Minggu, 01 Juni 2025

Dulu, Sekarang dan Selamanya (1)

       “Sebenarnya siapa yang kau nikahi?” Bagas menatap Rania dengan wajah yang penuh rasa kecewa. Dia menghembuskan napas dengan kasar lalu memasukkan semua pakaian yang ada di atas tempat tidur ke dalam tas. “Aku menyempatkan diri untuk pulang tapi kau malah pergi berlibur bersama papa dan ibu.” Lanjutnya dengan wajah yang makin suram.
           “Aku kira abang tidak akan pulang karena sibuk dengan pembukaan cabang baru.” Rania memegang tangan Bagas yang sedang mengemasi pakaian. 
      “Kau selalu begitu. Kau selalu punya waktu untuk kedua orang tuaku.” Bagas menjauhkan tangan Rania dari tangannya. “Mungkin sebaiknya kita tidak bertemu untuk beberapa waktu.”
           “Tapi mengapa?” Rania menatap Bagas dengan bingung. 
        “Seperti yang kau bilang tadi, aku sibuk dengan pembukaan cabang baru. Aku tak akan pulang untuk beberapa minggu.” Bagas menenteng ranselnya lalu meninggalkan Rania yang kebingungan.
         Setelah Bagas pergi, Rania tertegun di pinggir tempat tidur sambil memegang cincin di jari manisnya. Rania bingung kenapa Bagas marah. Bukan baru pertama kali Rania pergi liburan bersama papa dan ibu. Biasanya malah Bagas yang menyarankan agar Rania ikut berlibur karena Bagas tak bisa menemaninya. 
       Sudah hampir dua tahun mereka menikah. Meski begitu Rania masih tak tahu apakah Bagas menikahi dia karena memang menyukainya atau karena orang tuanya menyukai dia.
***
       Fairuz Rania adalah anak keenam dari enam bersaudara. Ibunya meninggal saat dia lulus SMA dan ayahnya menyusul empat tahun kemudian. Semua kakaknya sudah berkeluarga. Satu tahun setelah lulus kuliah dia mendaftar CPNS dan lulus. Dia ditugaskan di sebuah SMA di daerah Majalengka.
      “Nia, kau yakin akan pergi ke sana?” Tanya kakak pertamanya yang sudah seperti pengganti ibu.
       “Tentu saja. Bukankah bapak berpesan agar aku juga bekerja menjadi guru seperti kakak-kakakku.” 
        “Ambil saja Nia, nanti juga kau bisa pindah lagi ke Garut.” Kakaknya yang keempat memberinya semangat. 
        Rania memang ingin pergi dari Garut. Dia ingin melupakan semua kenangan pahit. Dia tidak mau teringat lagi pada Fariz yang telah meninggalkannya untuk menikahi sahabatnya. Lagi pula dia sudah tak punya siapa-siapa lagi di sana. Semua kakaknya sudah memiliki keluarga masing-masing. 
        Ketika lapor diri ke SMA, dia mengobrol cukup lama dengan kepala sekolah. Beliau ternyata memiliki rumah kontrakan di dekat sekolah. Beliau menawarkan salah satu rumah itu pada Rania. Rania pun melihat-lihat ke sana. Dia merasa cocok dengan tempat itu dan memutuskan untuk tinggal di sana.
        “Ini yang namanya Rania?” Istri kepala sekolah yang bernama Bu Rasti menghampiri Rania saat dia berada di kamar kos yang ditunjukkan kepala sekolah.
        “Iya, salam kenal.” Rania menyalaminya dengan penuh hormat.
        “Semoga betah ya!” Bu Rasti menggenggam tangan Rania dengan penuh kehangatan.
        Kepala sekolah dan istrinya ternyata orang yang ramah dan perhatian. Rania merasa mendapat orang tua lagi. Meski jauh dari tempat kelahirannya, Rania mulai merasa betah. 
       “Ibu senang sekali bisa punya teman nge-gym lagi.” Akunya saat Rania menemaninya berolahraga di pusat kebugaran yang ada di kompleks kontrakan rumah milik Bu Rasti. 
      “Memang biasanya ibu pergi dengan siapa?” Tanya Rania sambil menyeka keringat yang bercucuran di dahinya.
