"Meski usiaku lebih muda tak berarti cintaku lebih labil. Kau hanya tak ingin mengakui saja kalau sebenarnya hatimu mulai tergerak." Akhtar tersenyum getir. Dia mengambil ranselnya dari kursi lalu pergi. Meninggalkan Safia tertegun dalam kedalaman makna di balik kata-kata Akhtar.
Bukan baru kali ini Akhtar pergi dengan hati yang kesal. Dia sudah seperti ini sejak sembilan tahun yang lalu. Meski begitu dia tetap menemui Safia. Dia yakin suatu hari nanti Safia akan merasakan ketulusan hatinya.
***
Safia bukannya tak paham dengan apa yang dirasakan Akhtar. Namun hingga saat ini Safia masih tak ingin mengakuinya. Baginya Akhtar adalah sosok yang terlarang. Sebisa mungkin Safia harus menghindarinya.
Akhtar adalah sahabat baik adiknya. Usia Akhtar empat tahun lebih muda darinya. Akhtar adalah keponakan Zaki, mantan pacar yang meninggalkannya untuk menikahi perempuan lain. Dan ibu tidak menginginkannya sebagai menantu.
Safia ingin seseorang yang dapat diterima ibu dengan baik. Ibu sudah terlalu sering mengutarakan kekecewaannya terhadap Safia. Ibu selalu berharap Safia menjadi Bidan seperti dirinya. Saat Safia memutuskan untuk masuk ke fakultas keguruan ibu pernah tidak bicara padanya. Ibunya juga pernah kembali mendiamkannya saat dia putus dengan Zaki.
Zaki adalah menantu yang ibu dambakan. Ibu sangat berharap Safia menikah dengannya. Saat Safia mengatakan alasan dibalik putusnya hubungan mereka, ibu menyalahkan Safia. Ibu mengatakan Safia terlalu dingin padanya.
Mungkin pendapat ibu ada benarnya. Bersama Zaki Safia tidak merasa menjadi dirinya sendiri. Dia selalu menjadi Safia putri yang diharapkan ibu. Lain halnya saat dia bersama dnegan Akhtar. Akhtar membuat Safia merasa menjadi dirinya sendiri. Akhtar tak pernah mengomentari tingkahnya yang kadang masih kekanakan dan tidak terlalu bisa berdandan.
“Nunna, kau boleh melepasnya!” Saran Akhtar saat melihat Safia merasa kelelahan berjalan memakai highheels. Dia melepas sepatunya lalu memberikannya pada Safia untuk dipakai. Saat Safia hanya diam, dia pun berjongkok lalu menggantikan highheels dengan sepatu ketsnya lalu menjinjing highheels itu. “Pakailah dulu, nanti kita beli sandal jepit di depan.” Akhtar tersenyum lalu kembali mengajak Safia jalan. “Kenapa kau memaksakan diri untuk memakai ini!" Akhtar mengacungkan highheel yang dipegangnya.
“Zaki selalu mengejekku pendek dan tidak feminim.” Keluhnya sambil tertawa.
“Bersamaku kau tak perlu memakainya. Kau boleh memakai apapun sesukamu!” Akhtar berkata dengan sungguh-sungguh.
“Terima kasih. Maaf gara-gara aku kamu harus nyeker.” Safia merasa bersalah melihat Akhtar harus berjalan tanpa alas kaki.
“Kalau kau merasa bersalah, seharusnya kau menerimaku.” Akhtar memancingnya.
“Jangan mulai!” Safia memelototinya. Akhtar tidak gentar. Dia malah tertawa lebar.
Safia merindukan hari-hari itu. Hari di mana dia dapat tertawa gembira bersama Akhtar.
***
“Minggu ini kau tidak pulang juga?” Tanya Prof. Andi pada Jumat Sore Ketika mereka baru selesai mengajar. Biasanya Safia langsung pulang ke Garut begitu jam mengajarnya selesai di hari Jumat. Namun sudah tiga kali Jumat Safia malah menemani Prof. Andi mengajar.
“Aku janji akan menemani Namia jalan-jalan.” Sahutnya sambil merapikan lapotop ke dalam tasnya. Mendengar nama anaknya membuat Prof. Andi tertawa.
