    “Makin dilihat Fia makin cantik.” AKhtar tersenyum lebar.

    “Di sekolah banyak yang naksir kamu. Tapi kamu malah suka sama kakakku yang usianya empat tahun di atas kita.” Sauqi geleng-geleng kepala melihat Akhtar.

    “Sudah jangan ribut. Kalau Safia jadi pacarku nanti kamu harus sungkem.” Akhtar membekap mulut Sauqi lalu mengajaknya masuk kembali ke kamar. Hari itu mereka main PS sampai sore.

***

    “Wow. Kamu lagi ngerjain PR.” Mama berdecak saat masuk ke kamar Akhtar dan melihatnya sedang menyelesaikan soal matematika. Sejak dulu Akhtar lebih senang bermain game daripada belajar. Meski begitu nilai-nilainya di sekolah tidak terlalu buruk.

    “Eh mama sudah pulang.” Akhtar nyengir.

    “Baru saja. Tumben kamu mengerjakan PR?” Mama duduk di pinggir tempat tidur lalu memandangi sekeliling kamarnya yang rapi.

    “Mulai sekarang Akhtar mau rajin belajar.”

    “Kamu sedang jatuh cinta ya!” Mama memicingkan mata dan menatap putra bungsunya dengan penuh rasa penasaran.

    “Memang sekentara itu?” Akhtar tersenyum malu.

    “Kamu berubah. Jadi lebih rapi dan lebih rajin.” Mama tersenyum bangga. “Siapa gadis yang membuatmu jadi keren begini?”

    Akhtar tidak menjawab. Dia mengambil ponsel dan menunjukkan sebuah foto.

    “Cantiknya. Dia teman sekolah kamu?” Mama menebak. “Eh, tapi kayanya dia mirip seseorang?” Mama mengetuk-ngetuk keningnya.

    “Kakaknya Sauqi.” Akhtar tertunduk malu.

    “Mama kira dia seumuran kamu.” Mama terbelalak.

    “Tapi enggak apa-apa kan kalau Akhtar suka dia.” Akhtar terlihat murung. Dia takut mama berkomentar tidak menyenangkan.

    “Selama dia memberi pengaruh baik. Lalu apa yang jadi masalah.” Mama tersenyum lalu mengacak rambut Akhtar. “Selesaikan pekerjaanmu. Mama mau menyiapkan makan malam dulu.”

    Sepeninggal mamanya. Akhtar tertegun memandangi foto Safia. Sudah dua tahun dia memendam perasaannya pada Safia. Sampai saat ini Akhtar masih belum berani mengungkapkannya. 

    Nunna  mau pergi?” Akhtar yang baru saja tiba di rumah Sauqi terlihat kecewa. 

    “Iya. Kamu mau main PS ya!” Safia tersenyum pada Akhtar.

    Nunna mau pergi ke mana?” Dia kembali bertanya.

    “Ke nikahan teman. Sudah dulu ya!” Safia meninggalkan Akhtar termenung sendirian saat sebuah motor berhenti di depan halaman. 

    Ternyata Safia menunggu orang itu. Akhtar tertegun saat melihat laki-laki itu membuka penutup helmnya. Bukankah itu Om Zaki, adik bungsu mama. Apakah mereka pacaran? Akhtar bertanya-tanya dalam hati. 

    Ngapain bengong?” Sauqi menepuk pundak Akhtar.

    “Itu siapanya Nunna?” Akhtar masih menatap Safia yang sekarang sudah naik ke motor dan memeluk erat pinggang Om Zaki.

    “Kayaknya pacarnya.” Sauqi tampak tidak yakin. Dia tahu Akhtar pasti kecewa. 

    “Sejak kapan mereka dekat?” Tanya Akhtar kemudian.

    “Entahlah. Baru kali ini aku melihatnya. Nanti aku selidiki!” Sauqi berusaha menenangkan sahabatnya. “Yuk, masuk!” Dia menggandeng Akhtar masuk ke rumah.

***

Sepertinya hubungan Safia dengan Om Zaki semakin dekat. Akhtar merasa sedih tapi tak bisa berbuat apa-apa. Selama ini Safia hanya mengenalnya sebagai sahabat adiknya. Dia tidak tahu kalau Akhtar diam-diam menyukainya.

“Kamu baik-baik saja?” Mama mendatangi Akhtar di kamarnya. 

“Baik!” Akhtar mencoba tersenyum.

“Sepertinya Zaki serius dengan Safia. Kamu harus merelakannya.” Mama mengelus rambut Akhtar dengan penuh kasih.

“Iya mah. Tapi hati Iif sakit sekali. Dia gadis pertama yang Iif suka.” Mata Akhtar berkaca-kaca.

“Mama tahu, Nak. Tapi Fia juga tidak bersalah. Dia bahkan tak tahu kalau kamu menyukainya.” 

“Mama benar.” Akhtar memeluk mamanya. Tanpa terasa air mata makin merebak dan memenuhi pelupuk matanya.

Meski sakit, Akhtar berusaha untuk tegar. Dia tetap bersikap baik dan manis. Safia tidak bersalah. Dia yang terlalu penakut. 

Akhtar mengobati patah hatinya dengan semakin giat belajar dan berolahraga. Dia ingin jadi laki-laki yang bisa diandalkan oleh perempuan yang kelak jadi pasangannya.

“Apa kau tahu kalau Om Zaki berselingkuh?” Sauqi mendatanginya saat Akhtar baru selesai ujian sidang. Sauqi terlihat marah dan kesal.

“Apa maksudmu?” Akhtar menatap Sauqi dengan bingung.

Sauqi tidak menjawab. Dia menunjukkan foto di Instagram Om Zaki. Di ada unggahan yang dikirim oleh seorang perempuan yang bernama Yunita. Perempuan itu membagikan sebuah momen dan menandai Om Zaki. 

Belakangan ini Akhtar sibuk menyelesaikan skripsinya hingga ia jarang pulang. Dia menghabiskan waktunya di perpustakaan atau di kafe. Dia juga menonaktifkan ponselnya supaya konsentrasinya tidak terpecah.

“Mama kenapa?” Akhtar terpana melihat mamanya yang sedang menangis di ruang duduk.

“Pamanmu menghamili perempuan.” Mama meneteskan air mata.

“Maksud mama?” Akhtar duduk dan memandangi mamanya dengan bingung. “

“Dia berselingkuh dengan rekan kerjanya. Perempuan itu hamil dan minta pertanggungjawaban.” Mama menutup wajah dengan kedua tangannya. “Mama malu pada Safia dan keluarganya.” 

“Apa Safia sudah tahu tentang ini?”

“Iya. Tadi dia datang untuk mengembalikan semua barang yang pernah diberikan Zaki padanya.” Mama menunjuk sebuah kardus yang ada di dekat mereka.  “Fia bilang, perempuan itu meneleponnya dan menceritakan semuanya. Dia juga sudah bicara dengan Zaki.”

***

    “Kau baik-baik saja?” Tanya Akhtar saat dia berusaha mengejar Safia yang tengah berlari di lapangan Kerkof. Tadi dia menelepon Sauqi untuk menanyakan keberadaan Safia. Begitu Sauqi memberitahunya kalau Safia tengah berlari di Lapangan Kerkof, Akhtar langsung pergi menemuinya. 

    “Aku baik. Makanya bisa berada di sini.” Sahutnya sambil tersenyum. Senyum yang selalu dirindukan Akhtar. “Pasti Uqi yang memberitahumu!” 

    “Iya. Aku khawatir pada Nunna.” Akhtar mengusap-ngusap kepalanya sendiri. “Aku takut Nunna menangis sendirian di sini.” 

    “Aku tidak serapuh itu.” Safia tersenyum. 

    “Syukurlah!” Akhtar menarik napas lega. 

    “Oh ya bagaimana ujian sidangnya?” Safia mengubah topik pembicaraan.

    “Berjalan dengan lancar.”  Akhtar tersenyum bahagia. “Kudengar Nunna juga baru selesai ujian Tesis?”

    “Iya. Untungnya aku tahu tentang semuanya saat ujianku selesai. Kalau tidak, aku tak tahu bagaimana.” Safia menghela napas lalu tersenyum.  “Aku terlalu fokus dengan Tesisku sehingga sering mengabaikan Zaki.” Lanjutnya sambil berjalan menuju tempat duduk di pinggir lapangan.

    “Kau pasti sangat sedih.” Akhtar mengikuti Safia dan duduk di sampingnya.

    “Beberapa hari yang lalu memang. Namun sekarang aku baik-baik saja. Hubungan kami memang sudah renggang sebelum keberangkatannya ke Jepang. Saat itu Zaki marah karena aku lebih memilih melanjutkan S2 dari pada menikah dengannya dan ikut ke Jepang.” Safia menghembuskan napas beberapa kali.

    “Syukurlah kalau kau baik-baik saja.” Akhtar tersenyum lega. “Kau tahu Nunna, aku selalu ada untukmu. Jika kau butuh seseorang untuk bercerita aku selalu siap mendengarkan.”

    “Terima kasih.” Safia tersenyum.

***

    Dua tahu sudah berlalu sejak putusnya hubungan Safia dan Om Zaki. Kini Akhtar dan Safia lebih sering menghabiskan waktu bersama. Akhtar tak ingin lagi kehilangan kesempatan. Kali ini dia akan memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Akhtar tahu Safia masih ragu padanya tapi dia akan terus berusaha meyakinkannya.

    “Kau masih muda Akhtar. Masih banyak perempuan seusiamu yang lebih pantas untuk kau pacari." Safia tersenyum. Untuk ketiga kalinya Safia mengingatkan Akhtar tentang hal ini. 

    "Meski usiaku lebih muda tak berarti cintaku lebih labil. Kau hanya tak ingin mengakui saja kalau sebenarnya hatimu mulai tergerak." Akhtar tersenyum getir. Dia mengambil ranselnya dari kursi lalu pergi. Meninggalkan Safia tertegun dalam kedalaman makna di balik kata-kata Akhtar.

YN, 13062025


Selasa, 03 Juni 2025

Dulu, Sekarang dan Selamanya (2)

        Sesibuk apapun jangan lupa makan ya!

       Nia minta maaf kalau buat abang kecewa.

       Nia sayang abang, dulu, sekarang dan selamanya.

     Bagas Rabbani hanya melihat pesan yang dikirim Rania. Pikirannya terlalu kacau hingga dia tak tahu harus menjawab apa. Dia tahu Rania pasti sedih karena dia pergi begitu saja. Namun saat ini Bagas ingin menenangkan diri. Dia takut kata-katanya semakin menyakiti hati Rania.

      “Pak, rapatnya sebentar lagi akan dimulai.” Asistennya mengingatkan.

    Bagas mengatur ponselnya ke mode pesawat, mengambil laptopnya dari meja lalu pergi ke ruang pertemuan. Rapat hari itu berlangsung lebih cepat dari biasanya. Semua tim sudah siap dengan pekerjaan masing-masing hingga tak memakan waktu yang lama. 

     Malam itu sepulang kerja, Bagas mampir ke kafe. Di sana dia tertegun memandangi muda-mudi yang sedang asyik mengobrol. Semakin dilihat semakin membuatnya tak enak hati. Gadis di hadapannya membuatnya teringat pada Rania. Bagas pun memutuskan untuk pulang.

***

      “Kalian liburan ke Jogja?” Tanya Bagas saat menerima panggilan video dari ibunya. Papa dan ibu biasanya mengunjunginya di akhir pekan. Namun minggu ini mereka tidak datang karena pergi berlibur.

        “Iya kita sedang di Parang Tritis.” Ibu menunjukkan pantai di hadapannya.

        “Papa sedang bicara dengan siapa?” Bagas menunjuk perempuan muda yang sedang tertawa lebar mendengar ocehan papanya.

       “Oh itu Nia. Guru baru di sekolah papa. Cantik ya?” Ibu tersenyum pada Bagas. 

