Jumat, 08 Agustus 2025

Frekuensi Yang Sama

  Saat menerima SK penempatan aku tertegun. 

        Garut. Tempat yang sudah lama ingin kukunjungi. Tempat yang ditinggali seseorang yang sangat ingin kutemui. Tempat yang akan menjadi saksi pengabdianku pada negeri. Tempat yang mungkin akan membuat ibuku menangis sedih karena harus berjauhan dengan satu-satunya anak laki-laki yang dimiliki.

       Apapun yang terjadi aku akan tetap pergi. Aku ingin menyusuri kembali jejak-jejak yang telah lama kuhindari. Aku ingin kembali menapaki getaran-getaran yang dulu menguji diri. Meski aku tak tahu harus mulai dari mana. Namun aku yakin pasti akan kutemukan juga.

***

“Met! Jamet!” Aku meneriaki gadis jangkung yang sedang memarkirkan motornya. Gadis itu larak-lirik mencari hingga akhirnya tatapannya tertuju padaku. Dia menatapku bak menatap hantu. Wajah cantiknya terlihat bingung. “Akhirnya ketemu.” Ujarku seraya berjalan menghampirinya. “Makin kurus aja, met.” Aku memandangnya dari ujung kaki ke ujung kepala.

“Kamu ngapain di sini?” Janet memandangi seragam warna kaki yang kupakai. Raut wajahnya seakan berkata “enggak salah lo pake baju?”.

“Aku ada acara di sini!” Aku menunjuk ke dalam ruang pertemuan yang sudah mulai dihadiri para pembina PMR dari berbagai sekolah yang ada di kecamatan tempat puskesmasku bekerja berada.

“Kamu pembina PMR juga?” Tanyanya menebak-nebak. Aku langsung tertawa mendengar tebakannya. “Kukira kamu tidak suka jadi guru?” Janet kembali bertanya.

“Aku yang jadi pembicara di kegiatan hari ini!” Ujarku yang langsung mendapat tatapan tajam darinya. “Ini nomor ponselku.” Aku menuliskan nomorku di kertas lalu memberikannya. “Tolong hubungi aku. Aku tunggu.”

“Oh ok.” Sahutnya dengan kebingungan yang belum berakhir.

“Kalau kau tidak juga menghubungi sampai nanti sore. Aku akan mencarimu di seluruh sekolah yang ada di kecamatan ini.” Aku tersenyum lalu segera masuk ke ruangan.

Sebenarnya aku masih sangat ingin bicara dengannya. Aku kangen sekali. Seandainya saja aku tak harus segera masuk dan menyampaikan materi tentang pemeriksaan kesehatan gratis untuk sekolah, aku pasti mengajaknya ke kafe terdekat.

Aku bersyukur acaranya berjalan dengan lancar. Padahal awalnya konsentrasiku sedikit buyar karena bertemu dengannya. Untunglah itu hanya berlangsung sebentar. Aku bisa kembali menguasai diri dan melaksanakan tugasku dengan baik. Aku berterima kasih pada semua undangan yang hadir. Mereka berpartisipasi cukup aktif tentang permasalahan yang aku bahas. 

Setelah kegiatan selesai aku kembali ke tempat kerja untuk menyelesaikan laporan kegiatan hari ini. Di sela-sela menyusun laporan sesekali aku melihat ke ponsel. Janet masih belum juga menghubungi. Sepertinya anak itu memang sengaja. Dia tak mau menghubungiku lebih dulu.

Malam harinya sambil menyeruput es kopi favoritku, iseng-iseng aku mencari tahu tentang sekolah tempat Janet bekerja. Ternyata selama ini dia mengajar di sekolah yang cukup dekat dengan tempatku bekerja. Tunggu saja nanti. Kalau dia tak kunjung menghubungi, akan kudatangi sekolahnya.

***

“Minggat?” Tanyaku sambil menatap gadis di hadapanku yang baru saja berhasil meloncati dinding sekolah. Aku membantu dia mengambilkan tas dari tanah lalu memberikannya. Gadis itu masih diam membisu. Raut wajahnya tampak kesal dan malu. Gadis itu mengambil tasnya dengan paksa lalu melesat pergi meninggalkan aku tanpa kata.

Keesokan harinya aku mencari gadis itu di sekitar sekolah. Sayang usahaku tidak berjalan mulus. Azura, kakak kelas, yang kecentilan itu selalu mendatangiku di jam istirahat. Kadang aku ingin menyuruh dia untuk berhenti datang. Namun dengan lincahnya dia akan menghubungi ayah dan melaporkan semua kenakalanku. Akhirnya kubiarkan saja dia membuat rumor bahwa aku sangat cinta mati padanya.

Sebenarnya aku lebih memilih untuk masuk SMK tapi ayah memaksaku masuk ke SMA. Dia takut aku makin nakal kalau satu sekolah dengan teman-teman yang pernah satu SMP. Ini semua juga demi ibu. Ibu memohon agar aku mengakhiri perang dingin dengan ayah dan menjadi anak manis. Sayangnya tidak semudah itu untuk jadi anak manis. Godaan selalu datang menerjang.

        “Minggat lagi?” Aku kembali bertemu dengan gadis itu saat sedang menikmati permen loli yang kuminta dari teman kelasku yang perempuan.

    “Apa lihat-lihat!” Tatapnya dengan galak. Aku hanya tersenyum menanggapi kejutekannya.

         “Idih galak amat.” Aku melemparinya senyuman tapi gadis itu membuang muka.

        “Bodo!” Gadis itu mengambil tasnya lalu pergi.

       Kali ini aku tak membiarkannya pergi begitu saja. Aku berniat mengikutinya. Aku tak ingin kehilangan jejaknya lagi. Aku tahu gadis itu tak ingin diganggu, sayangnya aku tak peduli. Hari ini aku tak ingin kehilangan lagi.

         “Apa maumu?” Gadis itu tiba-tiba berbalik dan menatapku nyalang.

         “Namamu? Siapa namamu?” Aku membalas tatapannya tanpa gentar.

         “Janet.” Sahutnya sambil kembali berjalan.

    “Oh Jamet?” Aku tertawa lalu kembali mengekorinya. “Apa alasanmu minggat?” Tanyaku penasaran. 

        “Pelajaran sejarah.” Ujarnya dengan ketus. 

       “Kalau aku sih pelajaran Bahasa Arab.” Aku menjelaskan tanpa ditanya. Dia langsung memberiku tatapan “emangnya gue nanya?”. 

      Itulah awal kedekatan kami. Sejak hari itu kami sering kabur bersama. Kami biasanya duduk-duduk di lapangan olahraga atau minimarket sambil menikmati kopi. Saat itu yang ada dipikiran kami hanyalah melarikan diri dari hal yang tak disuka. Kalau dipikir lagi sekarang, kelakuan kami saat itu benar-benar konyol. 

     Saat ketahuan sering kabur, kami pernah dihukum bersama. Kami harus menyapu halaman sekolah yang luas itu. Namun saat itu kami melakukannya tanpa mengeluh. Kami malah bercanda dan tertawa. Kami berjanji untuk berusaha lebih betah tinggal di kelas, apapun pelajarannya. Ya, karena ketika naik kelas 11 ternyata kami satu kelas. Itu merupakan kebahagiaan tak terkira untukku.

      “Met, kamu pacaran sama si Aldo?” Aku menanyainya saat kami merapikan peralatan praktikum di lab. Kali ini bukan karena dihukum, kami melakukannya untuk membantu guru IPA kesayangan kami.

       “Kalau iya kenapa.” Dia menjawab sambil lalu. Wajahnya tampak biasa. Dia tak sadar kalau laki-laki di hadapannya sedang menahan marah. “Pekerjaanku selesai. Aku mau ketemu Aldo di kantin.” Dia meninggalkanku sendirian.

        Sejak saat itu kami mulai jarang bicara. Janet sibuk dengan pacarnya sedangkan aku sibuk dengan kemarahanku padanya. Kadang aku tak mengerti mengapa dia lebih memilih Aldo. Aku yang selalu disisinya. Aku yang tahu semua tentangnya. Namun Aldo yang menerima cintanya.

***

“Kara, kenapa ketemu di sini?” Janet melirik ke kanan dan ke kiri saat tiba di lapangan olahraga Kerkhof. Aku tahu gadisku ini lebih memilih rebahan di kamar sambil melihat video di youtube atau tiktok.

“Ini adalah kegiatan yang selalu kuimpikan. Berolahraga bersama.” Sahutku sambil mengajaknya masuk ke lintasan untuk jalan kaki.

“Kalau nanti kita ketemu muridku bagaimana?” Janet terlihat khawatir.

“Kita berada 20 Km dari sekolah tempatmu bekerja. Kemungkinan bertemu dengan mereka sangat kecil. Lagipula apa masalahnya kalau bertemu dengan mereka. Aku kan bisa sekalian kenalan. Aku ingin tahu bagaimana kau di sekolah.”

“Rendra Bagaskara!” Janet memanggil nama lengkapku. Dia biasa melakukannya kalau aku membuatnya kesal.

“Ya sayang.” Aku makin menggodanya. Dia menatapku dengan berapi-api. “Ayo kejar aku Zara Janetra Bagaskara.” Aku sengaja memanggil nama lengkapnya dan menambahkan namaku di belakangnya. Aku segera berlari karena dia mulai mengejarku. Aku sengaja melakukannya agar dia mau bergerak. Kalau sedang marah dia akan sanggup mengejarku bahkan dengan tertatih. 

   “Aku lelah!” Janet berhenti berlari dan memegangi pinggangnya dengan napas tersengal.

       “Ayo beli minum dulu!” Aku melambatkan langkahku, berbalik menghampirinya lalu menuntunnya ke pinggir lapang. “Jadi kenapa saat itu kau pacaran dengan Aldo?” Tanyaku sambil menggenggam tangannya dan mengajaknya duduk di pinggir lapang setelah kami membeli minum.

      “Karena Aldo yang memohon. Lagipula saat itu aku malas didatangi terus oleh Kak Azura. Dia selalu mengancamku agar menjauhimu.” 

        “Lalu kenapa kau putus dengannya?”

     “Karena dia juga yang meminta.” Jawabannya membuatku gemas. Ingin sekali aku menjembel pipinya. Namun dia pasti mengamuk.

      “Met, Met. Kau ini tak punya keinginan apa? Mau aja diperlakukan seperti itu sama Aldo.”

       “Kau sendiri. Mau-maunya dirumorkan bucin pada Kak Azura.” Janet mencibir.

       “Aku melakukannya karena dua alasan.”

       “Apa alasannya.”

      “Pertama agar dia tidak melaporkan kenakalanku pada ayah. Dan yang kedua ....” Aku sengaja menggantungkan kata-kataku agar dia penasaran.

       “Apa yang kedua?” Tanyanya dengan mata yang penasaran.

      “Supaya kamu cemburu.” 

      “Kenapa aku harus cemburu?” Janet mengernyit.

     “Karena aku tahu sejak awal hatimu berada di frekuensi yang sama dengan hatiku.” Aku bicara sambil menatapnya tajam dan menggenggam tangannya. “Kali ini aku tak akan melepasnya lagi.” Aku mengacungkan genggaman tangan kami ke udara. Dia mengangguk lalu tersenyum. 

YN, 09-08-2025


Jumat, 01 Agustus 2025

Alur Yang Sama

 

                  Sunyi.

        Kata yang selalu disenangi Janet. Janet tidak suka keramaian. Janet lebih memilih diam di kamar sambil melihat-lihat video di youtube dibandingkan berada di keramaian. Waktu liburnya dia manfaatkan untuk tidur dan rebahan. Energinya sudah terkuras habis dari Senin hingga Jumat.

        Apakah dia kesepian? Jawabnya tidak. Dia masih punya ibu yang sangat asyik untuk diajak bicara. Setiap pulang ke rumah ibu pasti mengajaknya mengobrol. Janet sangat bersyukur karenanya. Dia masih belum bisa membayangkan seandainya ibunya dipanggil Sang Pencipta. Dia masih belum rela. Dia masih sangat membutuhkannya.

       Ibu adalah rumah tempatnya pulang dari semua kelelahan. Janet berusaha berdiri tegak di tengah gempuran pertanyaan “Kapan menikah?atau “Di tunggu undangannya”.  Dia berusaha tetap tersenyum dan tak ambil pusing. Dia percaya Sang Pencipta sudah menyiapkan seseorang untuknya. Hanya saja orang itu belum datang.

         Janet bahagia dengan hidupnya. Dia bersyukur atas apa yang telah dianugerahkan Sang Pencipta. Namun kini semua ketenangan dan kedamaian itu terusik oleh kedatangannya.

         “Syehrazad kenapa?” Yuri bertanya pada Rosa yang sedang asyik menonton drama china di ponsel canggihnya.

          Rosa mengalihkan pandang dari ponselnya lalu berbisik, “Enggak tahu, anak itu dari tadi diam terus. Lagi pindah ke Turki kali?” Rosa tertawa.

           “Apa mungkin dia sudah ketemu si Onur?” Yuri tergelak.

        Ketika Yuri dan Rosa sedang tergelak, tiba-tiba Janet bangkit dari kursinya lalu berdiri dan berjalan menuju pintu. Dia melihat ponselnya sebentar lalu berjalan tergesa menuju gerbang. Di belakangnya Yuri dan Rosa melongo heran.

***

         “Sudah terima makanannya?” Tanya seseorang di seberang sana saat Janet baru selesai mengambil makanan dari kurir.

“Kamu lagi banyak duit ya?” Tegur Janet berusaha terkesan galak padahal hatinya senang tak terkira.

Enggak juga. Tadi kebetulan lewat ke toko dimsum. Sudah dulu ya! Aku ada janji sama teman-teman mau basket.”

“Masih suka basket ternyata.” Janet tersenyum mengingat masa SMA.

“Bukan hanya basket yang masih aku suka. Orang yang sekarang bicara denganku juga masih aku suka.”

Mendengar kata-kata itu Janet langsung mengalihkan pembicaraan. “Sudah dulu ya! Aku lapar. Mau makan dimsum.”

“Baiklah! Sampai jumpa hari Sabtu nanti. Awas jangan pura-pura lupa!” Ancamnya.

Janet menutup pembicaraan lalu kembali ke UKS. Di UKS kedua sobatnya sudah siap dengan naskah interogasi mereka.

“Dimsum nih?” Yuri melirik dimsum di tangan Janet yang sudah kembali ke UKS.

“Pesen makanan kok enggak ngajak-ngajak.” Tegur Rosa sambil mengedip-ngedipkan mata  pada dimsum di tangan Janet.

“Oh ini tadi dikirim orang.” Janet bicara sambil tertunduk malu lalu duduk di karpet tempat mereka biasa makan-makan.