       “Dulu biasanya pergi sama Abang. Nia tahu sendiri sekarang abang kerja di Bandung. Dia jarang pulang.” Bu Rasti mengeluhkan putra tunggalnya yang bekerja sebagai manajer pemasaran di Bandung.
         “Mungkin abang sibuk, bu.” Rania berusaha menghiburnya.
      “Sepertinya begitu.” Bu Rasti menghela napas. “Atau mungkin dia bosan ditanya kapan nikah.” Bu Rasti tertawa dan tawanya menular. “Jangan-jangan Nia juga jarang pulang karena itu ya?” Bu Rasti menatap Rania.  
       Rania tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Dugaan Bu Rasti memang benar. Dia malas pulang karena kakak-kakaknya selalu bertanya tentang pernikahan. Rania mulai bosan menjawab pertanyaan mereka.
        “Nia liburan ini mau ikut ke Bandung?” Tanya Bu Rasti saat mereka keluar dari pusat kebugaran.
       “Liburan ini rencananya Nia juga mau ke sana. Kakak Nia yang ketiga tinggal di sana.”
        “Kita pergi bareng saja dari sini. Sekalian ibu mau mengenalkan Nia sama abang.” Bu Rasti tersenyum. “Tenang saja. Ibu hanya ingin kalian berkenalan tidak lebih.” Bu Rasti meremas tangan Rania yang menampakkan wajah kaku.
       “Baiklah.” Rania tersenyum lalu mengikuti Bu Rasti meninggalkan halaman pusat kebugaran.
       Rania tahu semua orang sedang berusaha mencarikan pasangan untuknya. Kakak-kakaknya bergantian mengenalkan dia pada kenalan mereka. Sampai sekarang belum ada satu pun yang menarik hatinya. Kakak keempatnya bahkan berpendapat Rania belum bisa melupakan Fariz.
       Hubungan Rania dan Fariz berawal sejak masuk SMA dan berakhir saat Rania lulus kuliah. Fariz dan Rania kuliah di tempat yang berjauhan. Rania kuliah di Bandung sementara Fariz kuliah di Jogja bersama sahabat Rania, Tasya. Mungkin dari situlah awal kedekatan Fariz dan Tasya.
      Rania tak pernah menyangka pacar yang telah menemaninya sejak SMA ternyata memilih untuk menikahi sahabatnya. Rania tak pernah menduga kalau selama ini mereka berselingkuh di belakangnya. Dia hanya tahu kalau Tasya punya pacar tapi tak pernah bertemu dengannya. Ternyata pacarnya itu adalah Fariz. 
***
      “Nah ini yang namanya Rania.” Bu Rasti menunjuk Rania yang berdiri di sampingnya.
     “Oh jadi ini yang namanya Rania?” Bagas, anaknya Bu Rasti menyalami Rania sambil tersenyum misterius. “Saya Bagas Rabani, anaknya Bu Rasti.”
      “Fairuz Rania.” Rania menerima uluran tangan Bagas yang mengajaknya bersalaman.
    “Gantengan mana sama bapak?” Pak Zami, kepala sekolah yang juga suaminya Bu Rasti, berdiri di samping Bagas dan mengerling jenaka pada Rania.
     Rania tidak menjawab, dia hanya tertawa. Pak Zami memang orang yang senang bercanda. Sikapnya itulah yang membuat mereka lebih mudah akrab. Guru-guru di sekolah bahkan selalu menggodanya dengan sebutan ‘anak ketemu gedenya Pak Kepala’.
     “Tentu saja lebih ganteng Abang.” Bu Rasti menggandeng lengan anaknya. Yang digandeng tersenyum geli.
     Hari itu adalah pertemuan pertama Rania dan Bagas. Kesan pertama Rania saat bertemu dengan Bagas biasa saja. Rania cukup tahu diri. Orang seperti Bagas mana mungkin tertarik padanya. Jika dia bersikap akrab, mungkin itu hanya cara dia menghormati orang yang dikenalkan orang tuanya.
