Jumat, 13 Juni 2025

Makna Safia untuk Akhtar

    "Meski usiaku lebih muda tak berarti cintaku lebih labil. Kau hanya tak ingin mengakui saja kalau sebenarnya hatimu mulai tergerak." Akhtar tersenyum getir. Dia mengambil ranselnya dari kursi lalu pergi. Meninggalkan Safia tertegun dalam kedalaman makna di balik kata-kata Akhtar.

    Bukan baru kali ini Akhtar pergi dengan hati yang kesal. Dia sudah seperti ini sejak sembilan tahun yang lalu. Meski begitu dia tetap menemui Safia. Dia yakin suatu hari nanti Safia akan merasakan ketulusan hatinya. 

***

    Akhtar ingat pertemuan pertama mereka. Hari itu Akhtar pergi bermain ke rumah Sauqi, sahabatnya. Di teras Akhtar melihat seorang gadis sedang menyiram bunga. Gadis itu tampak begitu asyik dengan kegiatannya. Dia sampai tak menyadari kedatangan Akhtar. 

    “Permisi.... Permisi.... Permisi....” Akhtar berdiri sambil memanggil gadis yang sedang asyik menyiram bunga. Meski Akhtar sudah berkali-kali memanggil gadis itu masih tak mendengar, Akhtar pun menepuk pundaknya. Gadis itu kaget dan secara refleks menyiram Akhtar. 

    “Ma... af ....” Gadis itu meminta maaf saat melihat Akhtar basah kuyup.

    “Tar, kamu lagi ngapain?” Sauqi tertawa melihat sahabatnya basah kuyup.

    “Mandi....” Sahutnya sambil menyeka air dari wajahnya. Dia menatap sebal pada Sauqi yang tertawa ngakak.

    “Pasti kamu bikin kaget Safia?” Sauqi melirik kakaknya yang mematung dan tampak merasa sangat bersalah. “Fia, ambilin handuk sana!” Sauqi meneleng pada Safia yang langsung kabur ke rumah.

    “Siapa dia?” Tanya Akhtar yang baru hari ini melihat Safia. 

    “Kakak perempuanku.” Sauqi menjelaskan sambil menggandeng Akhtar masuk ke rumah.

    “Kakak?” Akhtar terbelalak tak percaya. Gadis itu tampak seumuran dengan Sauqi. 

    “Dia seperti vampir. Wajahnya seperti tidak menua.” Sauqi berkelakar.

    “Mungkin karena mukamu yang kelewat move on.” Akhtar mengacak rambut Sauqi. 

    “Enak saja.” Sauqi berusaha menjauhkan tangan Akhtar dari tangannya. 

    “Sama kakak kok panggil nama.” Akhtar menatap Sauqi tak percaya. Kakak-kakaknya pasti sudah mencincangnya habis kalau dia berani memanggil mereka dengan nama.

    “Udah biasa. Lagi pula hanya beda empat tahun.” Sauqi tertawa. “Nih ganti baju sana!” Sauqi menyerahkan handuk dan baju ganti pada Akhtar. “Sepertinya Fia terlalu malu hingga lupa membawakanmu handuk,” lanjutnya.

    Sejak hari itu Akhtar mulai sering main ke rumah Sauqi. Dia sengaja pergi ke sana untuk melihat Safia. Dia bertanya pada Sauqi apakah Safia sudah punya pacar atau belum. Akhtar merasa sangat senang saat Sauqi mengatakan kakaknya tak punya pacar. 

    “Kamu naksir kakakku?” Tebak Sauqi saat Akhtar makin sering bermain ke rumahnya. Yang ditanya malah asyik memandangi Safia yang sedang Yoga di halaman belakang. “Anak ini!” Sauqi kesal karena merasa diabaikan lalu meninju bahu Akhtar.

    “Apaan sih, qi?” Akhtar mengusap bahunya.

    “Katanya mau main PS. Eh malah ngintipin kakak gue!” Sauqi ngedumel.

    “Makin dilihat Fia makin cantik.” AKhtar tersenyum lebar.

    “Di sekolah banyak yang naksir kamu. Tapi kamu malah suka sama kakakku yang usianya empat tahun di atas kita.” Sauqi geleng-geleng kepala melihat Akhtar.

    “Sudah jangan ribut. Kalau Safia jadi pacarku nanti kamu harus sungkem.” Akhtar membekap mulut Sauqi lalu mengajaknya masuk kembali ke kamar. Hari itu mereka main PS sampai sore.

***

    “Wow. Kamu lagi ngerjain PR.” Mama berdecak saat masuk ke kamar Akhtar dan melihatnya sedang menyelesaikan soal matematika. Sejak dulu Akhtar lebih senang bermain game daripada belajar. Meski begitu nilai-nilainya di sekolah tidak terlalu buruk.