Mendengar hal itu baik Yuri maupun Rosa langsung saling pandang dan tergelak.

“Jadi siapakah dia?” Mode detektif Yuri langsung aktif. Dia menatap Janet dengan tatapan maut.

“Teman.” Sahut Janet dengan wajah bersemu merah.

“Baik amat temennya sampai ngasih dimsum.” Rosa menatap tak percaya.

“Teman SMA. Dia baru saja ditugaskan di Puskesmas.”

Mendengar nama puskesmas disebut, Rosa dan Yuri langsung berpikir keras. Dua bulan yang lalu Janet mengantar Rosa ke acara pertemuan para pembina UKS dengan pihak Puskesmas.

“Coba ceritakan si teman ini!” Yuri kembali beraksi.

“Ya waktu itu ketemu pas nganter kak Ocha. Aku juga enggak nyangka bisa ketemu lagi sama dia.”

Singel kan?” Yuri menatap tajam dan Janet langsung mengangguk. “Kalau begitu, gas.” Yuri menyemangati.

“Apanya yang gas?” Janet pura-pura tak mengerti.

“Mau gue datengin ke Puskes?” Gertak Rosa gemas melihat tingkah Janet.

“Ayo!” Yuri bersemangat. Bakat terpendamnya sebagai mak comblang kembali mencuat.

“Ih jangan. Kalian malu-maluin aja.” Janet langsung menolak dengan tegas. Lalu membuka bungkus dimsum dan mulai memakannya.

“Okelah kalau begitu.” Seru Yuri dan Rosa sambil ikut menikmati dimsum.

***

            “Hai!” Sapa Janet dengan senyum yang tiba-tiba jadi makin serinng menghiasai wajahnya.

“Halo. Yuk, pergi!” Yang disapa menyerahkan helm lalu meminta Janet segera naik ke jok motor di belakangnya.

“Jadi kita mau pergi ke mana?” Tanyanya setelah memakai helm dan duduk dengan nyaman.

“Lihat saja nanti!” Sahutnya sambil menutup kaca helm lalu mulai menjalankan motornya.

Awalnya Janet bingung antara harus pegangan ke bajunya ataukah ke bagian belakang jok. Dia terbiasa mengendarai motor sendiri sehingga merasa kurang nyaman saat harus dibonceng orang.  Setelah lama berpikir akhirnya Janet berpegangan pada jaketnya.

“Curug?” Janet tertegun saat mereka sampai di tujuan.

“Ya. Kamu pasti belum pernah ke sini.” Dia tersenyum senang melihat Janet yang memandangi keadaan sekeliling dengan takjub. “Ayo!”

Janet membiarkan dirinya ditarik untuk berjalan menuruni anak tangga menuju Curug Orok yang ada di bawah mereka. Dia tidak sedikit pun protes meski kakinya merasa pegal dan lelah. Dia membiarkan dirinya mengikuti keinginan laki-laki di hadapannya yang tengah tersenyum riang.

“Kau baik-baik saja?” Dia menatap Janet yang sedang mengatur napasnya. “Kau tidak mengomel?” Lagi-lagi dia tersenyum riang. “Betapa jarak dan waktu mampu mengubah keadaan seseorang.” Dia berdecak kagum lalu duduk di samping Janet. “Kau tahu Met, betapa bahagianya diriku saat melihatmu hari itu. Akhirnya semesta berpihak padaku.” Dia tersenyum sambil memandangi air terjun di hadapan mereka.

“Sejak kapan kamu jadi puitis begini?” Janet yang mulai mendapatkan ketenangannya akhirnya berkomentar. Laki-laki di hadapannya ini telah tumbuh jadi orang yang berbeda. Dia yang selalu memanggilnya “Jamet” hanya sekedar untuk membuatnya kesal, tiba-tiba jadi puitis.

“Sejak dulu. Kau saja yang tak pernah memberiku kesempatan untuk menunjukkannya.” Dia kembali tersenyum dan senyumnya menular. Senyum yang kini tak lagi dirasa Janet sebagai gangguan. Dulu dia benci sekali melihat senyuman itu. Senyuman yang selalu muncul di wajahnya setelah berhasil membuatnya kesal. “Kau tahu mengapa sampai saat ini aku masih sendiri?” Tanyanya tiba-tiba.

“Mungkin karena semua perempuan yang kau pelet sudah kembali normal.” Jawab Janet asal.

“Enak saja.” Dia manyun lalu menjitak kening Janet. “Susah sekali sih bicara serius denganmu.” Dia menyerah lalu meninggalkan Janet untuk pergi bermain air.

Sementara laki-laki itu asyik bermain air, Janet memandanginya dalam diam. Janet senang bisa dipertemukan kembali dengannya. Namun Janet tak yakin apakah kali ini kisah mereka bisa berakhir dalam satu alur yang sama ataukah hanya sekedar berpapasan sebelum kembali ke alur masing-masing.

YN, 01-07-2025

 

 

             

Jumat, 18 Juli 2025

Ada Akhtar dalam Tawa Safia

 "Meski usiaku lebih muda tak berarti cintaku lebih labil. Kau hanya tak ingin mengakui saja kalau sebenarnya hatimu mulai tergerak." Akhtar tersenyum getir. Dia mengambil ranselnya dari kursi lalu pergi. Meninggalkan Safia tertegun dalam kedalaman makna di balik kata-kata Akhtar.

Bukan baru kali ini Akhtar pergi dengan hati yang kesal. Dia sudah seperti ini sejak sembilan tahun yang lalu. Meski begitu dia tetap menemui Safia. Dia yakin suatu hari nanti Safia akan merasakan ketulusan hatinya. 

***

Safia bukannya tak paham dengan apa yang dirasakan Akhtar. Namun hingga saat ini Safia masih tak ingin mengakuinya. Baginya Akhtar adalah sosok yang terlarang. Sebisa mungkin Safia harus menghindarinya. 

Akhtar adalah sahabat baik adiknya. Usia Akhtar empat tahun lebih muda darinya. Akhtar adalah keponakan Zaki, mantan pacar yang meninggalkannya untuk menikahi perempuan lain. Dan ibu tidak menginginkannya sebagai menantu.

Safia ingin seseorang yang dapat diterima ibu dengan baik. Ibu sudah terlalu sering mengutarakan kekecewaannya terhadap Safia. Ibu selalu berharap Safia menjadi Bidan seperti dirinya. Saat Safia memutuskan untuk masuk ke fakultas keguruan ibu pernah tidak bicara padanya. Ibunya juga pernah kembali mendiamkannya saat dia putus dengan Zaki.

Zaki adalah menantu yang ibu dambakan. Ibu sangat berharap Safia menikah dengannya. Saat Safia mengatakan alasan dibalik putusnya hubungan mereka, ibu menyalahkan Safia. Ibu mengatakan Safia terlalu dingin padanya.

 Mungkin pendapat ibu ada benarnya. Bersama Zaki Safia tidak merasa menjadi dirinya sendiri. Dia selalu menjadi Safia putri yang diharapkan ibu. Lain halnya saat dia bersama dnegan Akhtar. Akhtar membuat Safia merasa menjadi dirinya sendiri. Akhtar tak pernah mengomentari tingkahnya yang kadang masih kekanakan dan tidak terlalu bisa berdandan.

“Nunna, kau boleh melepasnya!” Saran Akhtar saat melihat Safia merasa kelelahan berjalan memakai highheels. Dia melepas sepatunya lalu memberikannya pada Safia untuk dipakai. Saat Safia hanya diam, dia pun berjongkok lalu menggantikan highheels dengan sepatu ketsnya lalu menjinjing highheels itu. “Pakailah dulu, nanti kita beli sandal jepit di depan.” Akhtar tersenyum lalu kembali mengajak Safia jalan. “Kenapa kau memaksakan diri untuk memakai ini!" Akhtar mengacungkan highheel yang dipegangnya.

“Zaki selalu mengejekku pendek dan tidak feminim.” Keluhnya sambil tertawa.

“Bersamaku kau tak perlu memakainya. Kau boleh memakai apapun sesukamu!” Akhtar berkata dengan sungguh-sungguh. 

“Terima kasih. Maaf gara-gara aku kamu harus nyeker.” Safia merasa bersalah melihat Akhtar harus berjalan tanpa alas kaki.

“Kalau kau merasa bersalah, seharusnya kau menerimaku.” Akhtar memancingnya.

“Jangan mulai!” Safia memelototinya. Akhtar tidak gentar. Dia malah tertawa lebar.

Safia merindukan hari-hari itu. Hari di mana dia dapat tertawa gembira bersama Akhtar.

***

“Minggu ini kau tidak pulang juga?” Tanya Prof. Andi pada Jumat Sore Ketika mereka baru selesai mengajar. Biasanya Safia langsung pulang ke Garut begitu jam mengajarnya selesai di hari Jumat. Namun sudah tiga kali Jumat Safia malah menemani Prof. Andi mengajar.

“Aku janji akan menemani Namia jalan-jalan.” Sahutnya sambil merapikan lapotop ke dalam tasnya. Mendengar nama anaknya membuat Prof. Andi tertawa.

“Kalian pasti akan menggosipkan aku?” Tuduhnya sambil tertawa. 

“Apa asyiknya membicarakan Anda.” Safia langsung mencibir, sebal.  

“Namia kesepian sejak ibunya meninggal. Makanya dia sangat bergantung padamu.” Prof. Andi tersenyum malu. Anak semata wayangnya sudah lengket dengan Safia sejak pertama mereka bertemu.

“Makanya segera carikan dia ibu baru.” Safia menyarankan.

“Dia maunya kamu.” Prof. Andi menggoda Safia.

“Anda mulai lagi.” Safia meninju bahu Prof. Andi yang berjalan di sampingnya.

“Aku serius. Dengan menjadikanmu istriku maka orang akan berhenti menjodoh-jodohkan kita.” Prof. Andi tersenyum mengingatkan.

“Tapi saya tidak tertarik menjadi istri Anda.” Kata Safia dengan yakin. 

“Kalau ada laki-laki semuda dan setampan Akhtar, tentu saja aku kalah telak.” Prof. Andi mengingatkan Safia. “Kau terima saja dia. Dan aku tak akan mengungkit lagi tentang hal ini.” Sarannya sambil meninggalkan Safia dan pergi menuju mobilnya.

***

Safia sengaja tidak pulang ke Garut karena dia malas ditanya-tanya oleh ibunya. Setiap pulang, ibu selalu bertanya kapan dia akan menikah. Safia bosan menjawabnya. Safia juga tak ingin pulang karena ibu selalu berusaha menjodohkan dia dengan anak teman-temannya.

Sauqi juga pernah bertanya mengapa dia tidak menerima Akhtar saja. Dengan begitu ibu akan berhenti bertanya. Namun Safia merasa itu bukan penyelesaian yang baik. 

“Dia teman adikmu, Fia.” Tegur Ibu saat melihat keakrabannya dengan Akhtar. Ibu memperlihatkan wajah yang tidak senang saat menegurnya.

“Memangnya kenapa?” Tanya Safia menatap ibu bingung. Dia tidak merasa ada yang salah dengan sikapnya.

“Carilah laki-laki yang lebih tua. Laki-laki yang matang secara umur dan finansial. Demi kebaikanmu sendiri.” 

Karena kata-kata ibulah sekarang Safia mencoba menjaga jarak dengan Akhtar. Safia tahu Akhtar pasti sakit hati. Mungkin sekarang dia akan menyerah dan melupakannya.

***

“Fia, kamu apain lagi si Akhtar?” Todong Sauqi saat mengunjunginya di rumah kontrakan. Dia terlihat kesal. Dan ini bukan pertama kalinya dia sekesal ini.

“Tidak ada. Memangnya kenapa?” Tanya Safia menoleh pada adiknya sejenak lalu kembali fokus pada novel yang sedang dibacanya.

“Sudah beberapa hari ini unggahan di media sosialnya selalu berisi ungkapan patah hati.” Sauqi menarik napas panjang. Dia merebahkan diri di sofa dan matanya memandangi langit-langit. Dia termenung selama beberapa saat. “Awalnya aku mengira cintanya padamu hanya sekedar guyonan. Ternyata dia serius. Cintanya padamu berhasil mengubahnya jadi laki-laki sejati.” Sauqi mengubah posisinya jadi duduk dan memandangi Safia yang sedang asyik membaca novel. “Baru kali ini aku melihatnya segalau itu. Memang tidak sampai menangis seperti waktu itu.” 

“Akhtar menangis? Kenapa? Kapan?” Safia jadi penasaran. Setahunya Akhtar adalah laki-laki tangguh. Dia menatap Sauqi dan menantikan jawaban.

Sauqi tidak segera menjawab. Dia mengulur-ulur waktu sambil mengetuk-ketuk pelipisnya. “Saat tahu kau memilih pamannya,” lanjutnya setelah merasa yakin. “Apa kali ini juga kau akan memilih professormu itu dibandingkan dia?” Sauqi menduga-duga. 

“Dia mentorku. Dia mengisi kekosongan yang ditinggalkan ayah.” Safia meninggikan suaranya. Dia sedikit terpancing emosi. Bukan hanya Sauqi yang beranggapan kalau Safia dan Prof. Andi memiliki hubungan romantis, teman-temannya juga pernah ada yang berkomentar tentang itu. “Aku mengizinkanmu menikah lebih dulu. Mengapa tidak kau lakukan?” Safia menatap tajam pada adiknya.

“Ibu tidak setuju tentang itu. Dia akan merestui pernikahanku kalau kau sudah memiliki calon.” Sauqi kembali menghembuskan napas panjang.

Hari itu setelah Sauqi pulang, Safia tertegun memandangi buku hariannya. Dia membaca kembali curahan hatinya tentang Akhtar. Kalau harus jujur, dia memang memiliki perasaan untuknya. Perasaan yang sampai kini selalu berusaha untuk ditolaknya. Perasaan yang selalu berusaha dia tutup-tutupi.

***

Safia baru saja mendaratkan pinggulnya di sofa setelah seharian menghabiskan waktu bersama Namia, ketika Sauqi datang dengan napas yang ngos-ngosan. 

“Kamu kenapa?” Safia mengajaknya duduk dan menuntunnya untuk menarik napas secara lebih santai. Setelah itu dia mengambilkan minum dan memberikannya pada Sauqi. “Apa yang terjadi?” Tanya Safia setelah adiknya lebih tenang.

“Akhtar kecelakaan, Fia. Kemarin mobilnya menabrak pembatas jalan. Hingga saat ini dia masih belum sadar. Dokter mengatakan keadaannya kritis. Mamanya memintaku membawamu.”

Mendengar hal itu tubuh Safia langsung merasa lemas. Air mata langsung merebak dan memenuhi pelupuk matanya. Rasa takut tiba-tiba saja menjalari tubuhnya. 