“Kalian pasti akan menggosipkan aku?” Tuduhnya sambil tertawa.
“Apa asyiknya membicarakan Anda.” Safia langsung mencibir, sebal.
“Namia kesepian sejak ibunya meninggal. Makanya dia sangat bergantung padamu.” Prof. Andi tersenyum malu. Anak semata wayangnya sudah lengket dengan Safia sejak pertama mereka bertemu.
“Makanya segera carikan dia ibu baru.” Safia menyarankan.
“Dia maunya kamu.” Prof. Andi menggoda Safia.
“Anda mulai lagi.” Safia meninju bahu Prof. Andi yang berjalan di sampingnya.
“Aku serius. Dengan menjadikanmu istriku maka orang akan berhenti menjodoh-jodohkan kita.” Prof. Andi tersenyum mengingatkan.
“Tapi saya tidak tertarik menjadi istri Anda.” Kata Safia dengan yakin.
“Kalau ada laki-laki semuda dan setampan Akhtar, tentu saja aku kalah telak.” Prof. Andi mengingatkan Safia. “Kau terima saja dia. Dan aku tak akan mengungkit lagi tentang hal ini.” Sarannya sambil meninggalkan Safia dan pergi menuju mobilnya.
***
Safia sengaja tidak pulang ke Garut karena dia malas ditanya-tanya oleh ibunya. Setiap pulang, ibu selalu bertanya kapan dia akan menikah. Safia bosan menjawabnya. Safia juga tak ingin pulang karena ibu selalu berusaha menjodohkan dia dengan anak teman-temannya.
Sauqi juga pernah bertanya mengapa dia tidak menerima Akhtar saja. Dengan begitu ibu akan berhenti bertanya. Namun Safia merasa itu bukan penyelesaian yang baik.
“Dia teman adikmu, Fia.” Tegur Ibu saat melihat keakrabannya dengan Akhtar. Ibu memperlihatkan wajah yang tidak senang saat menegurnya.
“Memangnya kenapa?” Tanya Safia menatap ibu bingung. Dia tidak merasa ada yang salah dengan sikapnya.
“Carilah laki-laki yang lebih tua. Laki-laki yang matang secara umur dan finansial. Demi kebaikanmu sendiri.”
Karena kata-kata ibulah sekarang Safia mencoba menjaga jarak dengan Akhtar. Safia tahu Akhtar pasti sakit hati. Mungkin sekarang dia akan menyerah dan melupakannya.
***
“Fia, kamu apain lagi si Akhtar?” Todong Sauqi saat mengunjunginya di rumah kontrakan. Dia terlihat kesal. Dan ini bukan pertama kalinya dia sekesal ini.
“Tidak ada. Memangnya kenapa?” Tanya Safia menoleh pada adiknya sejenak lalu kembali fokus pada novel yang sedang dibacanya.
“Sudah beberapa hari ini unggahan di media sosialnya selalu berisi ungkapan patah hati.” Sauqi menarik napas panjang. Dia merebahkan diri di sofa dan matanya memandangi langit-langit. Dia termenung selama beberapa saat. “Awalnya aku mengira cintanya padamu hanya sekedar guyonan. Ternyata dia serius. Cintanya padamu berhasil mengubahnya jadi laki-laki sejati.” Sauqi mengubah posisinya jadi duduk dan memandangi Safia yang sedang asyik membaca novel. “Baru kali ini aku melihatnya segalau itu. Memang tidak sampai menangis seperti waktu itu.”
“Akhtar menangis? Kenapa? Kapan?” Safia jadi penasaran. Setahunya Akhtar adalah laki-laki tangguh. Dia menatap Sauqi dan menantikan jawaban.
Sauqi tidak segera menjawab. Dia mengulur-ulur waktu sambil mengetuk-ketuk pelipisnya. “Saat tahu kau memilih pamannya,” lanjutnya setelah merasa yakin. “Apa kali ini juga kau akan memilih professormu itu dibandingkan dia?” Sauqi menduga-duga.