    “Eh mama sudah pulang.” Akhtar nyengir.

    “Baru saja. Tumben kamu mengerjakan PR?” Mama duduk di pinggir tempat tidur lalu memandangi sekeliling kamarnya yang rapi.

    “Mulai sekarang Akhtar mau rajin belajar.”

    “Kamu sedang jatuh cinta ya!” Mama memicingkan mata dan menatap putra bungsunya dengan penuh rasa penasaran.

    “Memang sekentara itu?” Akhtar tersenyum malu.

    “Kamu berubah. Jadi lebih rapi dan lebih rajin.” Mama tersenyum bangga. “Siapa gadis yang membuatmu jadi keren begini?”

    Akhtar tidak menjawab. Dia mengambil ponsel dan menunjukkan sebuah foto.

    “Cantiknya. Dia teman sekolah kamu?” Mama menebak. “Eh, tapi kayanya dia mirip seseorang?” Mama mengetuk-ngetuk keningnya.

    “Kakaknya Sauqi.” Akhtar tertunduk malu.

    “Mama kira dia seumuran kamu.” Mama terbelalak.

    “Tapi enggak apa-apa kan kalau Akhtar suka dia.” Akhtar terlihat murung. Dia takut mama berkomentar tidak menyenangkan.

    “Selama dia memberi pengaruh baik. Lalu apa yang jadi masalah.” Mama tersenyum lalu mengacak rambut Akhtar. “Selesaikan pekerjaanmu. Mama mau menyiapkan makan malam dulu.”

    Sepeninggal mamanya. Akhtar tertegun memandangi foto Safia. Sudah dua tahun dia memendam perasaannya pada Safia. Sampai saat ini Akhtar masih belum berani mengungkapkannya. 

    Nunna  mau pergi?” Akhtar yang baru saja tiba di rumah Sauqi terlihat kecewa. 

    “Iya. Kamu mau main PS ya!” Safia tersenyum pada Akhtar.

    Nunna mau pergi ke mana?” Dia kembali bertanya.

    “Ke nikahan teman. Sudah dulu ya!” Safia meninggalkan Akhtar termenung sendirian saat sebuah motor berhenti di depan halaman. 

    Ternyata Safia menunggu orang itu. Akhtar tertegun saat melihat laki-laki itu membuka penutup helmnya. Bukankah itu Om Zaki, adik bungsu mama. Apakah mereka pacaran? Akhtar bertanya-tanya dalam hati. 

    Ngapain bengong?” Sauqi menepuk pundak Akhtar.

    “Itu siapanya Nunna?” Akhtar masih menatap Safia yang sekarang sudah naik ke motor dan memeluk erat pinggang Om Zaki.

    “Kayaknya pacarnya.” Sauqi tampak tidak yakin. Dia tahu Akhtar pasti kecewa. 

    “Sejak kapan mereka dekat?” Tanya Akhtar kemudian.

    “Entahlah. Baru kali ini aku melihatnya. Nanti aku selidiki!” Sauqi berusaha menenangkan sahabatnya. “Yuk, masuk!” Dia menggandeng Akhtar masuk ke rumah.

***

Sepertinya hubungan Safia dengan Om Zaki semakin dekat. Akhtar merasa sedih tapi tak bisa berbuat apa-apa. Selama ini Safia hanya mengenalnya sebagai sahabat adiknya. Dia tidak tahu kalau Akhtar diam-diam menyukainya.

“Kamu baik-baik saja?” Mama mendatangi Akhtar di kamarnya. 

“Baik!” Akhtar mencoba tersenyum.

“Sepertinya Zaki serius dengan Safia. Kamu harus merelakannya.” Mama mengelus rambut Akhtar dengan penuh kasih.

“Iya mah. Tapi hati Iif sakit sekali. Dia gadis pertama yang Iif suka.” Mata Akhtar berkaca-kaca.

“Mama tahu, Nak. Tapi Fia juga tidak bersalah. Dia bahkan tak tahu kalau kamu menyukainya.” 

“Mama benar.” Akhtar memeluk mamanya. Tanpa terasa air mata makin merebak dan memenuhi pelupuk matanya.

Meski sakit, Akhtar berusaha untuk tegar. Dia tetap bersikap baik dan manis. Safia tidak bersalah. Dia yang terlalu penakut. 

Akhtar mengobati patah hatinya dengan semakin giat belajar dan berolahraga. Dia ingin jadi laki-laki yang bisa diandalkan oleh perempuan yang kelak jadi pasangannya.

“Apa kau tahu kalau Om Zaki berselingkuh?” Sauqi mendatanginya saat Akhtar baru selesai ujian sidang. Sauqi terlihat marah dan kesal.

“Apa maksudmu?” Akhtar menatap Sauqi dengan bingung.