“Fia, kau baik-baik saja?” Sauqi mengguncang tubuh kakaknya yang tiba-tiba mematung.

“Bawa aku kesana!” Safia memohon pada adiknya setelah berhasil menguasai dirinya lagi.

“Mari kita pergi!” Sauqi menggandeng kakaknya.

Saat sampai di ruang perawatan intensif, Safia langsung disambut oleh mamanya Akhtar. Dia langsung menggandeng Safia dan membawanya menemui Akhtar.

“Dia menunggumu, nak!” Bisik mama Akhtar dengan mata yang sembab dan berkabut. Safia mengangguk lalu mendekat ke ranjang pasien.

“Tar, aku datang!” Bisik Safia di telinga Akhtar sambil menahan tangis. “Berjuanglah lagi. Kali ini aku menunggumu di garis finish.” Bisiknya.

***

Satu bulan berlalu, Safia belum mendengar kabar dari Akhtar. Dia sibuk menggantikan tugas Prof. Andi untuk memberikan kuliah di daerah Tasik. Prof. Andi harus pergi ke Sidney untuk seminar. Dia mendelegasikan semua tugasnya pada Safia. 

“Kamu?” Safia menatap tak percaya pada laki-laki yang sedang berdiri di depan fakultasnya. 

“Aku datang untuk menagih janji.” Akhtar menghampirinya lalu mengambil tas laptop yang dipegang Safia. “Kau bilang menungguku di garis finish.” Lanjutnya saat melihat Safia mematung. “Bukankah garis finish yang kau maksud adalah pelaminan?” Akhtar melepas cincin dari gantungan kunci mobilnya lalu memakaikannya di jari manis Safia.

“Aku belum bilang ya.” Safia menarik tangannya dan memandangi cincin indah itu.

Akhtar tersenyum lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menelepon seseorang. Setelah itu dia memberikan telepon pada Safia. Ternyata Akhtar menghubungi ibu.

“Sauqi sudah cerita semua Fia. Maafkan ibu. Pulanglah bersama Akhtar. Mari kita bicarakan pernikahanmu dengannya.” Nada suara ibu terdengar senang. 

“Terima kasih, ibu.” Bisik Safia dengan mata berkaca-kaca.

“Sama-sama sayang.”


                                                                                                                YN, 18 Juli 2025

Sabtu, 12 Juli 2025

Tak Jadi Ucapkan Selamat Tinggal

 

       Sampai jumpa!

       Terima kasih!

       Eits, tunggu tadinya saya mau berpamitan dengan kelas yang seru ini. Ternyata jodoh kita diperpanjang untuk satu tahun ke depan. Bestie saya bilang, "do'a anak-anak begitu kuat, hingga saya kembali menjadi wali mereka". Apapun alasannya saya  menerimanya dengan baik.

       Saya punya prinsip tak ingin menjadi wali untuk kelas yang sama secara berturut-turut. Bukan karena saya egois. Ini lebih disebabkan agar adanya penyegaran. baik saya maupun siswa memerlukan suasana baru untuk menemani tahun kedua mereka di MTs. Namun kenyataan berkata bahwa kami masih harus bersama dalam waktu satu tahun ke depan. 

       Saya tidak sendirian pemirsa. Dua kolega saya juga mengalami kejadian yang sama. Kami mengikuti kelas yang kemarin kami bimbing menaiki tingkat berikutnya. Jika mengingat hal tersebut saya bisa tersenyum lega.😄  

       Masih banyak PR yang harus dikerjakan untuk kelas ini. Terutama untuk siswa-siswa kesayangan saya. Siswa yang membuat saya merasa tergerak untuk terus belajar dan mencari cara agar kami bisa melewati tahun ini dengan baik. 

      Adapun rencana yang akan saya lakukan adalah sebagai berikut:

1. Mengorganisasikan kembali kepengurusan kelas, terutama untuk pemimpin kelas.

2. Mengintensifkan kembali kegiatan membaca untuk semua siswa.

3. Mengintensifkan kembali hapalan juz 30 untuk semua siswa.

4. Menggalakan kegiatan pohon literasi.

5. Memperkuat komitmen dengan setiap siswa untuk masalah kehadiran dan kebersihan.

   Jadi mari kita mengumpulkan semangat dan tekad yang kuat untuk mewujudkannya. Bukan untuk mendapatkan validasi lebih ke memanfaatkan waktu yang kita miliki. Selamat datang kembali anak-anak ideologisku. Mari kita mulai berjuang lagi untuk menyelesaikan tahun ini dengan penuh warna. See U...😍😍        

Sabtu, 05 Juli 2025

Finally 40

 Happy Birthday.... Saenghil Cukhae.... Barakallah Fii Umrik....

Yeay... Akhirnya sampai di usia ini. Dulu pernah berpikiran usia 40 itu sudah tua dan tak berdaya. Nyatanya masih berjiwa muda dan merasa bisa mengalahkan dunia. 😂

Masih banyak hal yang ingin kugapai meski batang usiaku sudah hampir menuju akhir. Aku masih ingin mewujudkan mimpiku untuk menjadi ibu. Aku masih akan dan terus berjuang untuk mengamalkan ilmu yang telah kuperoleh. Aku masih berusaha jadi anak yang berbakti untuk kedua orang tuaku. Aku juga masih berusaha jadi kakak yang bisa diandalkan oleh kedua adikku. Dan terakhir aku masih berusaha jadi istri yang soleha.

Apa yang istimewa dari tanggal 6 Juli? 

Tentu saja istimewa untukku. 40 tahun yang lalu ibuku yang cantik melahirkan aku ke dunia. Bagiku ini adalah hari untuk diriku sendiri. Hari yang ingin kuhabiskan dengan caraku sendiri. Aku sudah terbiasa untuk memberi kado bagi diri sendiri. Tahun ini mungkin kadonya adalah sepatu.

Belakangan ini aku sedang punya kebiasaan yang baik. Aku memaksa diriku untuk berolahraga. Maka dari itu aku memerlukan sepatu cantik yang akan menemaniku berolahraga. 😎

Aku masih punya target yang ingin kucapai. Aku ingin suatu saat nanti memiliki berat badan ideal. Saat ini aku masih sedang mengusahakannya. Ini adalah kado terbaik yang dapat kuberikan untuk diriku.

Sekali lagi selamat hari lahir Yuli Nurhati, wish u all the best.😘😘


Jumat, 13 Juni 2025

Makna Safia untuk Akhtar

    "Meski usiaku lebih muda tak berarti cintaku lebih labil. Kau hanya tak ingin mengakui saja kalau sebenarnya hatimu mulai tergerak." Akhtar tersenyum getir. Dia mengambil ranselnya dari kursi lalu pergi. Meninggalkan Safia tertegun dalam kedalaman makna di balik kata-kata Akhtar.

    Bukan baru kali ini Akhtar pergi dengan hati yang kesal. Dia sudah seperti ini sejak sembilan tahun yang lalu. Meski begitu dia tetap menemui Safia. Dia yakin suatu hari nanti Safia akan merasakan ketulusan hatinya. 

***

    Akhtar ingat pertemuan pertama mereka. Hari itu Akhtar pergi bermain ke rumah Sauqi, sahabatnya. Di teras Akhtar melihat seorang gadis sedang menyiram bunga. Gadis itu tampak begitu asyik dengan kegiatannya. Dia sampai tak menyadari kedatangan Akhtar. 

    “Permisi.... Permisi.... Permisi....” Akhtar berdiri sambil memanggil gadis yang sedang asyik menyiram bunga. Meski Akhtar sudah berkali-kali memanggil gadis itu masih tak mendengar, Akhtar pun menepuk pundaknya. Gadis itu kaget dan secara refleks menyiram Akhtar. 

    “Ma... af ....” Gadis itu meminta maaf saat melihat Akhtar basah kuyup.

    “Tar, kamu lagi ngapain?” Sauqi tertawa melihat sahabatnya basah kuyup.

    “Mandi....” Sahutnya sambil menyeka air dari wajahnya. Dia menatap sebal pada Sauqi yang tertawa ngakak.

    “Pasti kamu bikin kaget Safia?” Sauqi melirik kakaknya yang mematung dan tampak merasa sangat bersalah. “Fia, ambilin handuk sana!” Sauqi meneleng pada Safia yang langsung kabur ke rumah.

    “Siapa dia?” Tanya Akhtar yang baru hari ini melihat Safia. 

    “Kakak perempuanku.” Sauqi menjelaskan sambil menggandeng Akhtar masuk ke rumah.

    “Kakak?” Akhtar terbelalak tak percaya. Gadis itu tampak seumuran dengan Sauqi. 

    “Dia seperti vampir. Wajahnya seperti tidak menua.” Sauqi berkelakar.

    “Mungkin karena mukamu yang kelewat move on.” Akhtar mengacak rambut Sauqi. 

    “Enak saja.” Sauqi berusaha menjauhkan tangan Akhtar dari tangannya. 

    “Sama kakak kok panggil nama.” Akhtar menatap Sauqi tak percaya. Kakak-kakaknya pasti sudah mencincangnya habis kalau dia berani memanggil mereka dengan nama.

    “Udah biasa. Lagi pula hanya beda empat tahun.” Sauqi tertawa. “Nih ganti baju sana!” Sauqi menyerahkan handuk dan baju ganti pada Akhtar. “Sepertinya Fia terlalu malu hingga lupa membawakanmu handuk,” lanjutnya.

    Sejak hari itu Akhtar mulai sering main ke rumah Sauqi. Dia sengaja pergi ke sana untuk melihat Safia. Dia bertanya pada Sauqi apakah Safia sudah punya pacar atau belum. Akhtar merasa sangat senang saat Sauqi mengatakan kakaknya tak punya pacar. 

    “Kamu naksir kakakku?” Tebak Sauqi saat Akhtar makin sering bermain ke rumahnya. Yang ditanya malah asyik memandangi Safia yang sedang Yoga di halaman belakang. “Anak ini!” Sauqi kesal karena merasa diabaikan lalu meninju bahu Akhtar.

    “Apaan sih, qi?” Akhtar mengusap bahunya.

    “Katanya mau main PS. Eh malah ngintipin kakak gue!” Sauqi ngedumel.

    “Makin dilihat Fia makin cantik.” AKhtar tersenyum lebar.

    “Di sekolah banyak yang naksir kamu. Tapi kamu malah suka sama kakakku yang usianya empat tahun di atas kita.” Sauqi geleng-geleng kepala melihat Akhtar.

    “Sudah jangan ribut. Kalau Safia jadi pacarku nanti kamu harus sungkem.” Akhtar membekap mulut Sauqi lalu mengajaknya masuk kembali ke kamar. Hari itu mereka main PS sampai sore.

***

    “Wow. Kamu lagi ngerjain PR.” Mama berdecak saat masuk ke kamar Akhtar dan melihatnya sedang menyelesaikan soal matematika. Sejak dulu Akhtar lebih senang bermain game daripada belajar. Meski begitu nilai-nilainya di sekolah tidak terlalu buruk.

    “Eh mama sudah pulang.” Akhtar nyengir.

    “Baru saja. Tumben kamu mengerjakan PR?” Mama duduk di pinggir tempat tidur lalu memandangi sekeliling kamarnya yang rapi.

    “Mulai sekarang Akhtar mau rajin belajar.”

    “Kamu sedang jatuh cinta ya!” Mama memicingkan mata dan menatap putra bungsunya dengan penuh rasa penasaran.

    “Memang sekentara itu?” Akhtar tersenyum malu.

    “Kamu berubah. Jadi lebih rapi dan lebih rajin.” Mama tersenyum bangga. “Siapa gadis yang membuatmu jadi keren begini?”

    Akhtar tidak menjawab. Dia mengambil ponsel dan menunjukkan sebuah foto.

    “Cantiknya. Dia teman sekolah kamu?” Mama menebak. “Eh, tapi kayanya dia mirip seseorang?” Mama mengetuk-ngetuk keningnya.

    “Kakaknya Sauqi.” Akhtar tertunduk malu.

    “Mama kira dia seumuran kamu.” Mama terbelalak.

    “Tapi enggak apa-apa kan kalau Akhtar suka dia.” Akhtar terlihat murung. Dia takut mama berkomentar tidak menyenangkan.

    “Selama dia memberi pengaruh baik. Lalu apa yang jadi masalah.” Mama tersenyum lalu mengacak rambut Akhtar. “Selesaikan pekerjaanmu. Mama mau menyiapkan makan malam dulu.”

    Sepeninggal mamanya. Akhtar tertegun memandangi foto Safia. Sudah dua tahun dia memendam perasaannya pada Safia. Sampai saat ini Akhtar masih belum berani mengungkapkannya. 

    Nunna  mau pergi?” Akhtar yang baru saja tiba di rumah Sauqi terlihat kecewa. 

    “Iya. Kamu mau main PS ya!” Safia tersenyum pada Akhtar.

    Nunna mau pergi ke mana?” Dia kembali bertanya.

    “Ke nikahan teman. Sudah dulu ya!” Safia meninggalkan Akhtar termenung sendirian saat sebuah motor berhenti di depan halaman. 

    Ternyata Safia menunggu orang itu. Akhtar tertegun saat melihat laki-laki itu membuka penutup helmnya. Bukankah itu Om Zaki, adik bungsu mama. Apakah mereka pacaran? Akhtar bertanya-tanya dalam hati. 

    Ngapain bengong?” Sauqi menepuk pundak Akhtar.

    “Itu siapanya Nunna?” Akhtar masih menatap Safia yang sekarang sudah naik ke motor dan memeluk erat pinggang Om Zaki.

    “Kayaknya pacarnya.” Sauqi tampak tidak yakin. Dia tahu Akhtar pasti kecewa. 

    “Sejak kapan mereka dekat?” Tanya Akhtar kemudian.

    “Entahlah. Baru kali ini aku melihatnya. Nanti aku selidiki!” Sauqi berusaha menenangkan sahabatnya. “Yuk, masuk!” Dia menggandeng Akhtar masuk ke rumah.

***

Sepertinya hubungan Safia dengan Om Zaki semakin dekat. Akhtar merasa sedih tapi tak bisa berbuat apa-apa. Selama ini Safia hanya mengenalnya sebagai sahabat adiknya. Dia tidak tahu kalau Akhtar diam-diam menyukainya.

“Kamu baik-baik saja?” Mama mendatangi Akhtar di kamarnya. 

“Baik!” Akhtar mencoba tersenyum.

“Sepertinya Zaki serius dengan Safia. Kamu harus merelakannya.” Mama mengelus rambut Akhtar dengan penuh kasih.

“Iya mah. Tapi hati Iif sakit sekali. Dia gadis pertama yang Iif suka.” Mata Akhtar berkaca-kaca.