       “Terus kalau cantik kenapa?” Komentar Bagas tak acuh. Dia tahu makna dibalik kata-kata ibu. Ibu ingin melihatnya segera menikah. Beberapa waktu yang lalu dia juga berusaha menjodohkan Bagas dengan anak temannya.

         “Selain cantik Nia ini baik dan rajin. Ibu dan papa sangat sayang padanya.”

         “Memangnya kenapa kalau ibu dan papa sayang sama dia.” Bagas tetap cuek.

         “Abang ini selalu begitu. Sudah dulu ya, nanti ibu kirimkan foto-foto.”

       Beberapa saat kemudian ibu mengunggah beberapa foto ke instagramnya. Di setiap foto pasti ada perempuan bernama Nia itu. Sepertinya ibu memang sengaja. 

      Bagas pikir perempuan bernama Nia itu hanya sekedar guru baru di sekolah papa. Ternyata dia adalah anak kesayangan mereka. Setiap berlibur pasti mereka mengajaknya. Bagas jadi penasaran seperti apa gadis yang disayangi ibunya ini.

***

      “Ngerti kan sekarang kenapa ibumu sangat sayang padanya?” Papa menepuk pundak Bagas yang tengah tertegun melihat Rania yang sedang tertawa bersama ibu. Mereka sedang asyik menonton drama Korea di TV. “Ibumu seperti menemukan sahabatnya lagi.” Lanjut papa. “Cobalah untuk lebih akrab dengannya.” Bujuk papa.

    Semakin lama kedekatan orang tuanya dengan Nia semakin erat. Terkadang Bagas merasa papa dan ibu lebih menyayangi Nia daripada dirinya. Bagas pun memutuskan untuk mengikuti saran papa untuk mencoba akrab dengannya. Nia ternyata orang yang lucu dan menyenangkan. Dia pandai membuat lelucon dan tidak mudah baper saat digoda olehnya. 

      Awalnya Bagas hanya sekedar penasaran. Lama kelamaan dia mulai terbiasa dengan kehadiran Nia dalam hidupnya. Dia malah sering merasa ada yang kurang kalau sehari saja tak bicara dengannya.

    “Kamu pergi kemah, kok enggak bilang-bilang?” Keluh Bagas setelah dia melihat unggahan di IG Nia. Di unggahannya Nia berfoto dengan anak-anak dan teman-temannya.

   “Waktu itu Nia cerita kalau anak-anak Pramuka akan melaksanakan pelantikan Bantara.” Nia mengingatkan.

    “Berapa hari di sana?” Bagas mengganti topik. Bagas tidak ingin Nia tahu kalau sebenarnya dia merasa kesal.

       “Sampai minggu pagi. Memangnya kenapa?”

    “Tadinya abang mau pulang dan mengajak Nia main ke Cicereum. Tapi sepertinya tidak jadi. Mungkin minggu depan.”

      “Minggu depan Nia mau ke Tasik, kakak Nia mau menikahkan anaknya.”

   “Berarti harus menunggu dua minggu lagi.” Bagas menghela napas dengan berat. Mereka sudah tidak bertemu selama dua minggu. Dua minggu kemarin Bagas sibuk jadi dia harus tetap bekerja di akhir pekan.

    “Kenapa abang enggak ke sini saja. Nanti kita main ke curug.” Nia menyarankan.  “Sudah dulu ya. Pak Alek mengajak rapat.” Nia memutuskan pembicaraan.

     Mendengar nama Alek disebut, Bagas menjadi tak tenang. Dia ingat foto yang diunggah Nia. Di samping Nia berdiri seorang lelaki. Sepertinya dia guru baru yang diceritakan papa. Dia pun menelepon papanya.

      “Pa, Nia pergi kemah?”

     “Iya. Besok papa sama ibu juga mau menengok ke sana. Minggu ini kamu juga tidak pulang?” 

       “Malam ini Bagas pulang. Bagas ikut ya ke tempat kemah.”

    “Oke kamu pasti kangen ya sama Nia. Makanya cepat-cepat dihalalin nanti keburu diambil orang. Nia cukup populer di sekolah. Teman-teman papa juga sudah ada yang bertanya tentang Nia. Mereka berencana mengambilnya sebagai menantu.”

       “Terus papa jawab apa.” Bagas panas hati mendengar cerita papanya.

     “Papa bilang terserah Nia. Kalau memang Nia mau nanti papa akan mengenalkannya.”

     “Loh kok gitu sih, pa. Papa enggak mau punya menantu seperti Nia?”

    “Bukannya enggak mau, tapi kamunya yang kurang respon. Papa kasihan kalau Nia terus nunggu kamu. Apalagi kata ibu, sebelumnya Nia pernah patah hati karena ditinggal nikah.”

      “Lain kali kalau ada yang tanya lagi tentang Nia. Bilang dia calonnya anak saya.”

      “Abang yakin?”

      “Yakin.”

***

Bagas menunda kepulangannya ke Bandung karena dia di telepon bosnya. Dia harus menghadiri pertemuan di Jakarta. Dengan berat hati dia pun menghubungi papa dan memintanya untuk menjaga Nia. Dia meminta papa menjauhkan Nia dari laki-laki yang mencoba mendekatinya. Papa dan ibu tertawa mendengar permintaannya tapi Bagas tak peduli. 

Papa dan ibu yang mengenalkan Nia padanya. Mereka secara terang-terangan berusaha membuat Bagas tertarik padanya. Sekarang begitu dia mulai merasa suka, masa mereka tidak mendukungnya.

Saat Nia datang berkunjung dengan ibu tiga minggu berikutnya setelah acara kemah, Bagas langsung mengambil kesempatan. Dia memberikan Nia cincin untuk memberi tanda bahwa dia serius dengan perasaannya. 

Setelah menikah Bagas dan Nia memang tetap tinggal berjauhan. Pekerjaan Bagas tak memungkinkannya untuk pindah ke Majalengka. Nia juga belum bisa pindah ke Bandung karena belum lima tahun bertugas. Akhirnya mereka menyepakati untuk bertemu di akhir pekan. Kadang Nia yang pergi ke Bandung, di lain waktu Bagas yang pulang ke Majalengka. Meski begitu komunikasi di antara mereka tetap berjalan dengan lancar. 

Masalah mulai muncul saat tahun kedua pernikahan mereka. Perusahaan Bagas semakin berkembang. Dia jadi semakin sibuk hingga lebih jarang pulang. Nia-lah yang lebih sering mengunjunginya di Bandung. Meski begitu mereka tetap tidak bisa menghabiskan waktu bersama karena Bagas harus pergi kerja. Karena kasihan pada Nia, akhirnya Bagas meminta Nia untuk tidak datang kalau dia sibuk.

Sudah satu bulan Bagas tidak bertemu dengan dia. Dia merasa sangat kangen padanya. Begitu ada waktu Bagas pun memutuskan untuk pulang ke Majalengka. Bagas sengaja tidak memberitahu Nia kalau dia akan pulang. Dia ingin memberinya kejutan. Yang terjadi malah Bagas yang mendapat kejutan. 

Nia tidak ada di rumah saat dia pulang. Kata ART di rumah papa, Nia pergi berlibur bersama papa dan ibu. Mereka baru pulang keesokan harinya. Bagas merasa kesal dan secara tidak sengaja mentakan kata-kata itu. Kata-kata yang seharusnya tak boleh dia katakan.

Bagas yang salah. Dia yang tidak memberitahu Nia tentang kepulangannya. Dia yang meminta Nia untuk tidak ke Bandung. Sekarang dia juga yang marah.

***

Dua minggu berlalu sejak pesan terakhir yang dikirim Nia. Sepertinya Nia menyerah untuk mengiriminya pesan. Bagas menjadi tidak tenang. Jangan-jangan Nia mulai bosan dan menyerah padanya. Ini tidak boleh terjadi. Bagas tak mau kehilangan Nia. Dia harus menemui Nia dan memohon ampun padanya.

Begitu jam kerjanya selesai Bagas langsung pulang ke rumah. Dia berencana untuk istirahat sebelum memulai perjalanan ke Majalengka. Setelah memarkirkan mobilnya Bagas segera masuk ke rumah. Langkahnya menuju kamar terhenti saat melihat Nia sedang duduk menonton TV.

“Sudah pulang, bang?” Nia berdiri lalu menghampiri Bagas dan memeluknya. “Nia ambilkan minum, ya!” Nia melepaskan pelukan tapi Bagas menahannya.

“Jangan pergi. Biarkan aku memelukmu lebih lama.” Bagas menyurukkan kepala di rambut Nia. 

      “Abang pasti lelah!” Nia mengusap punggung Bagas dengan penuh sayang. “Sebaiknya abang duduk!” Nia mengajaknya duduk di sofa. Kali ini Bagas menurut. Dia memandangi Nia yang berjalan mengambil air ke dapur.

       “Minumlah!” Nia menyerahkan gelas berisi air lalu duduk di samping Bagas.

     “Terima kasih.” Bagas meminum air hingga habis lalu menyimpan gelas di meja dan beralih menatap Nia. “Abang minta maaf. Abang egois.” Bagas membuka pembicaraan. “Abang takut kehilangan Nia. Abang cinta sama Nia.” Suara Bagas berubah menjadi serak. Mata besarnya berkaca-kaca.

     “Akhirnya Nia mendengar kata-kata ini.” Nia tersenyum lalu mengulurkan tangan untuk menyeka air mata yang menggenang di pelupuk mata Bagas. “Nia juga cinta sama abang. Nia menikah sama abang karena cinta bukan karena papa dan ibu.” Lanjut Nia.

      “Abang juga nikah sama Nia karena cinta bukan karena papa dan ibu. Maaf, abang enggak pandai berkata-kata. Seharusnya sejak dulu abang mengatakan hal ini.” Bagas tertunduk malu lalu tersenyum.

       “Tidak apa-apa.” Nia meraih Bagas ke pelukan dan mengusap kepalanya penuh kasih. “Oh ya, bang. Kata papa, tahun depan Nia sudah bisa pindah. Papa sudah menghubungi sekolah yang ada di Bandung. Nanti kita jalan-jalan ke sekolah itu ya.”

     “Benarkah?” Bagas menengadah dan menatap Nia yang mengangguk. “Semoga berjalan lancar. Abang tak sanggup lagi berjauhan dengan Nia.” 


YN, 3-4 Juni 2025


Dulu, Sekarang dan Selamanya (1)

“Sebenarnya siapa yang kau nikahi?” Bagas menatap Rania dengan wajah yang penuh rasa kecewa. Dia menghembuskan napas dengan kasar lalu memasukkan semua pakaian yang ada di atas tempat tidur ke dalam tas. “Aku menyempatkan diri untuk pulang tapi kau malah pergi berlibur bersama papa dan ibu.” Lanjutnya dengan wajah yang makin suram.

“Aku kira abang tidak akan pulang karena sibuk dengan pembukaan cabang baru.” Rania memegang tangan Bagas yang sedang mengemasi pakaian. 

“Kau selalu begitu. Kau selalu punya waktu untuk kedua orang tuaku.” Bagas menjauhkan tangan Rania dari tangannya. “Mungkin sebaiknya kita tidak bertemu untuk beberapa waktu.”

“Tapi mengapa?” Rania menatap Bagas dengan bingung. 

“Seperti yang kau bilang tadi, aku sibuk dengan pembukaan cabang baru. Aku tak akan pulang untuk beberapa minggu.” Bagas menenteng ranselnya lalu meninggalkan Rania yang kebingungan.

Setelah Bagas pergi, Rania tertegun di pinggir tempat tidur sambil memegang cincin di jari manisnya. Rania bingung kenapa Bagas marah. Bukan baru pertama kali Rania pergi liburan bersama papa dan ibu. Biasanya malah Bagas yang menyarankan agar Rania ikut berlibur karena Bagas tak bisa menemaninya. 