Sauqi tidak menjawab. Dia menunjukkan foto di Instagram Om Zaki. Di ada unggahan yang dikirim oleh seorang perempuan yang bernama Yunita. Perempuan itu membagikan sebuah momen dan menandai Om Zaki. 

Belakangan ini Akhtar sibuk menyelesaikan skripsinya hingga ia jarang pulang. Dia menghabiskan waktunya di perpustakaan atau di kafe. Dia juga menonaktifkan ponselnya supaya konsentrasinya tidak terpecah.

“Mama kenapa?” Akhtar terpana melihat mamanya yang sedang menangis di ruang duduk.

“Pamanmu menghamili perempuan.” Mama meneteskan air mata.

“Maksud mama?” Akhtar duduk dan memandangi mamanya dengan bingung. “

“Dia berselingkuh dengan rekan kerjanya. Perempuan itu hamil dan minta pertanggungjawaban.” Mama menutup wajah dengan kedua tangannya. “Mama malu pada Safia dan keluarganya.” 

“Apa Safia sudah tahu tentang ini?”

“Iya. Tadi dia datang untuk mengembalikan semua barang yang pernah diberikan Zaki padanya.” Mama menunjuk sebuah kardus yang ada di dekat mereka.  “Fia bilang, perempuan itu meneleponnya dan menceritakan semuanya. Dia juga sudah bicara dengan Zaki.”

***

    “Kau baik-baik saja?” Tanya Akhtar saat dia berusaha mengejar Safia yang tengah berlari di lapangan Kerkof. Tadi dia menelepon Sauqi untuk menanyakan keberadaan Safia. Begitu Sauqi memberitahunya kalau Safia tengah berlari di Lapangan Kerkof, Akhtar langsung pergi menemuinya. 

    “Aku baik. Makanya bisa berada di sini.” Sahutnya sambil tersenyum. Senyum yang selalu dirindukan Akhtar. “Pasti Uqi yang memberitahumu!” 

    “Iya. Aku khawatir pada Nunna.” Akhtar mengusap-ngusap kepalanya sendiri. “Aku takut Nunna menangis sendirian di sini.” 

    “Aku tidak serapuh itu.” Safia tersenyum. 

    “Syukurlah!” Akhtar menarik napas lega. 

    “Oh ya bagaimana ujian sidangnya?” Safia mengubah topik pembicaraan.

    “Berjalan dengan lancar.”  Akhtar tersenyum bahagia. “Kudengar Nunna juga baru selesai ujian Tesis?”

    “Iya. Untungnya aku tahu tentang semuanya saat ujianku selesai. Kalau tidak, aku tak tahu bagaimana.” Safia menghela napas lalu tersenyum.  “Aku terlalu fokus dengan Tesisku sehingga sering mengabaikan Zaki.” Lanjutnya sambil berjalan menuju tempat duduk di pinggir lapangan.

    “Kau pasti sangat sedih.” Akhtar mengikuti Safia dan duduk di sampingnya.

    “Beberapa hari yang lalu memang. Namun sekarang aku baik-baik saja. Hubungan kami memang sudah renggang sebelum keberangkatannya ke Jepang. Saat itu Zaki marah karena aku lebih memilih melanjutkan S2 dari pada menikah dengannya dan ikut ke Jepang.” Safia menghembuskan napas beberapa kali.

    “Syukurlah kalau kau baik-baik saja.” Akhtar tersenyum lega. “Kau tahu Nunna, aku selalu ada untukmu. Jika kau butuh seseorang untuk bercerita aku selalu siap mendengarkan.”

    “Terima kasih.” Safia tersenyum.

***

    Dua tahu sudah berlalu sejak putusnya hubungan Safia dan Om Zaki. Kini Akhtar dan Safia lebih sering menghabiskan waktu bersama. Akhtar tak ingin lagi kehilangan kesempatan. Kali ini dia akan memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Akhtar tahu Safia masih ragu padanya tapi dia akan terus berusaha meyakinkannya.

    “Kau masih muda Akhtar. Masih banyak perempuan seusiamu yang lebih pantas untuk kau pacari." Safia tersenyum. Untuk ketiga kalinya Safia mengingatkan Akhtar tentang hal ini. 

    "Meski usiaku lebih muda tak berarti cintaku lebih labil. Kau hanya tak ingin mengakui saja kalau sebenarnya hatimu mulai tergerak." Akhtar tersenyum getir. Dia mengambil ranselnya dari kursi lalu pergi. Meninggalkan Safia tertegun dalam kedalaman makna di balik kata-kata Akhtar.

YN, 13062025


Finally 40

 Happy Birthday.... Saenghil Cukhae.... Barakallah Fii Umrik.... Yeay... Akhirnya sampai di usia ini. Dulu pernah berpikiran usia 40 itu sud...