“Mama tahu, Nak. Tapi Fia juga tidak bersalah. Dia bahkan tak tahu kalau kamu menyukainya.” 

“Mama benar.” Akhtar memeluk mamanya. Tanpa terasa air mata makin merebak dan memenuhi pelupuk matanya.

Meski sakit, Akhtar berusaha untuk tegar. Dia tetap bersikap baik dan manis. Safia tidak bersalah. Dia yang terlalu penakut. 

Akhtar mengobati patah hatinya dengan semakin giat belajar dan berolahraga. Dia ingin jadi laki-laki yang bisa diandalkan oleh perempuan yang kelak jadi pasangannya.

“Apa kau tahu kalau Om Zaki berselingkuh?” Sauqi mendatanginya saat Akhtar baru selesai ujian sidang. Sauqi terlihat marah dan kesal.

“Apa maksudmu?” Akhtar menatap Sauqi dengan bingung.

Sauqi tidak menjawab. Dia menunjukkan foto di Instagram Om Zaki. Di ada unggahan yang dikirim oleh seorang perempuan yang bernama Yunita. Perempuan itu membagikan sebuah momen dan menandai Om Zaki. 

Belakangan ini Akhtar sibuk menyelesaikan skripsinya hingga ia jarang pulang. Dia menghabiskan waktunya di perpustakaan atau di kafe. Dia juga menonaktifkan ponselnya supaya konsentrasinya tidak terpecah.

“Mama kenapa?” Akhtar terpana melihat mamanya yang sedang menangis di ruang duduk.

“Pamanmu menghamili perempuan.” Mama meneteskan air mata.

“Maksud mama?” Akhtar duduk dan memandangi mamanya dengan bingung. “

“Dia berselingkuh dengan rekan kerjanya. Perempuan itu hamil dan minta pertanggungjawaban.” Mama menutup wajah dengan kedua tangannya. “Mama malu pada Safia dan keluarganya.” 

“Apa Safia sudah tahu tentang ini?”

“Iya. Tadi dia datang untuk mengembalikan semua barang yang pernah diberikan Zaki padanya.” Mama menunjuk sebuah kardus yang ada di dekat mereka.  “Fia bilang, perempuan itu meneleponnya dan menceritakan semuanya. Dia juga sudah bicara dengan Zaki.”

***

    “Kau baik-baik saja?” Tanya Akhtar saat dia berusaha mengejar Safia yang tengah berlari di lapangan Kerkof. Tadi dia menelepon Sauqi untuk menanyakan keberadaan Safia. Begitu Sauqi memberitahunya kalau Safia tengah berlari di Lapangan Kerkof, Akhtar langsung pergi menemuinya. 

    “Aku baik. Makanya bisa berada di sini.” Sahutnya sambil tersenyum. Senyum yang selalu dirindukan Akhtar. “Pasti Uqi yang memberitahumu!” 

    “Iya. Aku khawatir pada Nunna.” Akhtar mengusap-ngusap kepalanya sendiri. “Aku takut Nunna menangis sendirian di sini.” 

    “Aku tidak serapuh itu.” Safia tersenyum. 

    “Syukurlah!” Akhtar menarik napas lega. 

    “Oh ya bagaimana ujian sidangnya?” Safia mengubah topik pembicaraan.

    “Berjalan dengan lancar.”  Akhtar tersenyum bahagia. “Kudengar Nunna juga baru selesai ujian Tesis?”

    “Iya. Untungnya aku tahu tentang semuanya saat ujianku selesai. Kalau tidak, aku tak tahu bagaimana.” Safia menghela napas lalu tersenyum.  “Aku terlalu fokus dengan Tesisku sehingga sering mengabaikan Zaki.” Lanjutnya sambil berjalan menuju tempat duduk di pinggir lapangan.

    “Kau pasti sangat sedih.” Akhtar mengikuti Safia dan duduk di sampingnya.

    “Beberapa hari yang lalu memang. Namun sekarang aku baik-baik saja. Hubungan kami memang sudah renggang sebelum keberangkatannya ke Jepang. Saat itu Zaki marah karena aku lebih memilih melanjutkan S2 dari pada menikah dengannya dan ikut ke Jepang.” Safia menghembuskan napas beberapa kali.

    “Syukurlah kalau kau baik-baik saja.” Akhtar tersenyum lega. “Kau tahu Nunna, aku selalu ada untukmu. Jika kau butuh seseorang untuk bercerita aku selalu siap mendengarkan.”

    “Terima kasih.” Safia tersenyum.

***

    Dua tahu sudah berlalu sejak putusnya hubungan Safia dan Om Zaki. Kini Akhtar dan Safia lebih sering menghabiskan waktu bersama. Akhtar tak ingin lagi kehilangan kesempatan. Kali ini dia akan memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Akhtar tahu Safia masih ragu padanya tapi dia akan terus berusaha meyakinkannya.

    “Kau masih muda Akhtar. Masih banyak perempuan seusiamu yang lebih pantas untuk kau pacari." Safia tersenyum. Untuk ketiga kalinya Safia mengingatkan Akhtar tentang hal ini. 

    "Meski usiaku lebih muda tak berarti cintaku lebih labil. Kau hanya tak ingin mengakui saja kalau sebenarnya hatimu mulai tergerak." Akhtar tersenyum getir. Dia mengambil ranselnya dari kursi lalu pergi. Meninggalkan Safia tertegun dalam kedalaman makna di balik kata-kata Akhtar.

YN, 13062025


Selasa, 03 Juni 2025

Dulu, Sekarang dan Selamanya (2)

        Sesibuk apapun jangan lupa makan ya!

       Nia minta maaf kalau buat abang kecewa.

       Nia sayang abang, dulu, sekarang dan selamanya.

     Bagas Rabbani hanya melihat pesan yang dikirim Rania. Pikirannya terlalu kacau hingga dia tak tahu harus menjawab apa. Dia tahu Rania pasti sedih karena dia pergi begitu saja. Namun saat ini Bagas ingin menenangkan diri. Dia takut kata-katanya semakin menyakiti hati Rania.

      “Pak, rapatnya sebentar lagi akan dimulai.” Asistennya mengingatkan.

    Bagas mengatur ponselnya ke mode pesawat, mengambil laptopnya dari meja lalu pergi ke ruang pertemuan. Rapat hari itu berlangsung lebih cepat dari biasanya. Semua tim sudah siap dengan pekerjaan masing-masing hingga tak memakan waktu yang lama. 

     Malam itu sepulang kerja, Bagas mampir ke kafe. Di sana dia tertegun memandangi muda-mudi yang sedang asyik mengobrol. Semakin dilihat semakin membuatnya tak enak hati. Gadis di hadapannya membuatnya teringat pada Rania. Bagas pun memutuskan untuk pulang.

***

      “Kalian liburan ke Jogja?” Tanya Bagas saat menerima panggilan video dari ibunya. Papa dan ibu biasanya mengunjunginya di akhir pekan. Namun minggu ini mereka tidak datang karena pergi berlibur.

        “Iya kita sedang di Parang Tritis.” Ibu menunjukkan pantai di hadapannya.

        “Papa sedang bicara dengan siapa?” Bagas menunjuk perempuan muda yang sedang tertawa lebar mendengar ocehan papanya.

       “Oh itu Nia. Guru baru di sekolah papa. Cantik ya?” Ibu tersenyum pada Bagas. 

       “Terus kalau cantik kenapa?” Komentar Bagas tak acuh. Dia tahu makna dibalik kata-kata ibu. Ibu ingin melihatnya segera menikah. Beberapa waktu yang lalu dia juga berusaha menjodohkan Bagas dengan anak temannya.

         “Selain cantik Nia ini baik dan rajin. Ibu dan papa sangat sayang padanya.”

         “Memangnya kenapa kalau ibu dan papa sayang sama dia.” Bagas tetap cuek.

         “Abang ini selalu begitu. Sudah dulu ya, nanti ibu kirimkan foto-foto.”

       Beberapa saat kemudian ibu mengunggah beberapa foto ke instagramnya. Di setiap foto pasti ada perempuan bernama Nia itu. Sepertinya ibu memang sengaja. 

      Bagas pikir perempuan bernama Nia itu hanya sekedar guru baru di sekolah papa. Ternyata dia adalah anak kesayangan mereka. Setiap berlibur pasti mereka mengajaknya. Bagas jadi penasaran seperti apa gadis yang disayangi ibunya ini.

***

      “Ngerti kan sekarang kenapa ibumu sangat sayang padanya?” Papa menepuk pundak Bagas yang tengah tertegun melihat Rania yang sedang tertawa bersama ibu. Mereka sedang asyik menonton drama Korea di TV. “Ibumu seperti menemukan sahabatnya lagi.” Lanjut papa. “Cobalah untuk lebih akrab dengannya.” Bujuk papa.

    Semakin lama kedekatan orang tuanya dengan Nia semakin erat. Terkadang Bagas merasa papa dan ibu lebih menyayangi Nia daripada dirinya. Bagas pun memutuskan untuk mengikuti saran papa untuk mencoba akrab dengannya. Nia ternyata orang yang lucu dan menyenangkan. Dia pandai membuat lelucon dan tidak mudah baper saat digoda olehnya. 

      Awalnya Bagas hanya sekedar penasaran. Lama kelamaan dia mulai terbiasa dengan kehadiran Nia dalam hidupnya. Dia malah sering merasa ada yang kurang kalau sehari saja tak bicara dengannya.

    “Kamu pergi kemah, kok enggak bilang-bilang?” Keluh Bagas setelah dia melihat unggahan di IG Nia. Di unggahannya Nia berfoto dengan anak-anak dan teman-temannya.

   “Waktu itu Nia cerita kalau anak-anak Pramuka akan melaksanakan pelantikan Bantara.” Nia mengingatkan.

    “Berapa hari di sana?” Bagas mengganti topik. Bagas tidak ingin Nia tahu kalau sebenarnya dia merasa kesal.

       “Sampai minggu pagi. Memangnya kenapa?”

    “Tadinya abang mau pulang dan mengajak Nia main ke Cicereum. Tapi sepertinya tidak jadi. Mungkin minggu depan.”

      “Minggu depan Nia mau ke Tasik, kakak Nia mau menikahkan anaknya.”

   “Berarti harus menunggu dua minggu lagi.” Bagas menghela napas dengan berat. Mereka sudah tidak bertemu selama dua minggu. Dua minggu kemarin Bagas sibuk jadi dia harus tetap bekerja di akhir pekan.

    “Kenapa abang enggak ke sini saja. Nanti kita main ke curug.” Nia menyarankan.  “Sudah dulu ya. Pak Alek mengajak rapat.” Nia memutuskan pembicaraan.

     Mendengar nama Alek disebut, Bagas menjadi tak tenang. Dia ingat foto yang diunggah Nia. Di samping Nia berdiri seorang lelaki. Sepertinya dia guru baru yang diceritakan papa. Dia pun menelepon papanya.

      “Pa, Nia pergi kemah?”

     “Iya. Besok papa sama ibu juga mau menengok ke sana. Minggu ini kamu juga tidak pulang?” 

       “Malam ini Bagas pulang. Bagas ikut ya ke tempat kemah.”

    “Oke kamu pasti kangen ya sama Nia. Makanya cepat-cepat dihalalin nanti keburu diambil orang. Nia cukup populer di sekolah. Teman-teman papa juga sudah ada yang bertanya tentang Nia. Mereka berencana mengambilnya sebagai menantu.”

       “Terus papa jawab apa.” Bagas panas hati mendengar cerita papanya.

     “Papa bilang terserah Nia. Kalau memang Nia mau nanti papa akan mengenalkannya.”

     “Loh kok gitu sih, pa. Papa enggak mau punya menantu seperti Nia?”

    “Bukannya enggak mau, tapi kamunya yang kurang respon. Papa kasihan kalau Nia terus nunggu kamu. Apalagi kata ibu, sebelumnya Nia pernah patah hati karena ditinggal nikah.”

      “Lain kali kalau ada yang tanya lagi tentang Nia. Bilang dia calonnya anak saya.”

      “Abang yakin?”

      “Yakin.”

***

Bagas menunda kepulangannya ke Bandung karena dia di telepon bosnya. Dia harus menghadiri pertemuan di Jakarta. Dengan berat hati dia pun menghubungi papa dan memintanya untuk menjaga Nia. Dia meminta papa menjauhkan Nia dari laki-laki yang mencoba mendekatinya. Papa dan ibu tertawa mendengar permintaannya tapi Bagas tak peduli. 

Papa dan ibu yang mengenalkan Nia padanya. Mereka secara terang-terangan berusaha membuat Bagas tertarik padanya. Sekarang begitu dia mulai merasa suka, masa mereka tidak mendukungnya.

Saat Nia datang berkunjung dengan ibu tiga minggu berikutnya setelah acara kemah, Bagas langsung mengambil kesempatan. Dia memberikan Nia cincin untuk memberi tanda bahwa dia serius dengan perasaannya. 

Setelah menikah Bagas dan Nia memang tetap tinggal berjauhan. Pekerjaan Bagas tak memungkinkannya untuk pindah ke Majalengka. Nia juga belum bisa pindah ke Bandung karena belum lima tahun bertugas. Akhirnya mereka menyepakati untuk bertemu di akhir pekan. Kadang Nia yang pergi ke Bandung, di lain waktu Bagas yang pulang ke Majalengka. Meski begitu komunikasi di antara mereka tetap berjalan dengan lancar. 

Masalah mulai muncul saat tahun kedua pernikahan mereka. Perusahaan Bagas semakin berkembang. Dia jadi semakin sibuk hingga lebih jarang pulang. Nia-lah yang lebih sering mengunjunginya di Bandung. Meski begitu mereka tetap tidak bisa menghabiskan waktu bersama karena Bagas harus pergi kerja. Karena kasihan pada Nia, akhirnya Bagas meminta Nia untuk tidak datang kalau dia sibuk.

Sudah satu bulan Bagas tidak bertemu dengan dia. Dia merasa sangat kangen padanya. Begitu ada waktu Bagas pun memutuskan untuk pulang ke Majalengka. Bagas sengaja tidak memberitahu Nia kalau dia akan pulang. Dia ingin memberinya kejutan. Yang terjadi malah Bagas yang mendapat kejutan. 

Nia tidak ada di rumah saat dia pulang. Kata ART di rumah papa, Nia pergi berlibur bersama papa dan ibu. Mereka baru pulang keesokan harinya. Bagas merasa kesal dan secara tidak sengaja mentakan kata-kata itu. Kata-kata yang seharusnya tak boleh dia katakan.

Bagas yang salah. Dia yang tidak memberitahu Nia tentang kepulangannya. Dia yang meminta Nia untuk tidak ke Bandung. Sekarang dia juga yang marah.