Sudah hampir dua tahun mereka menikah. Meski begitu Rania masih tak tahu apakah Bagas menikahi dia karena memang menyukainya atau karena orang tuanya menyukai dia.

***

Fairuz Rania adalah anak keenam dari enam bersaudara. Ibunya meninggal saat dia lulus SMA dan ayahnya menyusul empat tahun kemudian. Semua kakaknya sudah berkeluarga. Satu tahun setelah lulus kuliah dia mendaftar CPNS dan lulus. Dia ditugaskan di sebuah SMA di daerah Majalengka.

“Nia, kau yakin akan pergi ke sana?” Tanya kakak pertamanya yang sudah seperti pengganti ibu.

“Tentu saja. Bukankah bapak berpesan agar aku juga bekerja menjadi guru seperti kakak-kakakku.” 

“Ambil saja Nia, nanti juga kau bisa pindah lagi ke Garut.” Kakaknya yang keempat memberinya semangat. 

Rania memang ingin pergi dari Garut. Dia ingin melupakan semua kenangan pahit. Dia tidak mau teringat lagi pada Fariz yang telah meninggalkannya untuk menikahi sahabatnya. Lagi pula dia sudah tak punya siapa-siapa lagi di sana. Semua kakaknya sudah memiliki keluarga masing-masing. 

Ketika lapor diri ke SMA, dia mengobrol cukup lama dengan kepala sekolah. Beliau ternyata memiliki rumah kontrakan di dekat sekolah. Beliau menawarkan salah satu rumah itu pada Rania. Rania pun melihat-lihat ke sana. Dia merasa cocok dengan tempat itu dan memutuskan untuk tinggal di sana.

“Ini yang namanya Rania?” Istri kepala sekolah yang bernama Bu Rasti menghampiri Rania saat dia berada di kamar kos yang ditunjukkan kepala sekolah.

“Iya, salam kenal.” Rania menyalaminya dengan penuh hormat.

“Semoga betah ya!” Bu Rasti menggenggam tangan Rania dengan penuh kehangatan.

Kepala sekolah dan istrinya ternyata orang yang ramah dan perhatian. Rania merasa mendapat orang tua lagi. Meski jauh dari tempat kelahirannya, Rania mulai merasa betah. 

“Ibu senang sekali bisa punya teman nge-gym lagi.” Akunya saat Rania menemaninya berolahraga di pusat kebugaran yang ada di kompleks kontrakan rumah milik Bu Rasti. 

“Memang biasanya ibu pergi dengan siapa?” Tanya Rania sambil menyeka keringat yang bercucuran di dahinya.

“Dulu biasanya pergi sama Abang. Nia tahu sendiri sekarang abang kerja di Bandung. Dia jarang pulang.” Bu Rasti mengeluhkan putra tunggalnya yang bekerja sebagai manajer pemasaran di Bandung.

“Mungkin abang sibuk, bu.” Rania berusaha menghiburnya.

“Sepertinya begitu.” Bu Rasti menghela napas. “Atau mungkin dia bosan ditanya kapan nikah.” Bu Rasti tertawa dan tawanya menular. “Jangan-jangan Nia juga jarang pulang karena itu ya?” Bu Rasti menatap Rania.  

Rania tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Dugaan Bu Rasti memang benar. Dia malas pulang karena kakak-kakaknya selalu bertanya tentang pernikahan. Rania mulai bosan menjawab pertanyaan mereka.

“Nia liburan ini mau ikut ke Bandung?” Tanya Bu Rasti saat mereka keluar dari pusat kebugaran.

“Liburan ini rencananya Nia juga mau ke sana. Kakak Nia yang ketiga tinggal di sana.”

“Kita pergi bareng saja dari sini. Sekalian ibu mau mengenalkan Nia sama abang.” Bu Rasti tersenyum. “Tenang saja. Ibu hanya ingin kalian berkenalan tidak lebih.” Bu Rasti meremas tangan Rania yang menampakkan wajah kaku.

“Baiklah.” Rania tersenyum lalu mengikuti Bu Rasti meninggalkan halaman pusat kebugaran.

Rania tahu semua orang sedang berusaha mencarikan pasangan untuknya. Kakak-kakaknya bergantian mengenalkan dia pada kenalan mereka. Sampai sekarang belum ada satu pun yang menarik hatinya. Kakak keempatnya bahkan berpendapat Rania belum bisa melupakan Fariz.

Hubungan Rania dan Fariz berawal sejak masuk SMA dan berakhir saat Rania lulus kuliah. Fariz dan Rania kuliah di tempat yang berjauhan. Rania kuliah di Bandung sementara Fariz kuliah di Jogja bersama sahabat Rania, Tasya. Mungkin dari situlah awal kedekatan Fariz dan Tasya.

Rania tak pernah menyangka pacar yang telah menemaninya sejak SMA ternyata memilih untuk menikahi sahabatnya. Rania tak pernah menduga kalau selama ini mereka berselingkuh di belakangnya. Dia hanya tahu kalau Tasya punya pacar tapi tak pernah bertemu dengannya. Ternyata pacarnya itu adalah Fariz. 

***

“Nah ini yang namanya Rania.” Bu Rasti menunjuk Rania yang berdiri di sampingnya.

“Oh jadi ini yang namanya Rania?” Bagas, anaknya Bu Rasti menyalami Rania sambil tersenyum misterius. “Saya Bagas Rabani, anaknya Bu Rasti.”

“Fairuz Rania.” Rania menerima uluran tangan Bagas yang mengajaknya bersalaman.

“Gantengan mana sama bapak?” Pak Zami, kepala sekolah yang juga suaminya Bu Rasti, berdiri di samping Bagas dan mengerling jenaka pada Rania.

Rania tidak menjawab, dia hanya tertawa. Pak Zami memang orang yang senang bercanda. Sikapnya itulah yang membuat mereka lebih mudah akrab. Guru-guru di sekolah bahkan selalu menggodanya dengan sebutan ‘anak ketemu gedenya Pak Kepala’.

“Tentu saja lebih ganteng Abang.” Bu Rasti menggandeng lengan anaknya. Yang digandeng tersenyum geli.

Hari itu adalah pertemuan pertama Rania dan Bagas. Kesan pertama Rania saat bertemu dengan Bagas biasa saja. Rania cukup tahu diri. Orang seperti Bagas mana mungkin tertarik padanya. Jika dia bersikap akrab, mungkin itu hanya cara dia menghormati orang yang dikenalkan orang tuanya.

“Nia, boleh kan aku panggil begitu?” Bagas menatap Rania yang sedang makan croissant. Rania mengangguk sambil menyeka bibirnya dengan tisu. Sepertinya Rania takut remahan croissant tertinggal di bibirnya. “Kamu tidak bosan selalu menghabiskan waktu dengan ibuku?” Tanyanya kemudian. Sudah beberapa  kali Bagas mendengar kalau ibunya sering mengajak Rania pergi belanja atau berlibur.

“Nia senang bisa menghabiskan waktu dengan ibu. Ibu Nia sudah meninggal enam tahun yang lalu. Kehadiran ibu membuat rasa kangen Nia pada almarhum ibu berkurang.”

“Memangnya kamu tidak punya pacar?” Tanya Bagas dengan penuh rasa penasaran. Gadis secantik dan semanis Rania tak mungkin tidak memiliki penggemar. 

“Saat ini Nia memang tidak punya pacar.” 

Bagas tersenyum mendengar jawaban Rania.

Sejak hari itu mereka mulai sering berkirim pesan. Mereka berbagi cerita tentang kegiatan mereka sehari-hari. Bagas juga jadi lebih sering pulang. Mereka terkadang pergi liburan bersama papa dan ibu. 

Awalnya Rania agak canggung jika bertemu dengan Bagas. Lama kelamaan dia mulai merasa nyaman dan betah. Dia pun sudah tidak canggung lagi saat memanggilnya dengan sebutan abang. Rania juga sudah terbiasa memanggil kedua orang tua Bagas dengan panggilan yang sama dengan Bagas, papa dan ibu.

“Sedang apa, Non?” Tanya Bagas suatu malam saat dia melakukan panggilan video dengan Rania. Seiring makin akrab Bagas tak lagi memanggilnya Nia. Kini dia sering memanggilnya dengan sebutan Non.

“Sedang mengolah nilai rapor.” Rania menunjuk laptop di hadapannya.

“Rajinnya calon menantu papa.” Bagas menggoda Rania menggunakan julukan yang selalu diucapkan papanya. 

“Nanti keburu ditagih wakasek kurikulum.” Rania terkekeh geli.

“Laporkan saja pada papa.”

“Idih ngapain. Nanti yang ada aku semakin digodain.” Rania mencibir dan Bagas pun tertawa. “Oh ya Hari Kamis Nia mau ke Bandung sama Ibu.”

“Iya. Ibu sudah cerita. Kali ini kamu menginap di mana?” Bagas bertanya begitu karena biasanya Rania menginap di rumah kakaknya setiap ke Bandung. 

“Ya di rumah Teh Dina seperti biasa.”

“Kenapa tidak di tempatku saja.”

“Rumah abang kamarnya hanya dua, nanti Nia tidur di mana?”

“Di kamar abang lah. Biar abang tidur di sofa.”

“Mana bisa begitu. Nanti badan atletis abang jadi pegal-pegal.”

“Harus ya ditambahin kata atletis.” Bagas memicingkan matanya.

“Emang iya sih badan abang kaya atlet.” Nia tertawa, “Nia enggak enak kalau numpang menginap di rumah abang. Nanti apa kata orang.”

“Iya makanya kita harus segera nikah. Biar kalau liburan nanti bisa hemat tempat enggak usah menyewa tiga kamar.” Bagas tertawa.

“Memangnya abang sudah yakin mau nikahin aku?” 

“Lihat saja nanti. Sudah dulu ya ada panggilan masuk dari bosku.” Sahutnya sambil memutuskan panggilan video.

Selama ini Bagas tak pernah menyatakan perasaan padanya. Namun semua sikapnya membuat Rania berpikir bahwa Bagas menganggapnya lebih dari sekedar teman. Kedua orang tuanya juga sering mengutarakan keinginan mereka untuk menjadikan Rania sebagai menantu. Meski begitu Rania tidak terlalu menanggapi keinginan mereka. Rania bukannya tidak tertarik pada Bagas. Namun dia ingin Bagas memilihnya sendiri bukan atas desakan orang tuanya.

***

Sabtu siang Bagas mengajak Rania dan ibunya makan siang di mal. Setelah masuk ke restoran yang dimaksud, dia minta izin pada ibu untuk mengajak Rania ke suatu tempat. 

“Toko perhiasan?” Rania menatap Bagas bingung. Mengapa tiba-tiba dia mengajaknya ke sini. Sepertinya Bagas ingin meminta Rania memilihkan hadiah untuk ibu, pikirnya.

“Cincin mana yang kamu suka?” Tanya Bagas saat mereka sudah berada di dalam toko.

“Cincin?” Rania mengernyit. Mengapa tiba-tiba Bagas menanyainya tentang cincin. Rania memandangi cincin-cincin indah yang ada di etalase. Semua cincin itu indah. Dia jadi bingung sendiri.

Karena Rania hanya diam, Bagas pun meminta karyawan toko untuk mengeluarkan beberapa cincin yang ditunjuknya. Setelah itu dia mencobakan cincin-cincin itu di jari manis Rania. Bagas berdecak saat melihat cincin yang dirasanya cocok untuk digunakan Rania.

“Saya pilih yang ini.” Bagas menunjuk cincin itu lalu menyerahkan kartu debitnya pada karyawan.

“Mau langsung dipakai, pak?” Tanya karyawan begitu pembayaran selesai.

“Iya.” Sahut Bagas. 

“Ini maksudnya apa?” Tanya Rania begitu mereka keluar dari toko.

