Pertama, Berat badan.
Mengapa ini jadi hal yang perlu dibahas? Jawabnya adalah orang sering mengingatkanku tentang ini. Bahkan tak jarang mereka tertawa setelah membahasnya. Mulai dari komentar "Masa pantat besar bisa merasa sakit?", "Masa badan besar takut hantu?" sampai pada komentar "Mungkin kamu harus diet biar cepat punya momongan".
Dulu aku akan melotot dan marah. Sekarang aku hanya akan melihat siapa yang berkomentar lalu menatapnya sekilas. Rasanya tak perlu menghabiskan energi untuk mendebat omongan mereka. Toh berat badanku tak berubah karena komentar mereka. Dan kupikir orang dewasa tak akan berkomentar demikian.
Kedua, karir.
Aku bersyukur Tuhan memberiku pekerjaan yang sesuai dengan hasratku. Aku menyukai bahasa dan sekarang menjadi guru bahasa. Bonusnya pekerjaanku ini sudah di-ACC negara. Meski pangkatku masih tetap seperti awal pengangkatan. Sistem kenaikan pangkat yang konon dipermudah belum memudahkan aku untuk naik pangkat. Mungkin tahun depan, Aamiin.
Bisa kembali ke kampung halaman adalah karunia terbesar di tahun ini. Sebetah dan sebahagia apapun di daerah orang tetap aku ingin kembali ke kampung halaman. Aku ingin pulang dan pergi dari dan ke rumah sendiri. Aku berharap masih bisa menemani ibuku di waktu-waktu yang tak mengharuskanku berada di tempat kerja.
Dulu ibu selalu berkata, "karir yang paling cocok untuk perempuan adalah menjadi guru". Kalau guru dengan jam kerja seperti dulu mungkin. Jam kerja yang sekarang tidak seperti itu. 37,5 atau 40 seminggu harus dihabiskan di tempat kerja. Jadi semua pekerjaan sebaiknya diselesaikan di tempat sehingga waktu di rumah dikhususkan untuk me time dan family time.
Ketiga, momongan.
Aku masih belum dipercaya untuk jadi seorang ibu. Cita-cita yang belum tercapai. Sedih? Galau? Menangis? Tentu. Namun, tidak sedahsyat dulu. Aku yang sekarang belajar sabar dan pasrah. Karena garis hidup manusia sudah ada yang menulisnya.
Berusahakah aku? Berdo'akah aku? Tentunya tak perlu ku umbar dan kuceritakan pada setiap orang yang bertanya. Ada hal-hal yang memang di luar kuasa kita. Dan harusnya semua manusia paham tentang itu.
Tak perlu kiranya kita bertanya mendalam tentang jodoh, keturunan dan hal pribadi lainnya yang mungkin membuat orang yang kita ajak bicara merasa tidak nyaman.
Keempat, tempat tinggal.
Alhamdulillah, ayah mewariskan sebuah rumah untukku. Aku bersyukur karenanya. Meski rumahku sederhana, aku merasa tenang di dalamnya. Tak perlulah kudengarkan omongan orang tentang rumahku.
Komentar-komentar orang tak akan mengubah rumahku jadi bagus atau sebaliknya. Biarkan orang berkomentar. Mereka punya bibir yang tentunya tidak berada dalam jangkauan kendaliku.
Kelima, kendaraan.
Lagi-lagi aku ingat komentar orang. Betapa mereka selalu memandang hidup orang lain segampang pandangan mereka.
Aku belum punya roda empat dan hanya punya roda dua. Alhamdulillah roda dua yang kumiliki ini telah mengantarku meraih gelar S2 dan berbakti di daerah orang sebelum akhirnya kembali ke kampung halaman.
Mungkin nanti aku berencana memiliki roda empat. Tentunya setelah kupikirkan di mana memarkirkannya. Aku tak punya kantong doraemon untuk menyimpannya.
Keenam, pendidikan.
Meski belum diakui, pendidikan terakhirku itu magister. Perlu proses lagi untuk dapat membubuhkan gelar agar diakui tempat kerjaku. Itu bukan masalah besar. Ilmu yang kuperoleh tidak hilang dengan tidak dicantumkannya gelar.
Banyak hal yang kuperoleh saat meraih gelar magister. Layaknya ponsel yang di charge begitu pula pengetahuan tentang mata pelajaran yang kuajarkan. Bertambahnya persaudaraan dan relasi.
Banyak hal yang telah kuraih tapi tak bisa kubahas. Yang pasti aku sedang menempa diri untuk lebih bersyukur dan bersabar. Kedua hal itulah yang membantuku tetap menjaga kewarasan di tengah problematika hidup dan derasnya komentar netizen.