***

Dua minggu berlalu sejak pesan terakhir yang dikirim Nia. Sepertinya Nia menyerah untuk mengiriminya pesan. Bagas menjadi tidak tenang. Jangan-jangan Nia mulai bosan dan menyerah padanya. Ini tidak boleh terjadi. Bagas tak mau kehilangan Nia. Dia harus menemui Nia dan memohon ampun padanya.

Begitu jam kerjanya selesai Bagas langsung pulang ke rumah. Dia berencana untuk istirahat sebelum memulai perjalanan ke Majalengka. Setelah memarkirkan mobilnya Bagas segera masuk ke rumah. Langkahnya menuju kamar terhenti saat melihat Nia sedang duduk menonton TV.

“Sudah pulang, bang?” Nia berdiri lalu menghampiri Bagas dan memeluknya. “Nia ambilkan minum, ya!” Nia melepaskan pelukan tapi Bagas menahannya.

“Jangan pergi. Biarkan aku memelukmu lebih lama.” Bagas menyurukkan kepala di rambut Nia. 

      “Abang pasti lelah!” Nia mengusap punggung Bagas dengan penuh sayang. “Sebaiknya abang duduk!” Nia mengajaknya duduk di sofa. Kali ini Bagas menurut. Dia memandangi Nia yang berjalan mengambil air ke dapur.

       “Minumlah!” Nia menyerahkan gelas berisi air lalu duduk di samping Bagas.

     “Terima kasih.” Bagas meminum air hingga habis lalu menyimpan gelas di meja dan beralih menatap Nia. “Abang minta maaf. Abang egois.” Bagas membuka pembicaraan. “Abang takut kehilangan Nia. Abang cinta sama Nia.” Suara Bagas berubah menjadi serak. Mata besarnya berkaca-kaca.

     “Akhirnya Nia mendengar kata-kata ini.” Nia tersenyum lalu mengulurkan tangan untuk menyeka air mata yang menggenang di pelupuk mata Bagas. “Nia juga cinta sama abang. Nia menikah sama abang karena cinta bukan karena papa dan ibu.” Lanjut Nia.

      “Abang juga nikah sama Nia karena cinta bukan karena papa dan ibu. Maaf, abang enggak pandai berkata-kata. Seharusnya sejak dulu abang mengatakan hal ini.” Bagas tertunduk malu lalu tersenyum.

       “Tidak apa-apa.” Nia meraih Bagas ke pelukan dan mengusap kepalanya penuh kasih. “Oh ya, bang. Kata papa, tahun depan Nia sudah bisa pindah. Papa sudah menghubungi sekolah yang ada di Bandung. Nanti kita jalan-jalan ke sekolah itu ya.”

     “Benarkah?” Bagas menengadah dan menatap Nia yang mengangguk. “Semoga berjalan lancar. Abang tak sanggup lagi berjauhan dengan Nia.” 


YN, 3-4 Juni 2025


Dulu, Sekarang dan Selamanya (1)

“Sebenarnya siapa yang kau nikahi?” Bagas menatap Rania dengan wajah yang penuh rasa kecewa. Dia menghembuskan napas dengan kasar lalu memasukkan semua pakaian yang ada di atas tempat tidur ke dalam tas. “Aku menyempatkan diri untuk pulang tapi kau malah pergi berlibur bersama papa dan ibu.” Lanjutnya dengan wajah yang makin suram.

“Aku kira abang tidak akan pulang karena sibuk dengan pembukaan cabang baru.” Rania memegang tangan Bagas yang sedang mengemasi pakaian. 

“Kau selalu begitu. Kau selalu punya waktu untuk kedua orang tuaku.” Bagas menjauhkan tangan Rania dari tangannya. “Mungkin sebaiknya kita tidak bertemu untuk beberapa waktu.”

“Tapi mengapa?” Rania menatap Bagas dengan bingung. 

“Seperti yang kau bilang tadi, aku sibuk dengan pembukaan cabang baru. Aku tak akan pulang untuk beberapa minggu.” Bagas menenteng ranselnya lalu meninggalkan Rania yang kebingungan.

Setelah Bagas pergi, Rania tertegun di pinggir tempat tidur sambil memegang cincin di jari manisnya. Rania bingung kenapa Bagas marah. Bukan baru pertama kali Rania pergi liburan bersama papa dan ibu. Biasanya malah Bagas yang menyarankan agar Rania ikut berlibur karena Bagas tak bisa menemaninya. 

Sudah hampir dua tahun mereka menikah. Meski begitu Rania masih tak tahu apakah Bagas menikahi dia karena memang menyukainya atau karena orang tuanya menyukai dia.

***

Fairuz Rania adalah anak keenam dari enam bersaudara. Ibunya meninggal saat dia lulus SMA dan ayahnya menyusul empat tahun kemudian. Semua kakaknya sudah berkeluarga. Satu tahun setelah lulus kuliah dia mendaftar CPNS dan lulus. Dia ditugaskan di sebuah SMA di daerah Majalengka.

“Nia, kau yakin akan pergi ke sana?” Tanya kakak pertamanya yang sudah seperti pengganti ibu.

“Tentu saja. Bukankah bapak berpesan agar aku juga bekerja menjadi guru seperti kakak-kakakku.” 

“Ambil saja Nia, nanti juga kau bisa pindah lagi ke Garut.” Kakaknya yang keempat memberinya semangat. 

Rania memang ingin pergi dari Garut. Dia ingin melupakan semua kenangan pahit. Dia tidak mau teringat lagi pada Fariz yang telah meninggalkannya untuk menikahi sahabatnya. Lagi pula dia sudah tak punya siapa-siapa lagi di sana. Semua kakaknya sudah memiliki keluarga masing-masing. 

Ketika lapor diri ke SMA, dia mengobrol cukup lama dengan kepala sekolah. Beliau ternyata memiliki rumah kontrakan di dekat sekolah. Beliau menawarkan salah satu rumah itu pada Rania. Rania pun melihat-lihat ke sana. Dia merasa cocok dengan tempat itu dan memutuskan untuk tinggal di sana.

“Ini yang namanya Rania?” Istri kepala sekolah yang bernama Bu Rasti menghampiri Rania saat dia berada di kamar kos yang ditunjukkan kepala sekolah.

“Iya, salam kenal.” Rania menyalaminya dengan penuh hormat.

“Semoga betah ya!” Bu Rasti menggenggam tangan Rania dengan penuh kehangatan.

Kepala sekolah dan istrinya ternyata orang yang ramah dan perhatian. Rania merasa mendapat orang tua lagi. Meski jauh dari tempat kelahirannya, Rania mulai merasa betah. 

“Ibu senang sekali bisa punya teman nge-gym lagi.” Akunya saat Rania menemaninya berolahraga di pusat kebugaran yang ada di kompleks kontrakan rumah milik Bu Rasti. 

“Memang biasanya ibu pergi dengan siapa?” Tanya Rania sambil menyeka keringat yang bercucuran di dahinya.

“Dulu biasanya pergi sama Abang. Nia tahu sendiri sekarang abang kerja di Bandung. Dia jarang pulang.” Bu Rasti mengeluhkan putra tunggalnya yang bekerja sebagai manajer pemasaran di Bandung.

“Mungkin abang sibuk, bu.” Rania berusaha menghiburnya.

“Sepertinya begitu.” Bu Rasti menghela napas. “Atau mungkin dia bosan ditanya kapan nikah.” Bu Rasti tertawa dan tawanya menular. “Jangan-jangan Nia juga jarang pulang karena itu ya?” Bu Rasti menatap Rania.  

Rania tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Dugaan Bu Rasti memang benar. Dia malas pulang karena kakak-kakaknya selalu bertanya tentang pernikahan. Rania mulai bosan menjawab pertanyaan mereka.

“Nia liburan ini mau ikut ke Bandung?” Tanya Bu Rasti saat mereka keluar dari pusat kebugaran.

“Liburan ini rencananya Nia juga mau ke sana. Kakak Nia yang ketiga tinggal di sana.”

“Kita pergi bareng saja dari sini. Sekalian ibu mau mengenalkan Nia sama abang.” Bu Rasti tersenyum. “Tenang saja. Ibu hanya ingin kalian berkenalan tidak lebih.” Bu Rasti meremas tangan Rania yang menampakkan wajah kaku.

“Baiklah.” Rania tersenyum lalu mengikuti Bu Rasti meninggalkan halaman pusat kebugaran.

Rania tahu semua orang sedang berusaha mencarikan pasangan untuknya. Kakak-kakaknya bergantian mengenalkan dia pada kenalan mereka. Sampai sekarang belum ada satu pun yang menarik hatinya. Kakak keempatnya bahkan berpendapat Rania belum bisa melupakan Fariz.

Hubungan Rania dan Fariz berawal sejak masuk SMA dan berakhir saat Rania lulus kuliah. Fariz dan Rania kuliah di tempat yang berjauhan. Rania kuliah di Bandung sementara Fariz kuliah di Jogja bersama sahabat Rania, Tasya. Mungkin dari situlah awal kedekatan Fariz dan Tasya.

Rania tak pernah menyangka pacar yang telah menemaninya sejak SMA ternyata memilih untuk menikahi sahabatnya. Rania tak pernah menduga kalau selama ini mereka berselingkuh di belakangnya. Dia hanya tahu kalau Tasya punya pacar tapi tak pernah bertemu dengannya. Ternyata pacarnya itu adalah Fariz. 

***

“Nah ini yang namanya Rania.” Bu Rasti menunjuk Rania yang berdiri di sampingnya.

“Oh jadi ini yang namanya Rania?” Bagas, anaknya Bu Rasti menyalami Rania sambil tersenyum misterius. “Saya Bagas Rabani, anaknya Bu Rasti.”

“Fairuz Rania.” Rania menerima uluran tangan Bagas yang mengajaknya bersalaman.

“Gantengan mana sama bapak?” Pak Zami, kepala sekolah yang juga suaminya Bu Rasti, berdiri di samping Bagas dan mengerling jenaka pada Rania.

Rania tidak menjawab, dia hanya tertawa. Pak Zami memang orang yang senang bercanda. Sikapnya itulah yang membuat mereka lebih mudah akrab. Guru-guru di sekolah bahkan selalu menggodanya dengan sebutan ‘anak ketemu gedenya Pak Kepala’.

“Tentu saja lebih ganteng Abang.” Bu Rasti menggandeng lengan anaknya. Yang digandeng tersenyum geli.

Hari itu adalah pertemuan pertama Rania dan Bagas. Kesan pertama Rania saat bertemu dengan Bagas biasa saja. Rania cukup tahu diri. Orang seperti Bagas mana mungkin tertarik padanya. Jika dia bersikap akrab, mungkin itu hanya cara dia menghormati orang yang dikenalkan orang tuanya.

“Nia, boleh kan aku panggil begitu?” Bagas menatap Rania yang sedang makan croissant. Rania mengangguk sambil menyeka bibirnya dengan tisu. Sepertinya Rania takut remahan croissant tertinggal di bibirnya. “Kamu tidak bosan selalu menghabiskan waktu dengan ibuku?” Tanyanya kemudian. Sudah beberapa  kali Bagas mendengar kalau ibunya sering mengajak Rania pergi belanja atau berlibur.

“Nia senang bisa menghabiskan waktu dengan ibu. Ibu Nia sudah meninggal enam tahun yang lalu. Kehadiran ibu membuat rasa kangen Nia pada almarhum ibu berkurang.”

“Memangnya kamu tidak punya pacar?” Tanya Bagas dengan penuh rasa penasaran. Gadis secantik dan semanis Rania tak mungkin tidak memiliki penggemar. 

“Saat ini Nia memang tidak punya pacar.” 

Bagas tersenyum mendengar jawaban Rania.

Sejak hari itu mereka mulai sering berkirim pesan. Mereka berbagi cerita tentang kegiatan mereka sehari-hari. Bagas juga jadi lebih sering pulang. Mereka terkadang pergi liburan bersama papa dan ibu. 

Awalnya Rania agak canggung jika bertemu dengan Bagas. Lama kelamaan dia mulai merasa nyaman dan betah. Dia pun sudah tidak canggung lagi saat memanggilnya dengan sebutan abang. Rania juga sudah terbiasa memanggil kedua orang tua Bagas dengan panggilan yang sama dengan Bagas, papa dan ibu.

“Sedang apa, Non?” Tanya Bagas suatu malam saat dia melakukan panggilan video dengan Rania. Seiring makin akrab Bagas tak lagi memanggilnya Nia. Kini dia sering memanggilnya dengan sebutan Non.

“Sedang mengolah nilai rapor.” Rania menunjuk laptop di hadapannya.

“Rajinnya calon menantu papa.” Bagas menggoda Rania menggunakan julukan yang selalu diucapkan papanya. 

“Nanti keburu ditagih wakasek kurikulum.” Rania terkekeh geli.

“Laporkan saja pada papa.”

“Idih ngapain. Nanti yang ada aku semakin digodain.” Rania mencibir dan Bagas pun tertawa. “Oh ya Hari Kamis Nia mau ke Bandung sama Ibu.”

“Iya. Ibu sudah cerita. Kali ini kamu menginap di mana?” Bagas bertanya begitu karena biasanya Rania menginap di rumah kakaknya setiap ke Bandung. 

“Ya di rumah Teh Dina seperti biasa.”

“Kenapa tidak di tempatku saja.”

“Rumah abang kamarnya hanya dua, nanti Nia tidur di mana?”

“Di kamar abang lah. Biar abang tidur di sofa.”

“Mana bisa begitu. Nanti badan atletis abang jadi pegal-pegal.”

“Harus ya ditambahin kata atletis.” Bagas memicingkan matanya.

“Emang iya sih badan abang kaya atlet.” Nia tertawa, “Nia enggak enak kalau numpang menginap di rumah abang. Nanti apa kata orang.”

“Iya makanya kita harus segera nikah. Biar kalau liburan nanti bisa hemat tempat enggak usah menyewa tiga kamar.” Bagas tertawa.

“Memangnya abang sudah yakin mau nikahin aku?” 

“Lihat saja nanti. Sudah dulu ya ada panggilan masuk dari bosku.” Sahutnya sambil memutuskan panggilan video.

Selama ini Bagas tak pernah menyatakan perasaan padanya. Namun semua sikapnya membuat Rania berpikir bahwa Bagas menganggapnya lebih dari sekedar teman. Kedua orang tuanya juga sering mengutarakan keinginan mereka untuk menjadikan Rania sebagai menantu. Meski begitu Rania tidak terlalu menanggapi keinginan mereka. Rania bukannya tidak tertarik pada Bagas. Namun dia ingin Bagas memilihnya sendiri bukan atas desakan orang tuanya.

***

Sabtu siang Bagas mengajak Rania dan ibunya makan siang di mal. Setelah masuk ke restoran yang dimaksud, dia minta izin pada ibu untuk mengajak Rania ke suatu tempat. 