“Ini tanda kalau kamu sudah ada yang punya.” Bagas tersenyum lalu mengajak Rania menemui ibu yang sudah menunggu mereka untuk makan di restoran. 

“Akhirnya!” Ibu tersenyum bahagia saat melihat cincin di jari manis Rania. “Jadi Nia Ibu harus melamarmu ke mana? Garut? Bandung? Tasik? Jakarta atau Surabaya?” Ibu menyebutkan tempat tinggal kakak-kakak Rania.

“Ke Garut saja. Ke rumah Teh Alma.”

Satu minggu kemudian Bagas dan keluarganya datang meminang Rania ke Garut. Setelah pembicaraan panjang akhirnya mereka memutuskan untuk menikah di bulan Juni, dua bulan kemudian.

Hubungan Bagas dan Rania berjalan cukup harmonis meski mereka harus berjauhan. Semakin mengenalnya Rania semakin menyayangi Bagas. Bagas selalu memperlakukannya dengan penuh kasih.

***

“Nia, kamu baik-baik saja?” Ibu mengunjungi Rania di rumahnya. 

“Baik bu. Memangnya kenapa?” Rania yang sedang menyeduh kopi menoleh pada ibu. “Ibu mau?” Tawarnya.

“Ibu sudah minum tadi sama papa.” Ibu duduk di kursi yang ada di dekat pantry. “Nia, abang kok enggak kelihatan?” Ibu larak-lirik mencari.

“Abang sudah kembali ke Bandung. Katanya ada rapat mendadak.”

“Oh begitu ya. Padahal abang baru datang kemarin.” Ibu terdengar kecewa.

“Rapatnya mendadak.”

“Oh begitu. Ibu kira abang marah karena saat pulang Nia malah sedang berlibur dengan ibu.” 

“Enggak kok.”

“Nia kalau ada masalah bicarakan baik-baik ya. Ibu sangat menyayangi kalian berdua. Kalau ada apa-apa ibu tak akan memihak salah satu di antara kalian.”

“Iya bu, terima kasih.”

Hari itu setelah ibu pulang Rania mengecek ponselnya. Ternyata tak ada satu pun pesan yang dikirim Bagas. Tidak biasanya dia seperti itu. Sepertinya Bagas benar-benar marah. Sesibuk apapun dia selalu menyempatkan diri untuk mengiriminya pesan.

Sesibuk apapun jangan lupa makan ya!

Nia minta maaf kalau buat abang kecewa.

Nia sayang abang, dulu, sekarang dan selamanya.

Rania mengirimkan beberapa pesan tapi tak satu pun yang dibalas oleh Bagas. Akhirnya Rania menyerah. Dia pun menyibukkan diri dengan pekerjaan di sekolah. Sebentar lagi Asesmen Akhir Tahun, Rania harus segera membuat soal.



















Dulu, Sekarang dan Selamanya (2)

Sesibuk apapun jangan lupa makan ya!

Nia minta maaf kalau buat abang kecewa.

Nia sayang abang, dulu, sekarang dan selamanya.

Bagas hanya melihat pesan yang dikirim Rania. Pikirannya terlalu kacau hingga dia tak tahu harus menjawab apa. Dia tahu Rania pasti sedih karena dia pergi begitu saja. Namun saat ini Bagas ingin menenangkan diri. Dia takut kata-katanya semakin menyakiti hati Rania.

“Pak, rapatnya sebentar lagi akan dimulai.” Asistennya mengingatkan.

Bagas mengatur ponselnya ke mode pesawat, mengambil laptopnya dari meja lalu pergi ke ruang pertemuan. Rapat hari itu berlangsung lebih cepat dari biasanya. Semua tim sudah siap dengan pekerjaan masing-masing hingga tak memakan waktu yang lama. 

Malam itu sepulang kerja, Bagas mampir ke kafe. Di sana dia tertegun memandangi muda-mudi yang sedang asyik mengobrol. Semakin dilihat semakin membuatnya tak enak hati. Gadis di hadapannya membuatnya teringat pada Rania. Bagas pun memutuskan untuk pulang.

***

“Kalian liburan ke Jogja?” Tanya Bagas saat menerima panggilan video dari ibunya. Papa dan ibu biasanya mengunjunginya di akhir pekan. Namun minggu ini mereka tidak datang karena pergi berlibur.

“Iya kita sedang di Parang Tritis.” Ibu menunjukkan pantai di hadapannya.

“Papa sedang bicara dengan siapa?” Bagas menunjuk perempuan muda yang sedang tertawa lebar mendengar ocehan papanya.

“Oh itu Nia. Guru baru di sekolah papa. Cantik ya?” Ibu tersenyum pada Bagas. 

“Terus kalau cantik kenapa?” Komentar Bagas tak acuh. Dia tahu makna dibalik kata-kata ibu. Ibu ingin melihatnya segera menikah. Beberapa waktu yang lalu dia juga berusaha menjodohkan Bagas dengan anak temannya.

“Selain cantik Nia ini baik dan rajin. Ibu dan papa sangat sayang padanya.”

“Memangnya kenapa kalau ibu dan papa sayang sama dia.” Bagas tetap cuek.

“Abang ini selalu begitu. Sudah dulu ya, nanti ibu kirimkan foto-foto.”

Beberapa saat kemudian ibu mengunggah beberapa foto ke instagramnya. Di setiap foto pasti ada perempuan bernama Nia itu. Sepertinya ibu memang sengaja. 

Bagas pikir perempuan bernama Nia itu hanya sekedar guru baru di sekolah papa. Ternyata dia adalah anak kesayangan mereka. Setiap berlibur pasti mereka mengajaknya. Bagas jadi penasaran seperti apa gadis yang disayangi ibunya ini.

***

“Ngerti kan sekarang kenapa ibumu sangat sayang padanya?” Papa menepuk pundak Bagas yang tengah tertegun melihat Rania yang sedang tertawa bersama ibu. Mereka sedang asyik menonton drama Korea di TV. “Ibumu seperti menemukan sahabatnya lagi.” Lanjut papa. “Cobalah untuk lebih akrab dengannya.” Bujuk papa.

Semakin lama kedekatan orang tuanya dengan Nia semakin erat. Terkadang Bagas merasa papa dan ibu lebih menyayangi Nia daripada dirinya. Bagas pun memutuskan untuk mengikuti saran papa untuk mencoba akrab dengannya. Nia ternyata orang yang lucu dan menyenangkan. Dia pandai membuat lelucon dan tidak mudah baper saat digoda olehnya. 

Awalnya Bagas hanya sekedar penasaran. Lama kelamaan dia mulai terbiasa dengan kehadiran Nia dalam hidupnya. Dia malah sering merasa ada yang kurang kalau sehari saja tak bicara dengannya.

“Kamu pergi kemah, kok enggak bilang-bilang?” Keluh Bagas setelah dia melihat unggahan di IG Nia. Di unggahannya Nia berfoto dengan anak-anak dan teman-temannya.

“Waktu itu Nia cerita kalau anak-anak Pramuka akan melaksanakan pelantikan Bantara.” Nia mengingatkan.

“Berapa hari di sana?” Bagas mengganti topik. Bagas tidak ingin Nia tahu kalau sebenarnya dia merasa kesal.

“Sampai minggu pagi. Memangnya kenapa?”

“Tadinya abang mau pulang dan mengajak Nia main ke Cicereum. Tapi sepertinya tidak jadi. Mungkin minggu depan.”

“Minggu depan Nia mau ke Tasik, kakak Nia mau menikahkan anaknya.”

“Berarti harus menunggu dua minggu lagi.” Bagas menghela napas dengan berat. Mereka sudah tidak bertemu selama dua minggu. Dua minggu kemarin Bagas sibuk jadi dia harus tetap bekerja di akhir pekan.

“Kenapa abang enggak ke sini saja. Nanti kita main ke curug.” Nia menyarankan. “Sudah dulu ya. Pak Alek mengajak rapat.” Nia memutuskan pembicaraan.

Mendengar nama Alek disebut, Bagas menjadi tak tenang. Dia ingat foto yang diunggah Nia. Di samping Nia berdiri seorang lelaki. Sepertinya dia guru baru yang diceritakan papa. Dia pun menelepon papanya.

“Pa, Nia pergi kemah?”

“Iya. Besok papa sama ibu juga mau menengok ke sana. Minggu ini kamu juga tidak pulang?” 

“Malam ini Bagas pulang. Bagas ikut ya ke tempat kemah.”

“Oke kamu pasti kangen ya sama Nia. Makanya cepat-cepat dihalalin nanti keburu diambil orang. Nia cukup populer di sekolah. Teman-teman papa juga sudah ada yang bertanya tentang Nia. Mereka berencana mengambilnya sebagai menantu.”

“Terus papa jawab apa.” Bagas panas hati mendengar cerita papanya.

“Papa bilang terserah Nia. Kalau memang Nia mau nanti papa akan mengenalkannya.”

“Loh kok gitu sih, pa. Papa enggak mau punya menantu seperti Nia?”

“Bukannya enggak mau, tapi kamunya yang kurang respon. Papa kasihan kalau Nia terus nunggu kamu. Apalagi kata ibu, sebelumnya Nia pernah patah hati karena ditinggal nikah.”

“Lain kali kalau ada yang tanya lagi tentang Nia. Bilang dia calonnya anak saya.”

“Abang yakin?”

“Yakin.”

***

Bagas menunda kepulangannya ke Bandung karena dia di telepon bosnya. Dia harus menghadiri pertemuan di Jakarta. Dengan berat hati dia pun menghubungi papa dan memintanya untuk menjaga Nia. Dia meminta papa menjauhkan Nia dari laki-laki yang mencoba mendekatinya. Papa dan ibu tertawa mendengar permintaannya tapi Bagas tak peduli. 

Papa dan ibu yang mengenalkan Nia padanya. Mereka secara terang-terangan berusaha membuat Bagas tertarik padanya. Sekarang begitu dia mulai merasa suka, masa mereka tidak mendukungnya.

Saat Nia datang berkunjung dengan ibu tiga minggu berikutnya setelah acara kemah, Bagas langsung mengambil kesempatan. Dia memberikan Nia cincin untuk memberi tanda bahwa dia serius dengan perasaannya. 

Setelah menikah Bagas dan Nia memang tetap tinggal berjauhan. Pekerjaan Bagas tak memungkinkannya untuk pindah ke Majalengka. Nia juga belum bisa pindah ke Bandung karena belum lima tahun bertugas. Akhirnya mereka menyepakati untuk bertemu di akhir pekan. Kadang Nia yang pergi ke Bandung, di lain waktu Bagas yang pulang ke Majalengka. Meski begitu komunikasi di antara mereka tetap berjalan dengan lancar. 

Masalah mulai muncul saat tahun kedua pernikahan mereka. Perusahaan Bagas semakin berkembang. Dia jadi semakin sibuk hingga lebih jarang pulang. Nia-lah yang lebih sering mengunjunginya di Bandung. Meski begitu mereka tetap tidak bisa menghabiskan waktu bersama karena Bagas harus pergi kerja. Karena kasihan pada Nia, akhirnya Bagas meminta Nia untuk tidak datang kalau dia sibuk.

Sudah satu bulan Bagas tidak bertemu dengan dia. Dia merasa sangat kangen padanya. Begitu ada waktu Bagas pun memutuskan untuk pulang ke Majalengka. Bagas sengaja tidak memberitahu Nia kalau dia akan pulang. Dia ingin memberinya kejutan. Yang terjadi malah Bagas yang mendapat kejutan. 

Nia tidak ada di rumah saat dia pulang. Kata ART di rumah papa, Nia pergi berlibur bersama papa dan ibu. Mereka baru pulang keesokan harinya. Bagas merasa kesal dan secara tidak sengaja mentakan kata-kata itu. Kata-kata yang seharusnya tak boleh dia katakan.

Bagas yang salah. Dia yang tidak memberitahu Nia tentang kepulangannya. Dia yang meminta Nia untuk tidak ke Bandung. Sekarang dia juga yang marah.