     “Nia, boleh kan aku panggil begitu?” Bagas menatap Rania yang sedang makan croissant. Rania mengangguk sambil menyeka bibirnya dengan tisu. Sepertinya Rania takut remahan croissant tertinggal di bibirnya. “Kamu tidak bosan selalu menghabiskan waktu dengan ibuku?” Tanyanya kemudian. Sudah beberapa  kali Bagas mendengar kalau ibunya sering mengajak Rania pergi belanja atau berlibur.
       “Nia senang bisa menghabiskan waktu dengan ibu. Ibu Nia sudah meninggal enam tahun yang lalu. Kehadiran ibu membuat rasa kangen Nia pada almarhum ibu berkurang.”
       “Memangnya kamu tidak punya pacar?” Tanya Bagas dengan penuh rasa penasaran. Gadis secantik dan semanis Rania tak mungkin tidak memiliki penggemar. 
        “Saat ini Nia memang tidak punya pacar.” 
         Bagas tersenyum mendengar jawaban Rania.
      Sejak hari itu mereka mulai sering berkirim pesan. Mereka berbagi cerita tentang kegiatan mereka sehari-hari. Bagas juga jadi lebih sering pulang. Mereka terkadang pergi liburan bersama papa dan ibu. 
        Awalnya Rania agak canggung jika bertemu dengan Bagas. Lama kelamaan dia mulai merasa nyaman dan betah. Dia pun sudah tidak canggung lagi saat memanggilnya dengan sebutan abang. Rania juga sudah terbiasa memanggil kedua orang tua Bagas dengan panggilan yang sama dengan Bagas, papa dan ibu.
      “Sedang apa, Non?” Tanya Bagas suatu malam saat dia melakukan panggilan video dengan Rania. Seiring makin akrab Bagas tak lagi memanggilnya Nia. Kini dia sering memanggilnya dengan sebutan Non.
         “Sedang mengolah nilai rapor.” Rania menunjuk laptop di hadapannya.
        “Rajinnya calon menantu papa.” Bagas menggoda Rania menggunakan julukan yang selalu diucapkan papanya. 
        “Nanti keburu ditagih wakasek kurikulum.” Rania terkekeh geli.
        “Laporkan saja pada papa.”
        “Idih ngapain. Nanti yang ada aku semakin digodain.” Rania mencibir dan Bagas pun tertawa. “Oh ya Hari Kamis Nia mau ke Bandung sama Ibu.”
     “Iya. Ibu sudah cerita. Kali ini kamu menginap di mana?” Bagas bertanya begitu karena biasanya Rania menginap di rumah kakaknya setiap ke Bandung. 
         “Ya di rumah Teh Dina seperti biasa.”
         “Kenapa tidak di tempatku saja.”
         “Rumah abang kamarnya hanya dua, nanti Nia tidur di mana?”
         “Di kamar abang lah. Biar abang tidur di sofa.”
         “Mana bisa begitu. Nanti badan atletis abang jadi pegal-pegal.”
         “Harus ya ditambahin kata atletis.” Bagas memicingkan matanya.
     “Emang iya sih badan abang kaya atlet.” Nia tertawa, “Nia enggak enak kalau numpang menginap di rumah abang. Nanti apa kata orang.”
        “Iya makanya kita harus segera nikah. Biar kalau liburan nanti bisa hemat tempat enggak usah menyewa tiga kamar.” Bagas tertawa.
          “Memangnya abang sudah yakin mau nikahin aku?” 
         “Lihat saja nanti. Sudah dulu ya ada panggilan masuk dari bosku.” Sahutnya sambil memutuskan panggilan video.
       Selama ini Bagas tak pernah menyatakan perasaan padanya. Namun semua sikapnya membuat Rania berpikir bahwa Bagas mengganggapnya lebih dari sekedar teman. Kedua orang tuanya juga sering mengutarakan keinginan mereka untuk menjadikan Rania sebagai menantu. Meski begitu Rania tidak terlalu menanggapi keinginan mereka. Rania bukannya tidak tertarik pada Bagas. Namun dia ingin Bagas memilihnya sendiri bukan atas desakan orang tuanya.
***
         Sabtu siang Bagas mengajak Rania dan ibunya makan siang di mal. Setelah masuk ke restoran yang dimaksud dia minta izin pada ibu untuk mengajak Rania ke suatu tempat. 