“Toko perhiasan?” Rania menatap Bagas bingung. Mengapa tiba-tiba dia mengajaknya ke sini. Sepertinya Bagas ingin meminta Rania memilihkan hadiah untuk ibu, pikirnya.

“Cincin mana yang kamu suka?” Tanya Bagas saat mereka sudah berada di dalam toko.

“Cincin?” Rania mengernyit. Mengapa tiba-tiba Bagas menanyainya tentang cincin. Rania memandangi cincin-cincin indah yang ada di etalase. Semua cincin itu indah. Dia jadi bingung sendiri.

Karena Rania hanya diam, Bagas pun meminta karyawan toko untuk mengeluarkan beberapa cincin yang ditunjuknya. Setelah itu dia mencobakan cincin-cincin itu di jari manis Rania. Bagas berdecak saat melihat cincin yang dirasanya cocok untuk digunakan Rania.

“Saya pilih yang ini.” Bagas menunjuk cincin itu lalu menyerahkan kartu debitnya pada karyawan.

“Mau langsung dipakai, pak?” Tanya karyawan begitu pembayaran selesai.

“Iya.” Sahut Bagas. 

“Ini maksudnya apa?” Tanya Rania begitu mereka keluar dari toko.

“Ini tanda kalau kamu sudah ada yang punya.” Bagas tersenyum lalu mengajak Rania menemui ibu yang sudah menunggu mereka untuk makan di restoran. 

“Akhirnya!” Ibu tersenyum bahagia saat melihat cincin di jari manis Rania. “Jadi Nia Ibu harus melamarmu ke mana? Garut? Bandung? Tasik? Jakarta atau Surabaya?” Ibu menyebutkan tempat tinggal kakak-kakak Rania.

“Ke Garut saja. Ke rumah Teh Alma.”

Satu minggu kemudian Bagas dan keluarganya datang meminang Rania ke Garut. Setelah pembicaraan panjang akhirnya mereka memutuskan untuk menikah di bulan Juni, dua bulan kemudian.

Hubungan Bagas dan Rania berjalan cukup harmonis meski mereka harus berjauhan. Semakin mengenalnya Rania semakin menyayangi Bagas. Bagas selalu memperlakukannya dengan penuh kasih.

***

“Nia, kamu baik-baik saja?” Ibu mengunjungi Rania di rumahnya. 

“Baik bu. Memangnya kenapa?” Rania yang sedang menyeduh kopi menoleh pada ibu. “Ibu mau?” Tawarnya.

“Ibu sudah minum tadi sama papa.” Ibu duduk di kursi yang ada di dekat pantry. “Nia, abang kok enggak kelihatan?” Ibu larak-lirik mencari.

“Abang sudah kembali ke Bandung. Katanya ada rapat mendadak.”

“Oh begitu ya. Padahal abang baru datang kemarin.” Ibu terdengar kecewa.

“Rapatnya mendadak.”

“Oh begitu. Ibu kira abang marah karena saat pulang Nia malah sedang berlibur dengan ibu.” 

“Enggak kok.”

“Nia kalau ada masalah bicarakan baik-baik ya. Ibu sangat menyayangi kalian berdua. Kalau ada apa-apa ibu tak akan memihak salah satu di antara kalian.”

“Iya bu, terima kasih.”

Hari itu setelah ibu pulang Rania mengecek ponselnya. Ternyata tak ada satu pun pesan yang dikirim Bagas. Tidak biasanya dia seperti itu. Sepertinya Bagas benar-benar marah. Sesibuk apapun dia selalu menyempatkan diri untuk mengiriminya pesan.

Sesibuk apapun jangan lupa makan ya!

Nia minta maaf kalau buat abang kecewa.

Nia sayang abang, dulu, sekarang dan selamanya.

Rania mengirimkan beberapa pesan tapi tak satu pun yang dibalas oleh Bagas. Akhirnya Rania menyerah. Dia pun menyibukkan diri dengan pekerjaan di sekolah. Sebentar lagi Asesmen Akhir Tahun, Rania harus segera membuat soal.



















Dulu, Sekarang dan Selamanya (2)

Sesibuk apapun jangan lupa makan ya!

Nia minta maaf kalau buat abang kecewa.

Nia sayang abang, dulu, sekarang dan selamanya.

Bagas hanya melihat pesan yang dikirim Rania. Pikirannya terlalu kacau hingga dia tak tahu harus menjawab apa. Dia tahu Rania pasti sedih karena dia pergi begitu saja. Namun saat ini Bagas ingin menenangkan diri. Dia takut kata-katanya semakin menyakiti hati Rania.

“Pak, rapatnya sebentar lagi akan dimulai.” Asistennya mengingatkan.

Bagas mengatur ponselnya ke mode pesawat, mengambil laptopnya dari meja lalu pergi ke ruang pertemuan. Rapat hari itu berlangsung lebih cepat dari biasanya. Semua tim sudah siap dengan pekerjaan masing-masing hingga tak memakan waktu yang lama. 

Malam itu sepulang kerja, Bagas mampir ke kafe. Di sana dia tertegun memandangi muda-mudi yang sedang asyik mengobrol. Semakin dilihat semakin membuatnya tak enak hati. Gadis di hadapannya membuatnya teringat pada Rania. Bagas pun memutuskan untuk pulang.

***

“Kalian liburan ke Jogja?” Tanya Bagas saat menerima panggilan video dari ibunya. Papa dan ibu biasanya mengunjunginya di akhir pekan. Namun minggu ini mereka tidak datang karena pergi berlibur.

“Iya kita sedang di Parang Tritis.” Ibu menunjukkan pantai di hadapannya.

“Papa sedang bicara dengan siapa?” Bagas menunjuk perempuan muda yang sedang tertawa lebar mendengar ocehan papanya.

“Oh itu Nia. Guru baru di sekolah papa. Cantik ya?” Ibu tersenyum pada Bagas. 

“Terus kalau cantik kenapa?” Komentar Bagas tak acuh. Dia tahu makna dibalik kata-kata ibu. Ibu ingin melihatnya segera menikah. Beberapa waktu yang lalu dia juga berusaha menjodohkan Bagas dengan anak temannya.

“Selain cantik Nia ini baik dan rajin. Ibu dan papa sangat sayang padanya.”

“Memangnya kenapa kalau ibu dan papa sayang sama dia.” Bagas tetap cuek.

“Abang ini selalu begitu. Sudah dulu ya, nanti ibu kirimkan foto-foto.”

Beberapa saat kemudian ibu mengunggah beberapa foto ke instagramnya. Di setiap foto pasti ada perempuan bernama Nia itu. Sepertinya ibu memang sengaja. 

Bagas pikir perempuan bernama Nia itu hanya sekedar guru baru di sekolah papa. Ternyata dia adalah anak kesayangan mereka. Setiap berlibur pasti mereka mengajaknya. Bagas jadi penasaran seperti apa gadis yang disayangi ibunya ini.

***

“Ngerti kan sekarang kenapa ibumu sangat sayang padanya?” Papa menepuk pundak Bagas yang tengah tertegun melihat Rania yang sedang tertawa bersama ibu. Mereka sedang asyik menonton drama Korea di TV. “Ibumu seperti menemukan sahabatnya lagi.” Lanjut papa. “Cobalah untuk lebih akrab dengannya.” Bujuk papa.

Semakin lama kedekatan orang tuanya dengan Nia semakin erat. Terkadang Bagas merasa papa dan ibu lebih menyayangi Nia daripada dirinya. Bagas pun memutuskan untuk mengikuti saran papa untuk mencoba akrab dengannya. Nia ternyata orang yang lucu dan menyenangkan. Dia pandai membuat lelucon dan tidak mudah baper saat digoda olehnya. 

Awalnya Bagas hanya sekedar penasaran. Lama kelamaan dia mulai terbiasa dengan kehadiran Nia dalam hidupnya. Dia malah sering merasa ada yang kurang kalau sehari saja tak bicara dengannya.

“Kamu pergi kemah, kok enggak bilang-bilang?” Keluh Bagas setelah dia melihat unggahan di IG Nia. Di unggahannya Nia berfoto dengan anak-anak dan teman-temannya.

“Waktu itu Nia cerita kalau anak-anak Pramuka akan melaksanakan pelantikan Bantara.” Nia mengingatkan.

“Berapa hari di sana?” Bagas mengganti topik. Bagas tidak ingin Nia tahu kalau sebenarnya dia merasa kesal.

“Sampai minggu pagi. Memangnya kenapa?”

“Tadinya abang mau pulang dan mengajak Nia main ke Cicereum. Tapi sepertinya tidak jadi. Mungkin minggu depan.”

“Minggu depan Nia mau ke Tasik, kakak Nia mau menikahkan anaknya.”

“Berarti harus menunggu dua minggu lagi.” Bagas menghela napas dengan berat. Mereka sudah tidak bertemu selama dua minggu. Dua minggu kemarin Bagas sibuk jadi dia harus tetap bekerja di akhir pekan.

“Kenapa abang enggak ke sini saja. Nanti kita main ke curug.” Nia menyarankan. “Sudah dulu ya. Pak Alek mengajak rapat.” Nia memutuskan pembicaraan.

Mendengar nama Alek disebut, Bagas menjadi tak tenang. Dia ingat foto yang diunggah Nia. Di samping Nia berdiri seorang lelaki. Sepertinya dia guru baru yang diceritakan papa. Dia pun menelepon papanya.

“Pa, Nia pergi kemah?”

“Iya. Besok papa sama ibu juga mau menengok ke sana. Minggu ini kamu juga tidak pulang?” 

“Malam ini Bagas pulang. Bagas ikut ya ke tempat kemah.”

“Oke kamu pasti kangen ya sama Nia. Makanya cepat-cepat dihalalin nanti keburu diambil orang. Nia cukup populer di sekolah. Teman-teman papa juga sudah ada yang bertanya tentang Nia. Mereka berencana mengambilnya sebagai menantu.”

“Terus papa jawab apa.” Bagas panas hati mendengar cerita papanya.

“Papa bilang terserah Nia. Kalau memang Nia mau nanti papa akan mengenalkannya.”

“Loh kok gitu sih, pa. Papa enggak mau punya menantu seperti Nia?”

“Bukannya enggak mau, tapi kamunya yang kurang respon. Papa kasihan kalau Nia terus nunggu kamu. Apalagi kata ibu, sebelumnya Nia pernah patah hati karena ditinggal nikah.”

“Lain kali kalau ada yang tanya lagi tentang Nia. Bilang dia calonnya anak saya.”

“Abang yakin?”

“Yakin.”

***

Bagas menunda kepulangannya ke Bandung karena dia di telepon bosnya. Dia harus menghadiri pertemuan di Jakarta. Dengan berat hati dia pun menghubungi papa dan memintanya untuk menjaga Nia. Dia meminta papa menjauhkan Nia dari laki-laki yang mencoba mendekatinya. Papa dan ibu tertawa mendengar permintaannya tapi Bagas tak peduli. 

Papa dan ibu yang mengenalkan Nia padanya. Mereka secara terang-terangan berusaha membuat Bagas tertarik padanya. Sekarang begitu dia mulai merasa suka, masa mereka tidak mendukungnya.

Saat Nia datang berkunjung dengan ibu tiga minggu berikutnya setelah acara kemah, Bagas langsung mengambil kesempatan. Dia memberikan Nia cincin untuk memberi tanda bahwa dia serius dengan perasaannya. 

Setelah menikah Bagas dan Nia memang tetap tinggal berjauhan. Pekerjaan Bagas tak memungkinkannya untuk pindah ke Majalengka. Nia juga belum bisa pindah ke Bandung karena belum lima tahun bertugas. Akhirnya mereka menyepakati untuk bertemu di akhir pekan. Kadang Nia yang pergi ke Bandung, di lain waktu Bagas yang pulang ke Majalengka. Meski begitu komunikasi di antara mereka tetap berjalan dengan lancar. 

Masalah mulai muncul saat tahun kedua pernikahan mereka. Perusahaan Bagas semakin berkembang. Dia jadi semakin sibuk hingga lebih jarang pulang. Nia-lah yang lebih sering mengunjunginya di Bandung. Meski begitu mereka tetap tidak bisa menghabiskan waktu bersama karena Bagas harus pergi kerja. Karena kasihan pada Nia, akhirnya Bagas meminta Nia untuk tidak datang kalau dia sibuk.

Sudah satu bulan Bagas tidak bertemu dengan dia. Dia merasa sangat kangen padanya. Begitu ada waktu Bagas pun memutuskan untuk pulang ke Majalengka. Bagas sengaja tidak memberitahu Nia kalau dia akan pulang. Dia ingin memberinya kejutan. Yang terjadi malah Bagas yang mendapat kejutan. 

Nia tidak ada di rumah saat dia pulang. Kata ART di rumah papa, Nia pergi berlibur bersama papa dan ibu. Mereka baru pulang keesokan harinya. Bagas merasa kesal dan secara tidak sengaja mentakan kata-kata itu. Kata-kata yang seharusnya tak boleh dia katakan.

Bagas yang salah. Dia yang tidak memberitahu Nia tentang kepulangannya. Dia yang meminta Nia untuk tidak ke Bandung. Sekarang dia juga yang marah.

***

Dua minggu berlalu sejak pesan terakhir yang dikirim Nia. Sepertinya Nia menyerah untuk mengiriminya pesan. Bagas menjadi tidak tenang. Jangan-jangan Nia mulai bosan dan menyerah padanya. Ini tidak boleh terjadi. Bagas tak mau kehilangan Nia. Dia harus menemui Nia dan memohon ampun padanya.

Begitu jam kerjanya selesai Bagas langsung pulang ke rumah. Dia berencana untuk istirahat sebelum memulai perjalanan ke Majalengka. Setelah memarkirkan mobilnya Bagas segera masuk ke rumah. Langkahnya menuju kamar terhenti saat melihat Nia sedang duduk menonton TV.

“Sudah pulang, bang?” Nia berdiri lalu menghampiri Bagas dan memeluknya. “Nia ambilkan minum, ya!” Nia melepaskan pelukan tapi Bagas menahannya.

“Jangan pergi. Biarkan aku memelukmu lebih lama.” Bagas menyurukkan kepala di rambut Nia. 

“Abang pasti lelah!” Nia mengusap punggung Bagas dengan penuh sayang. “Sebaiknya abang duduk!” Nia mengajaknya duduk di sofa. Kali ini Bagas menurut. Dia memandangi Nia yang berjalan mengambil air ke dapur.

“Minumlah!” Nia menyerahkan gelas berisi air lalu duduk di samping Bagas.