***

Dua minggu berlalu sejak pesan terakhir yang dikirim Nia. Sepertinya Nia menyerah untuk mengiriminya pesan. Bagas menjadi tidak tenang. Jangan-jangan Nia mulai bosan dan menyerah padanya. Ini tidak boleh terjadi. Bagas tak mau kehilangan Nia. Dia harus menemui Nia dan memohon ampun padanya.

Begitu jam kerjanya selesai Bagas langsung pulang ke rumah. Dia berencana untuk istirahat sebelum memulai perjalanan ke Majalengka. Setelah memarkirkan mobilnya Bagas segera masuk ke rumah. Langkahnya menuju kamar terhenti saat melihat Nia sedang duduk menonton TV.

“Sudah pulang, bang?” Nia berdiri lalu menghampiri Bagas dan memeluknya. “Nia ambilkan minum, ya!” Nia melepaskan pelukan tapi Bagas menahannya.

“Jangan pergi. Biarkan aku memelukmu lebih lama.” Bagas menyurukkan kepala di rambut Nia. 

“Abang pasti lelah!” Nia mengusap punggung Bagas dengan penuh sayang. “Sebaiknya abang duduk!” Nia mengajaknya duduk di sofa. Kali ini Bagas menurut. Dia memandangi Nia yang berjalan mengambil air ke dapur.

“Minumlah!” Nia menyerahkan gelas berisi air lalu duduk di samping Bagas.

“Terima kasih.” Bagas meminum air hingga habis lalu menyimpan gelas di meja dan beralih menatap Nia. “Abang minta maaf! Abang egois.” Bagas membuka pembicaraan. “Abang takut kehilangan Nia. Abang cinta sama Nia.” Suara Bagas berubah menjadi serak. Mata besarnya berkaca-kaca.

“Akhirnya Nia mendengar kata-kata ini.” Nia tersenyum lalu mengulurkan tangan untuk menyeka air mata yang menggenang di pelupuk mata Bagas. “Nia juga cinta sama abang. Nia menikah sama abang karena cinta bukan karena papa dan ibu.” Lanjut Nia.

“Abang juga nikah sama Nia karena cinta bukan karena papa dan ibu. Maaf, abang enggak pandai berkata-kata. Seharusnya sejak dulu abang mengatakan hal ini.” Bagas tertunduk malu lalu tersenyum.

“Tidak apa-apa.” Nia meraih Bagas ke pelukan dan mengusap kepalanya penuh kasih. “Oh ya, bang. Kata papa, tahun depan Nia sudah bisa pindah. Papa sudah menghubungi sekolah yang ada di Bandung. Nanti kita jalan-jalan ke sekolah itu ya.”

“Benarkah?” Bagas menengadah dan menatap Nia yang mengangguk. “Semoga berjalan lancar. Abang tak sanggup lagi berjauhan dengan Nia.” 

Dulu, Sekarang dan Selamanya (1)

“Sebenarnya siapa yang kau nikahi?” Bagas menatap Rania dengan wajah yang penuh rasa kecewa. Dia menghembuskan napas dengan kasar lalu memasukkan semua pakaian yang ada di atas tempat tidur ke dalam tas. “Aku menyempatkan diri untuk pulang tapi kau malah pergi berlibur bersama papa dan ibu.” Lanjutnya dengan wajah yang makin suram.

“Aku kira abang tidak akan pulang karena sibuk dengan pembukaan cabang baru.” Rania memegang tangan Bagas yang sedang mengemasi pakaian. 

“Kau selalu begitu. Kau selalu punya waktu untuk kedua orang tuaku.” Bagas menjauhkan tangan Rania dari tangannya. “Mungkin sebaiknya kita tidak bertemu untuk beberapa waktu.”

“Tapi mengapa?” Rania menatap Bagas dengan bingung. 

“Seperti yang kau bilang tadi, aku sibuk dengan pembukaan cabang baru. Aku tak akan pulang untuk beberapa minggu.” Bagas menenteng ranselnya lalu meninggalkan Rania yang kebingungan.

Setelah Bagas pergi, Rania tertegun di pinggir tempat tidur sambil memegang cincin di jari manisnya. Rania bingung kenapa Bagas marah. Bukan baru pertama kali Rania pergi liburan bersama papa dan ibu. Biasanya malah Bagas yang menyarankan agar Rania ikut berlibur karena Bagas tak bisa menemaninya. 

Sudah hampir dua tahun mereka menikah. Meski begitu Rania masih tak tahu apakah Bagas menikahi dia karena memang menyukainya atau karena orang tuanya menyukai dia.

***

Fairuz Rania adalah anak keenam dari enam bersaudara. Ibunya meninggal saat dia lulus SMA dan ayahnya menyusul empat tahun kemudian. Semua kakaknya sudah berkeluarga. Satu tahun setelah lulus kuliah dia mendaftar CPNS dan lulus. Dia ditugaskan di sebuah SMA di daerah Majalengka.

“Nia, kau yakin akan pergi ke sana?” Tanya kakak pertamanya yang sudah seperti pengganti ibu.

“Tentu saja. Bukankah bapak berpesan agar aku juga bekerja menjadi guru seperti kakak-kakakku.” 

“Ambil saja Nia, nanti juga kau bisa pindah lagi ke Garut.” Kakaknya yang keempat memberinya semangat. 

Rania memang ingin pergi dari Garut. Dia ingin melupakan semua kenangan pahit. Dia tidak mau teringat lagi pada Fariz yang telah meninggalkannya untuk menikahi sahabatnya. Lagi pula dia sudah tak punya siapa-siapa lagi di sana. Semua kakaknya sudah memiliki keluarga masing-masing. 

Ketika lapor diri ke SMA, dia mengobrol cukup lama dengan kepala sekolah. Beliau ternyata memiliki rumah kontrakan di dekat sekolah. Beliau menawarkan salah satu rumah itu pada Rania. Rania pun melihat-lihat ke sana. Dia merasa cocok dengan tempat itu dan memutuskan untuk tinggal di sana.

“Ini yang namanya Rania?” Istri kepala sekolah yang bernama Bu Rasti menghampiri Rania saat dia berada di kamar kos yang ditunjukkan kepala sekolah.

“Iya, salam kenal.” Rania menyalaminya dengan penuh hormat.

“Semoga betah ya!” Bu Rasti menggenggam tangan Rania dengan penuh kehangatan.

Kepala sekolah dan istrinya ternyata orang yang ramah dan perhatian. Rania merasa mendapat orang tua lagi. Meski jauh dari tempat kelahirannya, Rania mulai merasa betah. 

“Ibu senang sekali bisa punya teman nge-gym lagi.” Akunya saat Rania menemaninya berolahraga di pusat kebugaran yang ada di kompleks kontrakan rumah milik Bu Rasti. 

“Memang biasanya ibu pergi dengan siapa?” Tanya Rania sambil menyeka keringat yang bercucuran di dahinya.

“Dulu biasanya pergi sama Abang. Nia tahu sendiri sekarang abang kerja di Bandung. Dia jarang pulang.” Bu Rasti mengeluhkan putra tunggalnya yang bekerja sebagai manajer pemasaran di Bandung.

“Mungkin abang sibuk, bu.” Rania berusaha menghiburnya.

“Sepertinya begitu.” Bu Rasti menghela napas. “Atau mungkin dia bosan ditanya kapan nikah.” Bu Rasti tertawa dan tawanya menular. “Jangan-jangan Nia juga jarang pulang karena itu ya?” Bu Rasti menatap Rania.  

Rania tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Dugaan Bu Rasti memang benar. Dia malas pulang karena kakak-kakaknya selalu bertanya tentang pernikahan. Rania mulai bosan menjawab pertanyaan mereka.

“Nia liburan ini mau ikut ke Bandung?” Tanya Bu Rasti saat mereka keluar dari pusat kebugaran.

“Liburan ini rencananya Nia juga mau ke sana. Kakak Nia yang ketiga tinggal di sana.”

“Kita pergi bareng saja dari sini. Sekalian ibu mau mengenalkan Nia sama abang.” Bu Rasti tersenyum. “Tenang saja. Ibu hanya ingin kalian berkenalan tidak lebih.” Bu Rasti meremas tangan Rania yang menampakkan wajah kaku.

“Baiklah.” Rania tersenyum lalu mengikuti Bu Rasti meninggalkan halaman pusat kebugaran.

Rania tahu semua orang sedang berusaha mencarikan pasangan untuknya. Kakak-kakaknya bergantian mengenalkan dia pada kenalan mereka. Sampai sekarang belum ada satu pun yang menarik hatinya. Kakak keempatnya bahkan berpendapat Rania belum bisa melupakan Fariz.

Hubungan Rania dan Fariz berawal sejak masuk SMA dan berakhir saat Rania lulus kuliah. Fariz dan Rania kuliah di tempat yang berjauhan. Rania kuliah di Bandung sementara Fariz kuliah di Jogja bersama sahabat Rania, Tasya. Mungkin dari situlah awal kedekatan Fariz dan Tasya.

Rania tak pernah menyangka pacar yang telah menemaninya sejak SMA ternyata memilih untuk menikahi sahabatnya. Rania tak pernah menduga kalau selama ini mereka berselingkuh di belakangnya. Dia hanya tahu kalau Tasya punya pacar tapi tak pernah bertemu dengannya. Ternyata pacarnya itu adalah Fariz. 

***

“Nah ini yang namanya Rania.” Bu Rasti menunjuk Rania yang berdiri di sampingnya.

“Oh jadi ini yang namanya Rania?” Bagas, anaknya Bu Rasti menyalami Rania sambil tersenyum misterius. “Saya Bagas Rabani, anaknya Bu Rasti.”

“Fairuz Rania.” Rania menerima uluran tangan Bagas yang mengajaknya bersalaman.

“Gantengan mana sama bapak?” Pak Zami, kepala sekolah yang juga suaminya Bu Rasti, berdiri di samping Bagas dan mengerling jenaka pada Rania.

Rania tidak menjawab, dia hanya tertawa. Pak Zami memang orang yang senang bercanda. Sikapnya itulah yang membuat mereka lebih mudah akrab. Guru-guru di sekolah bahkan selalu menggodanya dengan sebutan ‘anak ketemu gedenya Pak Kepala’.

“Tentu saja lebih ganteng Abang.” Bu Rasti menggandeng lengan anaknya. Yang digandeng tersenyum geli.

Hari itu adalah pertemuan pertama Rania dan Bagas. Kesan pertama Rania saat bertemu dengan Bagas biasa saja. Rania cukup tahu diri. Orang seperti Bagas mana mungkin tertarik padanya. Jika dia bersikap akrab, mungkin itu hanya cara dia menghormati orang yang dikenalkan orang tuanya.

“Nia, boleh kan aku panggil begitu?” Bagas menatap Rania yang sedang makan croissant. Rania mengangguk sambil menyeka bibirnya dengan tisu. Sepertinya Rania takut remahan croissant tertinggal di bibirnya. “Kamu tidak bosan selalu menghabiskan waktu dengan ibuku?” Tanyanya kemudian. Sudah beberapa  kali Bagas mendengar kalau ibunya sering mengajak Rania pergi belanja atau berlibur.

“Nia senang bisa menghabiskan waktu dengan ibu. Ibu Nia sudah meninggal enam tahun yang lalu. Kehadiran ibu membuat rasa kangen Nia pada almarhum ibu berkurang.”

“Memangnya kamu tidak punya pacar?” Tanya Bagas dengan penuh rasa penasaran. Gadis secantik dan semanis Rania tak mungkin tidak memiliki penggemar. 

“Saat ini Nia memang tidak punya pacar.” 

Bagas tersenyum mendengar jawaban Rania.

Sejak hari itu mereka mulai sering berkirim pesan. Mereka berbagi cerita tentang kegiatan mereka sehari-hari. Bagas juga jadi lebih sering pulang. Mereka terkadang pergi liburan bersama papa dan ibu. 