“Dia mentorku. Dia mengisi kekosongan yang ditinggalkan ayah.” Safia meninggikan suaranya. Dia sedikit terpancing emosi. Bukan hanya Sauqi yang beranggapan kalau Safia dan Prof. Andi memiliki hubungan romantis, teman-temannya juga pernah ada yang berkomentar tentang itu. “Aku mengizinkanmu menikah lebih dulu. Mengapa tidak kau lakukan?” Safia menatap tajam pada adiknya.
“Ibu tidak setuju tentang itu. Dia akan merestui pernikahanku kalau kau sudah memiliki calon.” Sauqi kembali menghembuskan napas panjang.
Hari itu setelah Sauqi pulang, Safia tertegun memandangi buku hariannya. Dia membaca kembali curahan hatinya tentang Akhtar. Kalau harus jujur, dia memang memiliki perasaan untuknya. Perasaan yang sampai kini selalu berusaha untuk ditolaknya. Perasaan yang selalu berusaha dia tutup-tutupi.
***
Safia baru saja mendaratkan pinggulnya di sofa setelah seharian menghabiskan waktu bersama Namia, ketika Sauqi datang dengan napas yang ngos-ngosan.
“Kamu kenapa?” Safia mengajaknya duduk dan menuntunnya untuk menarik napas secara lebih santai. Setelah itu dia mengambilkan minum dan memberikannya pada Sauqi. “Apa yang terjadi?” Tanya Safia setelah adiknya lebih tenang.
“Akhtar kecelakaan, Fia. Kemarin mobilnya menabrak pembatas jalan. Hingga saat ini dia masih belum sadar. Dokter mengatakan keadaannya kritis. Mamanya memintaku membawamu.”
Mendengar hal itu tubuh Safia langsung merasa lemas. Air mata langsung merebak dan memenuhi pelupuk matanya. Rasa takut tiba-tiba saja menjalari tubuhnya.
“Fia, kau baik-baik saja?” Sauqi mengguncang tubuh kakaknya yang tiba-tiba mematung.
“Bawa aku kesana!” Safia memohon pada adiknya setelah berhasil menguasai dirinya lagi.
“Mari kita pergi!” Sauqi menggandeng kakaknya.
Saat sampai di ruang perawatan intensif, Safia langsung disambut oleh mamanya Akhtar. Dia langsung menggandeng Safia dan membawanya menemui Akhtar.
“Dia menunggumu, nak!” Bisik mama Akhtar dengan mata yang sembab dan berkabut. Safia mengangguk lalu mendekat ke ranjang pasien.
“Tar, aku datang!” Bisik Safia di telinga Akhtar sambil menahan tangis. “Berjuanglah lagi. Kali ini aku menunggumu di garis finish.” Bisiknya.
***
Satu bulan berlalu, Safia belum mendengar kabar dari Akhtar. Dia sibuk menggantikan tugas Prof. Andi untuk memberikan kuliah di daerah Tasik. Prof. Andi harus pergi ke Sidney untuk seminar. Dia mendelegasikan semua tugasnya pada Safia.
“Kamu?” Safia menatap tak percaya pada laki-laki yang sedang berdiri di depan fakultasnya.
“Aku datang untuk menagih janji.” Akhtar menghampirinya lalu mengambil tas laptop yang dipegang Safia. “Kau bilang menungguku di garis finish.” Lanjutnya saat melihat Safia mematung. “Bukankah garis finish yang kau maksud adalah pelaminan?” Akhtar melepas cincin dari gantungan kunci mobilnya lalu memakaikannya di jari manis Safia.
“Aku belum bilang ya.” Safia menarik tangannya dan memandangi cincin indah itu.
Akhtar tersenyum lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menelepon seseorang. Setelah itu dia memberikan telepon pada Safia. Ternyata Akhtar menghubungi ibu.
“Sauqi sudah cerita semua Fia. Maafkan ibu. Pulanglah bersama Akhtar. Mari kita bicarakan pernikahanmu dengannya.” Nada suara ibu terdengar senang.
“Terima kasih, ibu.” Bisik Safia dengan mata berkaca-kaca.
“Sama-sama sayang.”