“Terima kasih.” Bagas meminum air hingga habis lalu menyimpan gelas di meja dan beralih menatap Nia. “Abang minta maaf! Abang egois.” Bagas membuka pembicaraan. “Abang takut kehilangan Nia. Abang cinta sama Nia.” Suara Bagas berubah menjadi serak. Mata besarnya berkaca-kaca.

“Akhirnya Nia mendengar kata-kata ini.” Nia tersenyum lalu mengulurkan tangan untuk menyeka air mata yang menggenang di pelupuk mata Bagas. “Nia juga cinta sama abang. Nia menikah sama abang karena cinta bukan karena papa dan ibu.” Lanjut Nia.

“Abang juga nikah sama Nia karena cinta bukan karena papa dan ibu. Maaf, abang enggak pandai berkata-kata. Seharusnya sejak dulu abang mengatakan hal ini.” Bagas tertunduk malu lalu tersenyum.

“Tidak apa-apa.” Nia meraih Bagas ke pelukan dan mengusap kepalanya penuh kasih. “Oh ya, bang. Kata papa, tahun depan Nia sudah bisa pindah. Papa sudah menghubungi sekolah yang ada di Bandung. Nanti kita jalan-jalan ke sekolah itu ya.”

“Benarkah?” Bagas menengadah dan menatap Nia yang mengangguk. “Semoga berjalan lancar. Abang tak sanggup lagi berjauhan dengan Nia.” 

Dulu, Sekarang dan Selamanya (1)

“Sebenarnya siapa yang kau nikahi?” Bagas menatap Rania dengan wajah yang penuh rasa kecewa. Dia menghembuskan napas dengan kasar lalu memasukkan semua pakaian yang ada di atas tempat tidur ke dalam tas. “Aku menyempatkan diri untuk pulang tapi kau malah pergi berlibur bersama papa dan ibu.” Lanjutnya dengan wajah yang makin suram.

“Aku kira abang tidak akan pulang karena sibuk dengan pembukaan cabang baru.” Rania memegang tangan Bagas yang sedang mengemasi pakaian. 

“Kau selalu begitu. Kau selalu punya waktu untuk kedua orang tuaku.” Bagas menjauhkan tangan Rania dari tangannya. “Mungkin sebaiknya kita tidak bertemu untuk beberapa waktu.”

“Tapi mengapa?” Rania menatap Bagas dengan bingung. 

“Seperti yang kau bilang tadi, aku sibuk dengan pembukaan cabang baru. Aku tak akan pulang untuk beberapa minggu.” Bagas menenteng ranselnya lalu meninggalkan Rania yang kebingungan.

Setelah Bagas pergi, Rania tertegun di pinggir tempat tidur sambil memegang cincin di jari manisnya. Rania bingung kenapa Bagas marah. Bukan baru pertama kali Rania pergi liburan bersama papa dan ibu. Biasanya malah Bagas yang menyarankan agar Rania ikut berlibur karena Bagas tak bisa menemaninya. 

Sudah hampir dua tahun mereka menikah. Meski begitu Rania masih tak tahu apakah Bagas menikahi dia karena memang menyukainya atau karena orang tuanya menyukai dia.

***

Fairuz Rania adalah anak keenam dari enam bersaudara. Ibunya meninggal saat dia lulus SMA dan ayahnya menyusul empat tahun kemudian. Semua kakaknya sudah berkeluarga. Satu tahun setelah lulus kuliah dia mendaftar CPNS dan lulus. Dia ditugaskan di sebuah SMA di daerah Majalengka.

“Nia, kau yakin akan pergi ke sana?” Tanya kakak pertamanya yang sudah seperti pengganti ibu.

“Tentu saja. Bukankah bapak berpesan agar aku juga bekerja menjadi guru seperti kakak-kakakku.” 

“Ambil saja Nia, nanti juga kau bisa pindah lagi ke Garut.” Kakaknya yang keempat memberinya semangat. 

Rania memang ingin pergi dari Garut. Dia ingin melupakan semua kenangan pahit. Dia tidak mau teringat lagi pada Fariz yang telah meninggalkannya untuk menikahi sahabatnya. Lagi pula dia sudah tak punya siapa-siapa lagi di sana. Semua kakaknya sudah memiliki keluarga masing-masing. 

Ketika lapor diri ke SMA, dia mengobrol cukup lama dengan kepala sekolah. Beliau ternyata memiliki rumah kontrakan di dekat sekolah. Beliau menawarkan salah satu rumah itu pada Rania. Rania pun melihat-lihat ke sana. Dia merasa cocok dengan tempat itu dan memutuskan untuk tinggal di sana.

“Ini yang namanya Rania?” Istri kepala sekolah yang bernama Bu Rasti menghampiri Rania saat dia berada di kamar kos yang ditunjukkan kepala sekolah.

“Iya, salam kenal.” Rania menyalaminya dengan penuh hormat.

“Semoga betah ya!” Bu Rasti menggenggam tangan Rania dengan penuh kehangatan.

Kepala sekolah dan istrinya ternyata orang yang ramah dan perhatian. Rania merasa mendapat orang tua lagi. Meski jauh dari tempat kelahirannya, Rania mulai merasa betah. 

“Ibu senang sekali bisa punya teman nge-gym lagi.” Akunya saat Rania menemaninya berolahraga di pusat kebugaran yang ada di kompleks kontrakan rumah milik Bu Rasti. 

“Memang biasanya ibu pergi dengan siapa?” Tanya Rania sambil menyeka keringat yang bercucuran di dahinya.

“Dulu biasanya pergi sama Abang. Nia tahu sendiri sekarang abang kerja di Bandung. Dia jarang pulang.” Bu Rasti mengeluhkan putra tunggalnya yang bekerja sebagai manajer pemasaran di Bandung.

“Mungkin abang sibuk, bu.” Rania berusaha menghiburnya.

“Sepertinya begitu.” Bu Rasti menghela napas. “Atau mungkin dia bosan ditanya kapan nikah.” Bu Rasti tertawa dan tawanya menular. “Jangan-jangan Nia juga jarang pulang karena itu ya?” Bu Rasti menatap Rania.  

Rania tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Dugaan Bu Rasti memang benar. Dia malas pulang karena kakak-kakaknya selalu bertanya tentang pernikahan. Rania mulai bosan menjawab pertanyaan mereka.

“Nia liburan ini mau ikut ke Bandung?” Tanya Bu Rasti saat mereka keluar dari pusat kebugaran.

“Liburan ini rencananya Nia juga mau ke sana. Kakak Nia yang ketiga tinggal di sana.”

“Kita pergi bareng saja dari sini. Sekalian ibu mau mengenalkan Nia sama abang.” Bu Rasti tersenyum. “Tenang saja. Ibu hanya ingin kalian berkenalan tidak lebih.” Bu Rasti meremas tangan Rania yang menampakkan wajah kaku.

“Baiklah.” Rania tersenyum lalu mengikuti Bu Rasti meninggalkan halaman pusat kebugaran.

Rania tahu semua orang sedang berusaha mencarikan pasangan untuknya. Kakak-kakaknya bergantian mengenalkan dia pada kenalan mereka. Sampai sekarang belum ada satu pun yang menarik hatinya. Kakak keempatnya bahkan berpendapat Rania belum bisa melupakan Fariz.

Hubungan Rania dan Fariz berawal sejak masuk SMA dan berakhir saat Rania lulus kuliah. Fariz dan Rania kuliah di tempat yang berjauhan. Rania kuliah di Bandung sementara Fariz kuliah di Jogja bersama sahabat Rania, Tasya. Mungkin dari situlah awal kedekatan Fariz dan Tasya.

Rania tak pernah menyangka pacar yang telah menemaninya sejak SMA ternyata memilih untuk menikahi sahabatnya. Rania tak pernah menduga kalau selama ini mereka berselingkuh di belakangnya. Dia hanya tahu kalau Tasya punya pacar tapi tak pernah bertemu dengannya. Ternyata pacarnya itu adalah Fariz. 

***

“Nah ini yang namanya Rania.” Bu Rasti menunjuk Rania yang berdiri di sampingnya.

“Oh jadi ini yang namanya Rania?” Bagas, anaknya Bu Rasti menyalami Rania sambil tersenyum misterius. “Saya Bagas Rabani, anaknya Bu Rasti.”

“Fairuz Rania.” Rania menerima uluran tangan Bagas yang mengajaknya bersalaman.

“Gantengan mana sama bapak?” Pak Zami, kepala sekolah yang juga suaminya Bu Rasti, berdiri di samping Bagas dan mengerling jenaka pada Rania.

Rania tidak menjawab, dia hanya tertawa. Pak Zami memang orang yang senang bercanda. Sikapnya itulah yang membuat mereka lebih mudah akrab. Guru-guru di sekolah bahkan selalu menggodanya dengan sebutan ‘anak ketemu gedenya Pak Kepala’.

“Tentu saja lebih ganteng Abang.” Bu Rasti menggandeng lengan anaknya. Yang digandeng tersenyum geli.

Hari itu adalah pertemuan pertama Rania dan Bagas. Kesan pertama Rania saat bertemu dengan Bagas biasa saja. Rania cukup tahu diri. Orang seperti Bagas mana mungkin tertarik padanya. Jika dia bersikap akrab, mungkin itu hanya cara dia menghormati orang yang dikenalkan orang tuanya.

“Nia, boleh kan aku panggil begitu?” Bagas menatap Rania yang sedang makan croissant. Rania mengangguk sambil menyeka bibirnya dengan tisu. Sepertinya Rania takut remahan croissant tertinggal di bibirnya. “Kamu tidak bosan selalu menghabiskan waktu dengan ibuku?” Tanyanya kemudian. Sudah beberapa  kali Bagas mendengar kalau ibunya sering mengajak Rania pergi belanja atau berlibur.

“Nia senang bisa menghabiskan waktu dengan ibu. Ibu Nia sudah meninggal enam tahun yang lalu. Kehadiran ibu membuat rasa kangen Nia pada almarhum ibu berkurang.”

“Memangnya kamu tidak punya pacar?” Tanya Bagas dengan penuh rasa penasaran. Gadis secantik dan semanis Rania tak mungkin tidak memiliki penggemar. 

“Saat ini Nia memang tidak punya pacar.” 

Bagas tersenyum mendengar jawaban Rania.

Sejak hari itu mereka mulai sering berkirim pesan. Mereka berbagi cerita tentang kegiatan mereka sehari-hari. Bagas juga jadi lebih sering pulang. Mereka terkadang pergi liburan bersama papa dan ibu. 

Awalnya Rania agak canggung jika bertemu dengan Bagas. Lama kelamaan dia mulai merasa nyaman dan betah. Dia pun sudah tidak canggung lagi saat memanggilnya dengan sebutan abang. Rania juga sudah terbiasa memanggil kedua orang tua Bagas dengan panggilan yang sama dengan Bagas, papa dan ibu.

“Sedang apa, Non?” Tanya Bagas suatu malam saat dia melakukan panggilan video dengan Rania. Seiring makin akrab Bagas tak lagi memanggilnya Nia. Kini dia sering memanggilnya dengan sebutan Non.

“Sedang mengolah nilai rapor.” Rania menunjuk laptop di hadapannya.

“Rajinnya calon menantu papa.” Bagas menggoda Rania menggunakan julukan yang selalu diucapkan papanya. 

“Nanti keburu ditagih wakasek kurikulum.” Rania terkekeh geli.

“Laporkan saja pada papa.”

“Idih ngapain. Nanti yang ada aku semakin digodain.” Rania mencibir dan Bagas pun tertawa. “Oh ya Hari Kamis Nia mau ke Bandung sama Ibu.”

“Iya. Ibu sudah cerita. Kali ini kamu menginap di mana?” Bagas bertanya begitu karena biasanya Rania menginap di rumah kakaknya setiap ke Bandung. 

“Ya di rumah Teh Dina seperti biasa.”

“Kenapa tidak di tempatku saja.”

“Rumah abang kamarnya hanya dua, nanti Nia tidur di mana?”

“Di kamar abang lah. Biar abang tidur di sofa.”

“Mana bisa begitu. Nanti badan atletis abang jadi pegal-pegal.”

“Harus ya ditambahin kata atletis.” Bagas memicingkan matanya.

“Emang iya sih badan abang kaya atlet.” Nia tertawa, “Nia enggak enak kalau numpang menginap di rumah abang. Nanti apa kata orang.”

“Iya makanya kita harus segera nikah. Biar kalau liburan nanti bisa hemat tempat enggak usah menyewa tiga kamar.” Bagas tertawa.

“Memangnya abang sudah yakin mau nikahin aku?” 

“Lihat saja nanti. Sudah dulu ya ada panggilan masuk dari bosku.” Sahutnya sambil memutuskan panggilan video.

Selama ini Bagas tak pernah menyatakan perasaan padanya. Namun semua sikapnya membuat Rania berpikir bahwa Bagas menganggapnya lebih dari sekedar teman. Kedua orang tuanya juga sering mengutarakan keinginan mereka untuk menjadikan Rania sebagai menantu. Meski begitu Rania tidak terlalu menanggapi keinginan mereka. Rania bukannya tidak tertarik pada Bagas. Namun dia ingin Bagas memilihnya sendiri bukan atas desakan orang tuanya.

***

Sabtu siang Bagas mengajak Rania dan ibunya makan siang di mal. Setelah masuk ke restoran yang dimaksud, dia minta izin pada ibu untuk mengajak Rania ke suatu tempat. 

“Toko perhiasan?” Rania menatap Bagas bingung. Mengapa tiba-tiba dia mengajaknya ke sini. Sepertinya Bagas ingin meminta Rania memilihkan hadiah untuk ibu, pikirnya.

“Cincin mana yang kamu suka?” Tanya Bagas saat mereka sudah berada di dalam toko.

“Cincin?” Rania mengernyit. Mengapa tiba-tiba Bagas menanyainya tentang cincin. Rania memandangi cincin-cincin indah yang ada di etalase. Semua cincin itu indah. Dia jadi bingung sendiri.

Karena Rania hanya diam, Bagas pun meminta karyawan toko untuk mengeluarkan beberapa cincin yang ditunjuknya. Setelah itu dia mencobakan cincin-cincin itu di jari manis Rania. Bagas berdecak saat melihat cincin yang dirasanya cocok untuk digunakan Rania.

“Saya pilih yang ini.” Bagas menunjuk cincin itu lalu menyerahkan kartu debitnya pada karyawan.

“Mau langsung dipakai, pak?” Tanya karyawan begitu pembayaran selesai.

“Iya.” Sahut Bagas. 

“Ini maksudnya apa?” Tanya Rania begitu mereka keluar dari toko.

“Ini tanda kalau kamu sudah ada yang punya.” Bagas tersenyum lalu mengajak Rania menemui ibu yang sudah menunggu mereka untuk makan di restoran. 