Awalnya Rania agak canggung jika bertemu dengan Bagas. Lama kelamaan dia mulai merasa nyaman dan betah. Dia pun sudah tidak canggung lagi saat memanggilnya dengan sebutan abang. Rania juga sudah terbiasa memanggil kedua orang tua Bagas dengan panggilan yang sama dengan Bagas, papa dan ibu.

“Sedang apa, Non?” Tanya Bagas suatu malam saat dia melakukan panggilan video dengan Rania. Seiring makin akrab Bagas tak lagi memanggilnya Nia. Kini dia sering memanggilnya dengan sebutan Non.

“Sedang mengolah nilai rapor.” Rania menunjuk laptop di hadapannya.

“Rajinnya calon menantu papa.” Bagas menggoda Rania menggunakan julukan yang selalu diucapkan papanya. 

“Nanti keburu ditagih wakasek kurikulum.” Rania terkekeh geli.

“Laporkan saja pada papa.”

“Idih ngapain. Nanti yang ada aku semakin digodain.” Rania mencibir dan Bagas pun tertawa. “Oh ya Hari Kamis Nia mau ke Bandung sama Ibu.”

“Iya. Ibu sudah cerita. Kali ini kamu menginap di mana?” Bagas bertanya begitu karena biasanya Rania menginap di rumah kakaknya setiap ke Bandung. 

“Ya di rumah Teh Dina seperti biasa.”

“Kenapa tidak di tempatku saja.”

“Rumah abang kamarnya hanya dua, nanti Nia tidur di mana?”

“Di kamar abang lah. Biar abang tidur di sofa.”

“Mana bisa begitu. Nanti badan atletis abang jadi pegal-pegal.”

“Harus ya ditambahin kata atletis.” Bagas memicingkan matanya.

“Emang iya sih badan abang kaya atlet.” Nia tertawa, “Nia enggak enak kalau numpang menginap di rumah abang. Nanti apa kata orang.”

“Iya makanya kita harus segera nikah. Biar kalau liburan nanti bisa hemat tempat enggak usah menyewa tiga kamar.” Bagas tertawa.

“Memangnya abang sudah yakin mau nikahin aku?” 

“Lihat saja nanti. Sudah dulu ya ada panggilan masuk dari bosku.” Sahutnya sambil memutuskan panggilan video.

Selama ini Bagas tak pernah menyatakan perasaan padanya. Namun semua sikapnya membuat Rania berpikir bahwa Bagas menganggapnya lebih dari sekedar teman. Kedua orang tuanya juga sering mengutarakan keinginan mereka untuk menjadikan Rania sebagai menantu. Meski begitu Rania tidak terlalu menanggapi keinginan mereka. Rania bukannya tidak tertarik pada Bagas. Namun dia ingin Bagas memilihnya sendiri bukan atas desakan orang tuanya.

***

Sabtu siang Bagas mengajak Rania dan ibunya makan siang di mal. Setelah masuk ke restoran yang dimaksud, dia minta izin pada ibu untuk mengajak Rania ke suatu tempat. 

“Toko perhiasan?” Rania menatap Bagas bingung. Mengapa tiba-tiba dia mengajaknya ke sini. Sepertinya Bagas ingin meminta Rania memilihkan hadiah untuk ibu, pikirnya.

“Cincin mana yang kamu suka?” Tanya Bagas saat mereka sudah berada di dalam toko.

“Cincin?” Rania mengernyit. Mengapa tiba-tiba Bagas menanyainya tentang cincin. Rania memandangi cincin-cincin indah yang ada di etalase. Semua cincin itu indah. Dia jadi bingung sendiri.

Karena Rania hanya diam, Bagas pun meminta karyawan toko untuk mengeluarkan beberapa cincin yang ditunjuknya. Setelah itu dia mencobakan cincin-cincin itu di jari manis Rania. Bagas berdecak saat melihat cincin yang dirasanya cocok untuk digunakan Rania.

“Saya pilih yang ini.” Bagas menunjuk cincin itu lalu menyerahkan kartu debitnya pada karyawan.

“Mau langsung dipakai, pak?” Tanya karyawan begitu pembayaran selesai.

“Iya.” Sahut Bagas. 

“Ini maksudnya apa?” Tanya Rania begitu mereka keluar dari toko.

“Ini tanda kalau kamu sudah ada yang punya.” Bagas tersenyum lalu mengajak Rania menemui ibu yang sudah menunggu mereka untuk makan di restoran. 

“Akhirnya!” Ibu tersenyum bahagia saat melihat cincin di jari manis Rania. “Jadi Nia Ibu harus melamarmu ke mana? Garut? Bandung? Tasik? Jakarta atau Surabaya?” Ibu menyebutkan tempat tinggal kakak-kakak Rania.

“Ke Garut saja. Ke rumah Teh Alma.”

Satu minggu kemudian Bagas dan keluarganya datang meminang Rania ke Garut. Setelah pembicaraan panjang akhirnya mereka memutuskan untuk menikah di bulan Juni, dua bulan kemudian.

Hubungan Bagas dan Rania berjalan cukup harmonis meski mereka harus berjauhan. Semakin mengenalnya Rania semakin menyayangi Bagas. Bagas selalu memperlakukannya dengan penuh kasih.

***

“Nia, kamu baik-baik saja?” Ibu mengunjungi Rania di rumahnya. 

“Baik bu. Memangnya kenapa?” Rania yang sedang menyeduh kopi menoleh pada ibu. “Ibu mau?” Tawarnya.

“Ibu sudah minum tadi sama papa.” Ibu duduk di kursi yang ada di dekat pantry. “Nia, abang kok enggak kelihatan?” Ibu larak-lirik mencari.

“Abang sudah kembali ke Bandung. Katanya ada rapat mendadak.”

“Oh begitu ya. Padahal abang baru datang kemarin.” Ibu terdengar kecewa.

“Rapatnya mendadak.”

“Oh begitu. Ibu kira abang marah karena saat pulang Nia malah sedang berlibur dengan ibu.” 

“Enggak kok.”

“Nia kalau ada masalah bicarakan baik-baik ya. Ibu sangat menyayangi kalian berdua. Kalau ada apa-apa ibu tak akan memihak salah satu di antara kalian.”

“Iya bu, terima kasih.”

Hari itu setelah ibu pulang Rania mengecek ponselnya. Ternyata tak ada satu pun pesan yang dikirim Bagas. Tidak biasanya dia seperti itu. Sepertinya Bagas benar-benar marah. Sesibuk apapun dia selalu menyempatkan diri untuk mengiriminya pesan.

Sesibuk apapun jangan lupa makan ya!

Nia minta maaf kalau buat abang kecewa.

Nia sayang abang, dulu, sekarang dan selamanya.

Rania mengirimkan beberapa pesan tapi tak satu pun yang dibalas oleh Bagas. Akhirnya Rania menyerah. Dia pun menyibukkan diri dengan pekerjaan di sekolah. Sebentar lagi Asesmen Akhir Tahun, Rania harus segera membuat soal.



















Dulu, Sekarang dan Selamanya (2)

Sesibuk apapun jangan lupa makan ya!

Nia minta maaf kalau buat abang kecewa.

Nia sayang abang, dulu, sekarang dan selamanya.

Bagas hanya melihat pesan yang dikirim Rania. Pikirannya terlalu kacau hingga dia tak tahu harus menjawab apa. Dia tahu Rania pasti sedih karena dia pergi begitu saja. Namun saat ini Bagas ingin menenangkan diri. Dia takut kata-katanya semakin menyakiti hati Rania.

“Pak, rapatnya sebentar lagi akan dimulai.” Asistennya mengingatkan.

Bagas mengatur ponselnya ke mode pesawat, mengambil laptopnya dari meja lalu pergi ke ruang pertemuan. Rapat hari itu berlangsung lebih cepat dari biasanya. Semua tim sudah siap dengan pekerjaan masing-masing hingga tak memakan waktu yang lama. 

Malam itu sepulang kerja, Bagas mampir ke kafe. Di sana dia tertegun memandangi muda-mudi yang sedang asyik mengobrol. Semakin dilihat semakin membuatnya tak enak hati. Gadis di hadapannya membuatnya teringat pada Rania. Bagas pun memutuskan untuk pulang.

***

“Kalian liburan ke Jogja?” Tanya Bagas saat menerima panggilan video dari ibunya. Papa dan ibu biasanya mengunjunginya di akhir pekan. Namun minggu ini mereka tidak datang karena pergi berlibur.

“Iya kita sedang di Parang Tritis.” Ibu menunjukkan pantai di hadapannya.

“Papa sedang bicara dengan siapa?” Bagas menunjuk perempuan muda yang sedang tertawa lebar mendengar ocehan papanya.

“Oh itu Nia. Guru baru di sekolah papa. Cantik ya?” Ibu tersenyum pada Bagas. 

“Terus kalau cantik kenapa?” Komentar Bagas tak acuh. Dia tahu makna dibalik kata-kata ibu. Ibu ingin melihatnya segera menikah. Beberapa waktu yang lalu dia juga berusaha menjodohkan Bagas dengan anak temannya.

“Selain cantik Nia ini baik dan rajin. Ibu dan papa sangat sayang padanya.”

“Memangnya kenapa kalau ibu dan papa sayang sama dia.” Bagas tetap cuek.

“Abang ini selalu begitu. Sudah dulu ya, nanti ibu kirimkan foto-foto.”

Beberapa saat kemudian ibu mengunggah beberapa foto ke instagramnya. Di setiap foto pasti ada perempuan bernama Nia itu. Sepertinya ibu memang sengaja. 

Bagas pikir perempuan bernama Nia itu hanya sekedar guru baru di sekolah papa. Ternyata dia adalah anak kesayangan mereka. Setiap berlibur pasti mereka mengajaknya. Bagas jadi penasaran seperti apa gadis yang disayangi ibunya ini.

***

“Ngerti kan sekarang kenapa ibumu sangat sayang padanya?” Papa menepuk pundak Bagas yang tengah tertegun melihat Rania yang sedang tertawa bersama ibu. Mereka sedang asyik menonton drama Korea di TV. “Ibumu seperti menemukan sahabatnya lagi.” Lanjut papa. “Cobalah untuk lebih akrab dengannya.” Bujuk papa.

Semakin lama kedekatan orang tuanya dengan Nia semakin erat. Terkadang Bagas merasa papa dan ibu lebih menyayangi Nia daripada dirinya. Bagas pun memutuskan untuk mengikuti saran papa untuk mencoba akrab dengannya. Nia ternyata orang yang lucu dan menyenangkan. Dia pandai membuat lelucon dan tidak mudah baper saat digoda olehnya. 

Awalnya Bagas hanya sekedar penasaran. Lama kelamaan dia mulai terbiasa dengan kehadiran Nia dalam hidupnya. Dia malah sering merasa ada yang kurang kalau sehari saja tak bicara dengannya.

“Kamu pergi kemah, kok enggak bilang-bilang?” Keluh Bagas setelah dia melihat unggahan di IG Nia. Di unggahannya Nia berfoto dengan anak-anak dan teman-temannya.

“Waktu itu Nia cerita kalau anak-anak Pramuka akan melaksanakan pelantikan Bantara.” Nia mengingatkan.

“Berapa hari di sana?” Bagas mengganti topik. Bagas tidak ingin Nia tahu kalau sebenarnya dia merasa kesal.

“Sampai minggu pagi. Memangnya kenapa?”

“Tadinya abang mau pulang dan mengajak Nia main ke Cicereum. Tapi sepertinya tidak jadi. Mungkin minggu depan.”

“Minggu depan Nia mau ke Tasik, kakak Nia mau menikahkan anaknya.”

“Berarti harus menunggu dua minggu lagi.” Bagas menghela napas dengan berat. Mereka sudah tidak bertemu selama dua minggu. Dua minggu kemarin Bagas sibuk jadi dia harus tetap bekerja di akhir pekan.