      “Toko perhiasan?” Rania menatap Bagas bingung. Mengapa tiba-tiba dia mengajaknya ke sini. Sepertinya Bagas ingin meminta Rania memilihkan hadiah untuk ibu, pikirnya.
     “Cincin mana yang kamu suka?” Tanya Bagas saat mereka sudah berada di dalam toko.
    “Cincin?” Rania mengernyit. Mengapa tiba-tiba Bagas menanyainya tentang cincin. Rania memandangi cincin-cincin indah yang ada di etalase. Semua cincin itu indah. Dia jadi bingung sendiri.
      Karena Rania hanya diam, Bagas pun meminta karyawan toko untuk mengeluarkan beberapa cincin yang ditunjuknya. Setelah itu dia mencobakan cincin-cincin itu di jari manis Rania. Bagas berdecak saat melihat cincin yang dirasanya cocok untuk digunakan Rania.
      “Saya pilih yang ini.” Bagas menunjuk cincin itu lalu menyerahkan kartu debitnya pada karyawan.
        “Mau langsung dipakai, Pak?” Tanya karyawan begitu pembayaran selesai.
        “Iya.” Sahut Bagas. 
          “Ini maksudnya apa?” Tanya Rania begitu mereka keluar dari toko.
       “Ini tanda kalau kamu sudah ada yang punya.” Bagas tersenyum lalu mengajak Rania menemui ibu yang sudah menunggu mereka untuk makan di restoran. 
       “Akhirnya!” Ibu tersenyum bahagia saat melihat cincin di jari manis Rania. “Jadi Nia Ibu harus melamarmu ke mana? Garut? Bandung? Tasik? Jakarta atau Surabaya?” Ibu menyebutkan tempat tinggal kakak-kakak Rania.
         “Ke Garut saja. Ke rumah Teh Alma.”
      Satu minggu kemudian Bagas dan keluarganya datang meminang Rania ke Garut. Setelah pembicaraan panjang akhirnya mereka memutuskan untuk menikah di bulan Juni, dua bulan kemudian.
      Hubungan Bagas dan Rania berjalan cukup harmonis meski mereka harus berjauhan. Semakin mengenalnya Rania semakin menyayangi Bagas. Bagas selalu memperlakukannya dengan penuh kasih.
***
          “Nia, kamu baik-baik saja?” Ibu mengunjungi Rania di rumahnya. 
       “Baik bu. Memangnya kenapa?” Rania yang sedang menyeduh kopi menoleh pada ibu. “Ibu mau?” Tawarnya.
        “Ibu sudah minum tadi sama papa.” Ibu duduk di kursi yang ada di dekat pantry.  
        “Nia, abang kok enggak kelihatan?” Ibu larak-lirik mencari.
        “Abang sudah kembali ke Bandung. Katanya ada rapat mendadak.”
        “Oh begitu ya. Padahal abang baru datang kemarin.” Ibu terdengar kecewa.
        “Rapatnya mendadak.”
     “Oh begitu. Ibu kira abang marah karena saat pulang Nia malah sedang berlibur dengan ibu.” 
       “Enggak kok.”
     “Nia kalau ada masalah bicarakan baik-baik ya. Ibu sangat menyayangi kalian berdua. Kalau ada apa-apa ibu tak akan memihak salah satu di antara kalian.”
       “Iya bu, terima kasih.”
     Hari itu setelah ibu pulang Rania mengecek ponselnya. Ternyata tak ada satu pun pesan yang dikirim Bagas. Tidak biasanya dia seperti itu. Sepertinya Bagas benar-benar marah. Sesibuk apapun dia selalu menyempatkan diri untuk mengiriminya pesan.

Sesibuk apapun jangan lupa makan ya!
Nia minta maaf kalau buat abang kecewa.
Nia sayang abang, dulu, sekarang dan selamanya.

    Rania mengirimkan beberapa pesan tapi tak satu pun yang dibalas oleh Bagas. Akhirnya Rania menyerah. Dia pun menyibukkan diri dengan pekerjaan di sekolah. Sebentar lagi Asesmen Akhir Tahun, Rania harus segera membuat soal.


YN, 02062025


Finally 40

 Happy Birthday.... Saenghil Cukhae.... Barakallah Fii Umrik.... Yeay... Akhirnya sampai di usia ini. Dulu pernah berpikiran usia 40 itu sud...