“Akhirnya!” Ibu tersenyum bahagia saat melihat cincin di jari manis Rania. “Jadi Nia Ibu harus melamarmu ke mana? Garut? Bandung? Tasik? Jakarta atau Surabaya?” Ibu menyebutkan tempat tinggal kakak-kakak Rania.

“Ke Garut saja. Ke rumah Teh Alma.”

Satu minggu kemudian Bagas dan keluarganya datang meminang Rania ke Garut. Setelah pembicaraan panjang akhirnya mereka memutuskan untuk menikah di bulan Juni, dua bulan kemudian.

Hubungan Bagas dan Rania berjalan cukup harmonis meski mereka harus berjauhan. Semakin mengenalnya Rania semakin menyayangi Bagas. Bagas selalu memperlakukannya dengan penuh kasih.

***

“Nia, kamu baik-baik saja?” Ibu mengunjungi Rania di rumahnya. 

“Baik bu. Memangnya kenapa?” Rania yang sedang menyeduh kopi menoleh pada ibu. “Ibu mau?” Tawarnya.

“Ibu sudah minum tadi sama papa.” Ibu duduk di kursi yang ada di dekat pantry. “Nia, abang kok enggak kelihatan?” Ibu larak-lirik mencari.

“Abang sudah kembali ke Bandung. Katanya ada rapat mendadak.”

“Oh begitu ya. Padahal abang baru datang kemarin.” Ibu terdengar kecewa.

“Rapatnya mendadak.”

“Oh begitu. Ibu kira abang marah karena saat pulang Nia malah sedang berlibur dengan ibu.” 

“Enggak kok.”

“Nia kalau ada masalah bicarakan baik-baik ya. Ibu sangat menyayangi kalian berdua. Kalau ada apa-apa ibu tak akan memihak salah satu di antara kalian.”

“Iya bu, terima kasih.”

Hari itu setelah ibu pulang Rania mengecek ponselnya. Ternyata tak ada satu pun pesan yang dikirim Bagas. Tidak biasanya dia seperti itu. Sepertinya Bagas benar-benar marah. Sesibuk apapun dia selalu menyempatkan diri untuk mengiriminya pesan.

Sesibuk apapun jangan lupa makan ya!

Nia minta maaf kalau buat abang kecewa.

Nia sayang abang, dulu, sekarang dan selamanya.

Rania mengirimkan beberapa pesan tapi tak satu pun yang dibalas oleh Bagas. Akhirnya Rania menyerah. Dia pun menyibukkan diri dengan pekerjaan di sekolah. Sebentar lagi Asesmen Akhir Tahun, Rania harus segera membuat soal.



















Dulu, Sekarang dan Selamanya (2)

Sesibuk apapun jangan lupa makan ya!

Nia minta maaf kalau buat abang kecewa.

Nia sayang abang, dulu, sekarang dan selamanya.

Bagas hanya melihat pesan yang dikirim Rania. Pikirannya terlalu kacau hingga dia tak tahu harus menjawab apa. Dia tahu Rania pasti sedih karena dia pergi begitu saja. Namun saat ini Bagas ingin menenangkan diri. Dia takut kata-katanya semakin menyakiti hati Rania.

“Pak, rapatnya sebentar lagi akan dimulai.” Asistennya mengingatkan.

Bagas mengatur ponselnya ke mode pesawat, mengambil laptopnya dari meja lalu pergi ke ruang pertemuan. Rapat hari itu berlangsung lebih cepat dari biasanya. Semua tim sudah siap dengan pekerjaan masing-masing hingga tak memakan waktu yang lama. 

Malam itu sepulang kerja, Bagas mampir ke kafe. Di sana dia tertegun memandangi muda-mudi yang sedang asyik mengobrol. Semakin dilihat semakin membuatnya tak enak hati. Gadis di hadapannya membuatnya teringat pada Rania. Bagas pun memutuskan untuk pulang.

***

“Kalian liburan ke Jogja?” Tanya Bagas saat menerima panggilan video dari ibunya. Papa dan ibu biasanya mengunjunginya di akhir pekan. Namun minggu ini mereka tidak datang karena pergi berlibur.

“Iya kita sedang di Parang Tritis.” Ibu menunjukkan pantai di hadapannya.

“Papa sedang bicara dengan siapa?” Bagas menunjuk perempuan muda yang sedang tertawa lebar mendengar ocehan papanya.

“Oh itu Nia. Guru baru di sekolah papa. Cantik ya?” Ibu tersenyum pada Bagas. 

“Terus kalau cantik kenapa?” Komentar Bagas tak acuh. Dia tahu makna dibalik kata-kata ibu. Ibu ingin melihatnya segera menikah. Beberapa waktu yang lalu dia juga berusaha menjodohkan Bagas dengan anak temannya.

“Selain cantik Nia ini baik dan rajin. Ibu dan papa sangat sayang padanya.”

“Memangnya kenapa kalau ibu dan papa sayang sama dia.” Bagas tetap cuek.

“Abang ini selalu begitu. Sudah dulu ya, nanti ibu kirimkan foto-foto.”

Beberapa saat kemudian ibu mengunggah beberapa foto ke instagramnya. Di setiap foto pasti ada perempuan bernama Nia itu. Sepertinya ibu memang sengaja. 

Bagas pikir perempuan bernama Nia itu hanya sekedar guru baru di sekolah papa. Ternyata dia adalah anak kesayangan mereka. Setiap berlibur pasti mereka mengajaknya. Bagas jadi penasaran seperti apa gadis yang disayangi ibunya ini.

***

“Ngerti kan sekarang kenapa ibumu sangat sayang padanya?” Papa menepuk pundak Bagas yang tengah tertegun melihat Rania yang sedang tertawa bersama ibu. Mereka sedang asyik menonton drama Korea di TV. “Ibumu seperti menemukan sahabatnya lagi.” Lanjut papa. “Cobalah untuk lebih akrab dengannya.” Bujuk papa.

Semakin lama kedekatan orang tuanya dengan Nia semakin erat. Terkadang Bagas merasa papa dan ibu lebih menyayangi Nia daripada dirinya. Bagas pun memutuskan untuk mengikuti saran papa untuk mencoba akrab dengannya. Nia ternyata orang yang lucu dan menyenangkan. Dia pandai membuat lelucon dan tidak mudah baper saat digoda olehnya. 

Awalnya Bagas hanya sekedar penasaran. Lama kelamaan dia mulai terbiasa dengan kehadiran Nia dalam hidupnya. Dia malah sering merasa ada yang kurang kalau sehari saja tak bicara dengannya.

“Kamu pergi kemah, kok enggak bilang-bilang?” Keluh Bagas setelah dia melihat unggahan di IG Nia. Di unggahannya Nia berfoto dengan anak-anak dan teman-temannya.

“Waktu itu Nia cerita kalau anak-anak Pramuka akan melaksanakan pelantikan Bantara.” Nia mengingatkan.

“Berapa hari di sana?” Bagas mengganti topik. Bagas tidak ingin Nia tahu kalau sebenarnya dia merasa kesal.

“Sampai minggu pagi. Memangnya kenapa?”

“Tadinya abang mau pulang dan mengajak Nia main ke Cicereum. Tapi sepertinya tidak jadi. Mungkin minggu depan.”

“Minggu depan Nia mau ke Tasik, kakak Nia mau menikahkan anaknya.”

“Berarti harus menunggu dua minggu lagi.” Bagas menghela napas dengan berat. Mereka sudah tidak bertemu selama dua minggu. Dua minggu kemarin Bagas sibuk jadi dia harus tetap bekerja di akhir pekan.

“Kenapa abang enggak ke sini saja. Nanti kita main ke curug.” Nia menyarankan. “Sudah dulu ya. Pak Alek mengajak rapat.” Nia memutuskan pembicaraan.

Mendengar nama Alek disebut, Bagas menjadi tak tenang. Dia ingat foto yang diunggah Nia. Di samping Nia berdiri seorang lelaki. Sepertinya dia guru baru yang diceritakan papa. Dia pun menelepon papanya.

“Pa, Nia pergi kemah?”

“Iya. Besok papa sama ibu juga mau menengok ke sana. Minggu ini kamu juga tidak pulang?” 

“Malam ini Bagas pulang. Bagas ikut ya ke tempat kemah.”

“Oke kamu pasti kangen ya sama Nia. Makanya cepat-cepat dihalalin nanti keburu diambil orang. Nia cukup populer di sekolah. Teman-teman papa juga sudah ada yang bertanya tentang Nia. Mereka berencana mengambilnya sebagai menantu.”

“Terus papa jawab apa.” Bagas panas hati mendengar cerita papanya.

“Papa bilang terserah Nia. Kalau memang Nia mau nanti papa akan mengenalkannya.”

“Loh kok gitu sih, pa. Papa enggak mau punya menantu seperti Nia?”

“Bukannya enggak mau, tapi kamunya yang kurang respon. Papa kasihan kalau Nia terus nunggu kamu. Apalagi kata ibu, sebelumnya Nia pernah patah hati karena ditinggal nikah.”

“Lain kali kalau ada yang tanya lagi tentang Nia. Bilang dia calonnya anak saya.”

“Abang yakin?”

“Yakin.”

***

Bagas menunda kepulangannya ke Bandung karena dia di telepon bosnya. Dia harus menghadiri pertemuan di Jakarta. Dengan berat hati dia pun menghubungi papa dan memintanya untuk menjaga Nia. Dia meminta papa menjauhkan Nia dari laki-laki yang mencoba mendekatinya. Papa dan ibu tertawa mendengar permintaannya tapi Bagas tak peduli. 

Papa dan ibu yang mengenalkan Nia padanya. Mereka secara terang-terangan berusaha membuat Bagas tertarik padanya. Sekarang begitu dia mulai merasa suka, masa mereka tidak mendukungnya.

Saat Nia datang berkunjung dengan ibu tiga minggu berikutnya setelah acara kemah, Bagas langsung mengambil kesempatan. Dia memberikan Nia cincin untuk memberi tanda bahwa dia serius dengan perasaannya. 

Setelah menikah Bagas dan Nia memang tetap tinggal berjauhan. Pekerjaan Bagas tak memungkinkannya untuk pindah ke Majalengka. Nia juga belum bisa pindah ke Bandung karena belum lima tahun bertugas. Akhirnya mereka menyepakati untuk bertemu di akhir pekan. Kadang Nia yang pergi ke Bandung, di lain waktu Bagas yang pulang ke Majalengka. Meski begitu komunikasi di antara mereka tetap berjalan dengan lancar. 

Masalah mulai muncul saat tahun kedua pernikahan mereka. Perusahaan Bagas semakin berkembang. Dia jadi semakin sibuk hingga lebih jarang pulang. Nia-lah yang lebih sering mengunjunginya di Bandung. Meski begitu mereka tetap tidak bisa menghabiskan waktu bersama karena Bagas harus pergi kerja. Karena kasihan pada Nia, akhirnya Bagas meminta Nia untuk tidak datang kalau dia sibuk.

Sudah satu bulan Bagas tidak bertemu dengan dia. Dia merasa sangat kangen padanya. Begitu ada waktu Bagas pun memutuskan untuk pulang ke Majalengka. Bagas sengaja tidak memberitahu Nia kalau dia akan pulang. Dia ingin memberinya kejutan. Yang terjadi malah Bagas yang mendapat kejutan. 

Nia tidak ada di rumah saat dia pulang. Kata ART di rumah papa, Nia pergi berlibur bersama papa dan ibu. Mereka baru pulang keesokan harinya. Bagas merasa kesal dan secara tidak sengaja mentakan kata-kata itu. Kata-kata yang seharusnya tak boleh dia katakan.

Bagas yang salah. Dia yang tidak memberitahu Nia tentang kepulangannya. Dia yang meminta Nia untuk tidak ke Bandung. Sekarang dia juga yang marah.

***

Dua minggu berlalu sejak pesan terakhir yang dikirim Nia. Sepertinya Nia menyerah untuk mengiriminya pesan. Bagas menjadi tidak tenang. Jangan-jangan Nia mulai bosan dan menyerah padanya. Ini tidak boleh terjadi. Bagas tak mau kehilangan Nia. Dia harus menemui Nia dan memohon ampun padanya.

Begitu jam kerjanya selesai Bagas langsung pulang ke rumah. Dia berencana untuk istirahat sebelum memulai perjalanan ke Majalengka. Setelah memarkirkan mobilnya Bagas segera masuk ke rumah. Langkahnya menuju kamar terhenti saat melihat Nia sedang duduk menonton TV.

“Sudah pulang, bang?” Nia berdiri lalu menghampiri Bagas dan memeluknya. “Nia ambilkan minum, ya!” Nia melepaskan pelukan tapi Bagas menahannya.

“Jangan pergi. Biarkan aku memelukmu lebih lama.” Bagas menyurukkan kepala di rambut Nia. 

“Abang pasti lelah!” Nia mengusap punggung Bagas dengan penuh sayang. “Sebaiknya abang duduk!” Nia mengajaknya duduk di sofa. Kali ini Bagas menurut. Dia memandangi Nia yang berjalan mengambil air ke dapur.

“Minumlah!” Nia menyerahkan gelas berisi air lalu duduk di samping Bagas.

“Terima kasih.” Bagas meminum air hingga habis lalu menyimpan gelas di meja dan beralih menatap Nia. “Abang minta maaf! Abang egois.” Bagas membuka pembicaraan. “Abang takut kehilangan Nia. Abang cinta sama Nia.” Suara Bagas berubah menjadi serak. Mata besarnya berkaca-kaca.

“Akhirnya Nia mendengar kata-kata ini.” Nia tersenyum lalu mengulurkan tangan untuk menyeka air mata yang menggenang di pelupuk mata Bagas. “Nia juga cinta sama abang. Nia menikah sama abang karena cinta bukan karena papa dan ibu.” Lanjut Nia.

“Abang juga nikah sama Nia karena cinta bukan karena papa dan ibu. Maaf, abang enggak pandai berkata-kata. Seharusnya sejak dulu abang mengatakan hal ini.” Bagas tertunduk malu lalu tersenyum.

“Tidak apa-apa.” Nia meraih Bagas ke pelukan dan mengusap kepalanya penuh kasih. “Oh ya, bang. Kata papa, tahun depan Nia sudah bisa pindah. Papa sudah menghubungi sekolah yang ada di Bandung. Nanti kita jalan-jalan ke sekolah itu ya.”

“Benarkah?” Bagas menengadah dan menatap Nia yang mengangguk. “Semoga berjalan lancar. Abang tak sanggup lagi berjauhan dengan Nia.” 




 








 






 






 

Frekuensi Yang Sama

  Saat menerima SK penempatan aku tertegun.          Garut. Tempat yang sudah lama ingin kukunjungi. Tempat yang ditinggali seseorang yang...