“Kenapa abang enggak ke sini saja. Nanti kita main ke curug.” Nia menyarankan. “Sudah dulu ya. Pak Alek mengajak rapat.” Nia memutuskan pembicaraan.

Mendengar nama Alek disebut, Bagas menjadi tak tenang. Dia ingat foto yang diunggah Nia. Di samping Nia berdiri seorang lelaki. Sepertinya dia guru baru yang diceritakan papa. Dia pun menelepon papanya.

“Pa, Nia pergi kemah?”

“Iya. Besok papa sama ibu juga mau menengok ke sana. Minggu ini kamu juga tidak pulang?” 

“Malam ini Bagas pulang. Bagas ikut ya ke tempat kemah.”

“Oke kamu pasti kangen ya sama Nia. Makanya cepat-cepat dihalalin nanti keburu diambil orang. Nia cukup populer di sekolah. Teman-teman papa juga sudah ada yang bertanya tentang Nia. Mereka berencana mengambilnya sebagai menantu.”

“Terus papa jawab apa.” Bagas panas hati mendengar cerita papanya.

“Papa bilang terserah Nia. Kalau memang Nia mau nanti papa akan mengenalkannya.”

“Loh kok gitu sih, pa. Papa enggak mau punya menantu seperti Nia?”

“Bukannya enggak mau, tapi kamunya yang kurang respon. Papa kasihan kalau Nia terus nunggu kamu. Apalagi kata ibu, sebelumnya Nia pernah patah hati karena ditinggal nikah.”

“Lain kali kalau ada yang tanya lagi tentang Nia. Bilang dia calonnya anak saya.”

“Abang yakin?”

“Yakin.”

***

Bagas menunda kepulangannya ke Bandung karena dia di telepon bosnya. Dia harus menghadiri pertemuan di Jakarta. Dengan berat hati dia pun menghubungi papa dan memintanya untuk menjaga Nia. Dia meminta papa menjauhkan Nia dari laki-laki yang mencoba mendekatinya. Papa dan ibu tertawa mendengar permintaannya tapi Bagas tak peduli. 

Papa dan ibu yang mengenalkan Nia padanya. Mereka secara terang-terangan berusaha membuat Bagas tertarik padanya. Sekarang begitu dia mulai merasa suka, masa mereka tidak mendukungnya.

Saat Nia datang berkunjung dengan ibu tiga minggu berikutnya setelah acara kemah, Bagas langsung mengambil kesempatan. Dia memberikan Nia cincin untuk memberi tanda bahwa dia serius dengan perasaannya. 

Setelah menikah Bagas dan Nia memang tetap tinggal berjauhan. Pekerjaan Bagas tak memungkinkannya untuk pindah ke Majalengka. Nia juga belum bisa pindah ke Bandung karena belum lima tahun bertugas. Akhirnya mereka menyepakati untuk bertemu di akhir pekan. Kadang Nia yang pergi ke Bandung, di lain waktu Bagas yang pulang ke Majalengka. Meski begitu komunikasi di antara mereka tetap berjalan dengan lancar. 

Masalah mulai muncul saat tahun kedua pernikahan mereka. Perusahaan Bagas semakin berkembang. Dia jadi semakin sibuk hingga lebih jarang pulang. Nia-lah yang lebih sering mengunjunginya di Bandung. Meski begitu mereka tetap tidak bisa menghabiskan waktu bersama karena Bagas harus pergi kerja. Karena kasihan pada Nia, akhirnya Bagas meminta Nia untuk tidak datang kalau dia sibuk.

Sudah satu bulan Bagas tidak bertemu dengan dia. Dia merasa sangat kangen padanya. Begitu ada waktu Bagas pun memutuskan untuk pulang ke Majalengka. Bagas sengaja tidak memberitahu Nia kalau dia akan pulang. Dia ingin memberinya kejutan. Yang terjadi malah Bagas yang mendapat kejutan. 

Nia tidak ada di rumah saat dia pulang. Kata ART di rumah papa, Nia pergi berlibur bersama papa dan ibu. Mereka baru pulang keesokan harinya. Bagas merasa kesal dan secara tidak sengaja mentakan kata-kata itu. Kata-kata yang seharusnya tak boleh dia katakan.

Bagas yang salah. Dia yang tidak memberitahu Nia tentang kepulangannya. Dia yang meminta Nia untuk tidak ke Bandung. Sekarang dia juga yang marah.

***

Dua minggu berlalu sejak pesan terakhir yang dikirim Nia. Sepertinya Nia menyerah untuk mengiriminya pesan. Bagas menjadi tidak tenang. Jangan-jangan Nia mulai bosan dan menyerah padanya. Ini tidak boleh terjadi. Bagas tak mau kehilangan Nia. Dia harus menemui Nia dan memohon ampun padanya.

Begitu jam kerjanya selesai Bagas langsung pulang ke rumah. Dia berencana untuk istirahat sebelum memulai perjalanan ke Majalengka. Setelah memarkirkan mobilnya Bagas segera masuk ke rumah. Langkahnya menuju kamar terhenti saat melihat Nia sedang duduk menonton TV.

“Sudah pulang, bang?” Nia berdiri lalu menghampiri Bagas dan memeluknya. “Nia ambilkan minum, ya!” Nia melepaskan pelukan tapi Bagas menahannya.

“Jangan pergi. Biarkan aku memelukmu lebih lama.” Bagas menyurukkan kepala di rambut Nia. 

“Abang pasti lelah!” Nia mengusap punggung Bagas dengan penuh sayang. “Sebaiknya abang duduk!” Nia mengajaknya duduk di sofa. Kali ini Bagas menurut. Dia memandangi Nia yang berjalan mengambil air ke dapur.

“Minumlah!” Nia menyerahkan gelas berisi air lalu duduk di samping Bagas.

“Terima kasih.” Bagas meminum air hingga habis lalu menyimpan gelas di meja dan beralih menatap Nia. “Abang minta maaf! Abang egois.” Bagas membuka pembicaraan. “Abang takut kehilangan Nia. Abang cinta sama Nia.” Suara Bagas berubah menjadi serak. Mata besarnya berkaca-kaca.

“Akhirnya Nia mendengar kata-kata ini.” Nia tersenyum lalu mengulurkan tangan untuk menyeka air mata yang menggenang di pelupuk mata Bagas. “Nia juga cinta sama abang. Nia menikah sama abang karena cinta bukan karena papa dan ibu.” Lanjut Nia.

“Abang juga nikah sama Nia karena cinta bukan karena papa dan ibu. Maaf, abang enggak pandai berkata-kata. Seharusnya sejak dulu abang mengatakan hal ini.” Bagas tertunduk malu lalu tersenyum.

“Tidak apa-apa.” Nia meraih Bagas ke pelukan dan mengusap kepalanya penuh kasih. “Oh ya, bang. Kata papa, tahun depan Nia sudah bisa pindah. Papa sudah menghubungi sekolah yang ada di Bandung. Nanti kita jalan-jalan ke sekolah itu ya.”

“Benarkah?” Bagas menengadah dan menatap Nia yang mengangguk. “Semoga berjalan lancar. Abang tak sanggup lagi berjauhan dengan Nia.” 




 








 






 






 

Minggu, 01 Juni 2025

Dulu, Sekarang dan Selamanya (1)

       “Sebenarnya siapa yang kau nikahi?” Bagas menatap Rania dengan wajah yang penuh rasa kecewa. Dia menghembuskan napas dengan kasar lalu memasukkan semua pakaian yang ada di atas tempat tidur ke dalam tas. “Aku menyempatkan diri untuk pulang tapi kau malah pergi berlibur bersama papa dan ibu.” Lanjutnya dengan wajah yang makin suram.
           “Aku kira abang tidak akan pulang karena sibuk dengan pembukaan cabang baru.” Rania memegang tangan Bagas yang sedang mengemasi pakaian. 
      “Kau selalu begitu. Kau selalu punya waktu untuk kedua orang tuaku.” Bagas menjauhkan tangan Rania dari tangannya. “Mungkin sebaiknya kita tidak bertemu untuk beberapa waktu.”
           “Tapi mengapa?” Rania menatap Bagas dengan bingung. 
        “Seperti yang kau bilang tadi, aku sibuk dengan pembukaan cabang baru. Aku tak akan pulang untuk beberapa minggu.” Bagas menenteng ranselnya lalu meninggalkan Rania yang kebingungan.
         Setelah Bagas pergi, Rania tertegun di pinggir tempat tidur sambil memegang cincin di jari manisnya. Rania bingung kenapa Bagas marah. Bukan baru pertama kali Rania pergi liburan bersama papa dan ibu. Biasanya malah Bagas yang menyarankan agar Rania ikut berlibur karena Bagas tak bisa menemaninya. 
       Sudah hampir dua tahun mereka menikah. Meski begitu Rania masih tak tahu apakah Bagas menikahi dia karena memang menyukainya atau karena orang tuanya menyukai dia.
***
       Fairuz Rania adalah anak keenam dari enam bersaudara. Ibunya meninggal saat dia lulus SMA dan ayahnya menyusul empat tahun kemudian. Semua kakaknya sudah berkeluarga. Satu tahun setelah lulus kuliah dia mendaftar CPNS dan lulus. Dia ditugaskan di sebuah SMA di daerah Majalengka.
      “Nia, kau yakin akan pergi ke sana?” Tanya kakak pertamanya yang sudah seperti pengganti ibu.
       “Tentu saja. Bukankah bapak berpesan agar aku juga bekerja menjadi guru seperti kakak-kakakku.” 
        “Ambil saja Nia, nanti juga kau bisa pindah lagi ke Garut.” Kakaknya yang keempat memberinya semangat. 
        Rania memang ingin pergi dari Garut. Dia ingin melupakan semua kenangan pahit. Dia tidak mau teringat lagi pada Fariz yang telah meninggalkannya untuk menikahi sahabatnya. Lagi pula dia sudah tak punya siapa-siapa lagi di sana. Semua kakaknya sudah memiliki keluarga masing-masing. 
        Ketika lapor diri ke SMA, dia mengobrol cukup lama dengan kepala sekolah. Beliau ternyata memiliki rumah kontrakan di dekat sekolah. Beliau menawarkan salah satu rumah itu pada Rania. Rania pun melihat-lihat ke sana. Dia merasa cocok dengan tempat itu dan memutuskan untuk tinggal di sana.
        “Ini yang namanya Rania?” Istri kepala sekolah yang bernama Bu Rasti menghampiri Rania saat dia berada di kamar kos yang ditunjukkan kepala sekolah.
        “Iya, salam kenal.” Rania menyalaminya dengan penuh hormat.
        “Semoga betah ya!” Bu Rasti menggenggam tangan Rania dengan penuh kehangatan.
        Kepala sekolah dan istrinya ternyata orang yang ramah dan perhatian. Rania merasa mendapat orang tua lagi. Meski jauh dari tempat kelahirannya, Rania mulai merasa betah. 
       “Ibu senang sekali bisa punya teman nge-gym lagi.” Akunya saat Rania menemaninya berolahraga di pusat kebugaran yang ada di kompleks kontrakan rumah milik Bu Rasti. 
      “Memang biasanya ibu pergi dengan siapa?” Tanya Rania sambil menyeka keringat yang bercucuran di dahinya.
       “Dulu biasanya pergi sama Abang. Nia tahu sendiri sekarang abang kerja di Bandung. Dia jarang pulang.” Bu Rasti mengeluhkan putra tunggalnya yang bekerja sebagai manajer pemasaran di Bandung.
         “Mungkin abang sibuk, bu.” Rania berusaha menghiburnya.
      “Sepertinya begitu.” Bu Rasti menghela napas. “Atau mungkin dia bosan ditanya kapan nikah.” Bu Rasti tertawa dan tawanya menular. “Jangan-jangan Nia juga jarang pulang karena itu ya?” Bu Rasti menatap Rania.  
       Rania tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Dugaan Bu Rasti memang benar. Dia malas pulang karena kakak-kakaknya selalu bertanya tentang pernikahan. Rania mulai bosan menjawab pertanyaan mereka.
        “Nia liburan ini mau ikut ke Bandung?” Tanya Bu Rasti saat mereka keluar dari pusat kebugaran.
       “Liburan ini rencananya Nia juga mau ke sana. Kakak Nia yang ketiga tinggal di sana.”
        “Kita pergi bareng saja dari sini. Sekalian ibu mau mengenalkan Nia sama abang.” Bu Rasti tersenyum. “Tenang saja. Ibu hanya ingin kalian berkenalan tidak lebih.” Bu Rasti meremas tangan Rania yang menampakkan wajah kaku.
       “Baiklah.” Rania tersenyum lalu mengikuti Bu Rasti meninggalkan halaman pusat kebugaran.
       Rania tahu semua orang sedang berusaha mencarikan pasangan untuknya. Kakak-kakaknya bergantian mengenalkan dia pada kenalan mereka. Sampai sekarang belum ada satu pun yang menarik hatinya. Kakak keempatnya bahkan berpendapat Rania belum bisa melupakan Fariz.
       Hubungan Rania dan Fariz berawal sejak masuk SMA dan berakhir saat Rania lulus kuliah. Fariz dan Rania kuliah di tempat yang berjauhan. Rania kuliah di Bandung sementara Fariz kuliah di Jogja bersama sahabat Rania, Tasya. Mungkin dari situlah awal kedekatan Fariz dan Tasya.
      Rania tak pernah menyangka pacar yang telah menemaninya sejak SMA ternyata memilih untuk menikahi sahabatnya. Rania tak pernah menduga kalau selama ini mereka berselingkuh di belakangnya. Dia hanya tahu kalau Tasya punya pacar tapi tak pernah bertemu dengannya. Ternyata pacarnya itu adalah Fariz. 
***
      “Nah ini yang namanya Rania.” Bu Rasti menunjuk Rania yang berdiri di sampingnya.
     “Oh jadi ini yang namanya Rania?” Bagas, anaknya Bu Rasti menyalami Rania sambil tersenyum misterius. “Saya Bagas Rabani, anaknya Bu Rasti.”
      “Fairuz Rania.” Rania menerima uluran tangan Bagas yang mengajaknya bersalaman.
    “Gantengan mana sama bapak?” Pak Zami, kepala sekolah yang juga suaminya Bu Rasti, berdiri di samping Bagas dan mengerling jenaka pada Rania.
     Rania tidak menjawab, dia hanya tertawa. Pak Zami memang orang yang senang bercanda. Sikapnya itulah yang membuat mereka lebih mudah akrab. Guru-guru di sekolah bahkan selalu menggodanya dengan sebutan ‘anak ketemu gedenya Pak Kepala’.
     “Tentu saja lebih ganteng Abang.” Bu Rasti menggandeng lengan anaknya. Yang digandeng tersenyum geli.
     Hari itu adalah pertemuan pertama Rania dan Bagas. Kesan pertama Rania saat bertemu dengan Bagas biasa saja. Rania cukup tahu diri. Orang seperti Bagas mana mungkin tertarik padanya. Jika dia bersikap akrab, mungkin itu hanya cara dia menghormati orang yang dikenalkan orang tuanya.
     “Nia, boleh kan aku panggil begitu?” Bagas menatap Rania yang sedang makan croissant. Rania mengangguk sambil menyeka bibirnya dengan tisu. Sepertinya Rania takut remahan croissant tertinggal di bibirnya. “Kamu tidak bosan selalu menghabiskan waktu dengan ibuku?” Tanyanya kemudian. Sudah beberapa  kali Bagas mendengar kalau ibunya sering mengajak Rania pergi belanja atau berlibur.
       “Nia senang bisa menghabiskan waktu dengan ibu. Ibu Nia sudah meninggal enam tahun yang lalu. Kehadiran ibu membuat rasa kangen Nia pada almarhum ibu berkurang.”
       “Memangnya kamu tidak punya pacar?” Tanya Bagas dengan penuh rasa penasaran. Gadis secantik dan semanis Rania tak mungkin tidak memiliki penggemar. 
        “Saat ini Nia memang tidak punya pacar.” 
         Bagas tersenyum mendengar jawaban Rania.
      Sejak hari itu mereka mulai sering berkirim pesan. Mereka berbagi cerita tentang kegiatan mereka sehari-hari. Bagas juga jadi lebih sering pulang. Mereka terkadang pergi liburan bersama papa dan ibu. 
        Awalnya Rania agak canggung jika bertemu dengan Bagas. Lama kelamaan dia mulai merasa nyaman dan betah. Dia pun sudah tidak canggung lagi saat memanggilnya dengan sebutan abang. Rania juga sudah terbiasa memanggil kedua orang tua Bagas dengan panggilan yang sama dengan Bagas, papa dan ibu.
      “Sedang apa, Non?” Tanya Bagas suatu malam saat dia melakukan panggilan video dengan Rania. Seiring makin akrab Bagas tak lagi memanggilnya Nia. Kini dia sering memanggilnya dengan sebutan Non.
         “Sedang mengolah nilai rapor.” Rania menunjuk laptop di hadapannya.
        “Rajinnya calon menantu papa.” Bagas menggoda Rania menggunakan julukan yang selalu diucapkan papanya. 
        “Nanti keburu ditagih wakasek kurikulum.” Rania terkekeh geli.
        “Laporkan saja pada papa.”
        “Idih ngapain. Nanti yang ada aku semakin digodain.” Rania mencibir dan Bagas pun tertawa. “Oh ya Hari Kamis Nia mau ke Bandung sama Ibu.”
     “Iya. Ibu sudah cerita. Kali ini kamu menginap di mana?” Bagas bertanya begitu karena biasanya Rania menginap di rumah kakaknya setiap ke Bandung. 
         “Ya di rumah Teh Dina seperti biasa.”
         “Kenapa tidak di tempatku saja.”
         “Rumah abang kamarnya hanya dua, nanti Nia tidur di mana?”
         “Di kamar abang lah. Biar abang tidur di sofa.”
         “Mana bisa begitu. Nanti badan atletis abang jadi pegal-pegal.”
         “Harus ya ditambahin kata atletis.” Bagas memicingkan matanya.
     “Emang iya sih badan abang kaya atlet.” Nia tertawa, “Nia enggak enak kalau numpang menginap di rumah abang. Nanti apa kata orang.”
        “Iya makanya kita harus segera nikah. Biar kalau liburan nanti bisa hemat tempat enggak usah menyewa tiga kamar.” Bagas tertawa.
          “Memangnya abang sudah yakin mau nikahin aku?” 
         “Lihat saja nanti. Sudah dulu ya ada panggilan masuk dari bosku.” Sahutnya sambil memutuskan panggilan video.
       Selama ini Bagas tak pernah menyatakan perasaan padanya. Namun semua sikapnya membuat Rania berpikir bahwa Bagas mengganggapnya lebih dari sekedar teman. Kedua orang tuanya juga sering mengutarakan keinginan mereka untuk menjadikan Rania sebagai menantu. Meski begitu Rania tidak terlalu menanggapi keinginan mereka. Rania bukannya tidak tertarik pada Bagas. Namun dia ingin Bagas memilihnya sendiri bukan atas desakan orang tuanya.
***
         Sabtu siang Bagas mengajak Rania dan ibunya makan siang di mal. Setelah masuk ke restoran yang dimaksud dia minta izin pada ibu untuk mengajak Rania ke suatu tempat. 
      “Toko perhiasan?” Rania menatap Bagas bingung. Mengapa tiba-tiba dia mengajaknya ke sini. Sepertinya Bagas ingin meminta Rania memilihkan hadiah untuk ibu, pikirnya.
     “Cincin mana yang kamu suka?” Tanya Bagas saat mereka sudah berada di dalam toko.
    “Cincin?” Rania mengernyit. Mengapa tiba-tiba Bagas menanyainya tentang cincin. Rania memandangi cincin-cincin indah yang ada di etalase. Semua cincin itu indah. Dia jadi bingung sendiri.
      Karena Rania hanya diam, Bagas pun meminta karyawan toko untuk mengeluarkan beberapa cincin yang ditunjuknya. Setelah itu dia mencobakan cincin-cincin itu di jari manis Rania. Bagas berdecak saat melihat cincin yang dirasanya cocok untuk digunakan Rania.
      “Saya pilih yang ini.” Bagas menunjuk cincin itu lalu menyerahkan kartu debitnya pada karyawan.
        “Mau langsung dipakai, Pak?” Tanya karyawan begitu pembayaran selesai.
        “Iya.” Sahut Bagas. 
          “Ini maksudnya apa?” Tanya Rania begitu mereka keluar dari toko.
       “Ini tanda kalau kamu sudah ada yang punya.” Bagas tersenyum lalu mengajak Rania menemui ibu yang sudah menunggu mereka untuk makan di restoran. 
       “Akhirnya!” Ibu tersenyum bahagia saat melihat cincin di jari manis Rania. “Jadi Nia Ibu harus melamarmu ke mana? Garut? Bandung? Tasik? Jakarta atau Surabaya?” Ibu menyebutkan tempat tinggal kakak-kakak Rania.
         “Ke Garut saja. Ke rumah Teh Alma.”
      Satu minggu kemudian Bagas dan keluarganya datang meminang Rania ke Garut. Setelah pembicaraan panjang akhirnya mereka memutuskan untuk menikah di bulan Juni, dua bulan kemudian.
      Hubungan Bagas dan Rania berjalan cukup harmonis meski mereka harus berjauhan. Semakin mengenalnya Rania semakin menyayangi Bagas. Bagas selalu memperlakukannya dengan penuh kasih.
***
          “Nia, kamu baik-baik saja?” Ibu mengunjungi Rania di rumahnya. 
       “Baik bu. Memangnya kenapa?” Rania yang sedang menyeduh kopi menoleh pada ibu. “Ibu mau?” Tawarnya.
        “Ibu sudah minum tadi sama papa.” Ibu duduk di kursi yang ada di dekat pantry.  
        “Nia, abang kok enggak kelihatan?” Ibu larak-lirik mencari.
        “Abang sudah kembali ke Bandung. Katanya ada rapat mendadak.”
        “Oh begitu ya. Padahal abang baru datang kemarin.” Ibu terdengar kecewa.
        “Rapatnya mendadak.”
     “Oh begitu. Ibu kira abang marah karena saat pulang Nia malah sedang berlibur dengan ibu.” 
       “Enggak kok.”
     “Nia kalau ada masalah bicarakan baik-baik ya. Ibu sangat menyayangi kalian berdua. Kalau ada apa-apa ibu tak akan memihak salah satu di antara kalian.”
       “Iya bu, terima kasih.”
     Hari itu setelah ibu pulang Rania mengecek ponselnya. Ternyata tak ada satu pun pesan yang dikirim Bagas. Tidak biasanya dia seperti itu. Sepertinya Bagas benar-benar marah. Sesibuk apapun dia selalu menyempatkan diri untuk mengiriminya pesan.

Sesibuk apapun jangan lupa makan ya!
Nia minta maaf kalau buat abang kecewa.
Nia sayang abang, dulu, sekarang dan selamanya.

    Rania mengirimkan beberapa pesan tapi tak satu pun yang dibalas oleh Bagas. Akhirnya Rania menyerah. Dia pun menyibukkan diri dengan pekerjaan di sekolah. Sebentar lagi Asesmen Akhir Tahun, Rania harus segera membuat soal.


YN, 02062025


Finally 40

 Happy Birthday.... Saenghil Cukhae.... Barakallah Fii Umrik.... Yeay... Akhirnya sampai di usia ini. Dulu pernah berpikiran usia 40 itu sud...