Dengan berat hati Chandra berjalan memasuki kafe Ki Abah. Dari pintu masuk dia terus berjalan hingga ke meja di ujung teras kafe itu. Dengan senyum yang dipaksakan dia menyalami Elena lalu duduk.
"Pesan apa?" Tanya Elena seraya
menyodorkan daftar menu.
"Kopi hitam tanpa gula."
Sahutnya sambil menerima daftar menu lalu menyimpannya di meja.
"Bagaimana kabarmu?" Elena
kembali bertanya.
"Baik." Jawabnya singkat.
"Langsung saja Lena. Apa yang ingin kau bicarakan?" Tanya Chandra
sambil mengeluarkan sebatang rokok.
Elena tidak bicara. Dia malah
menunjukkan sebuah foto dari ponselnya.
"Tentang setia, sejak awal sudah
kukatakan padamu. Saat aku memilihmu." Chandra tersenyum getir, rokok
ditangannya ia nyalakan lalu dihisapnya kuat-kuat.
Mendengar hal itu Elena hanya terpaku
memandangi ujung sepatunya yang mulai dihinggapi debu. Tak satu pun kata yang
sanggup diucapkannya.
Bibirnya bergetar dan airmatanya mulai menetes.
"Apa arti hadirku bagimu?"
Chandra kembali bersuara. "Itu yang selalu bergema dalam telingaku."
Chandra kembali menghisap rokok di jarinya.
Elena bergeming. Hanya air mata yang
menjawab pertanyaan Chandra.
"Sejak awal sudah kukatakan
bukan? Apapun akan kuberikan selama aku mampu." Chandra tersenyum getir.
"Namun tetap saja kau merasa kurang." Chandra menatap Elena tajam.
"Sekarang semua keputusan ada di tanganmu. Apapun yang kau putuskan aku
akan menerima." Chandra berusaha tersenyum meski hatinya sakit.
"Apapun yang kau putuskan kuharap kau tidak menyesalinya."
"Mengapa aku merasa seolah kau
sedang mengucapkan perpisahan?" Elena akhirnya bersuara di sela-sela isak
tangisnya.
"Mungkin secara tidak sadar kau
sudah memutuskan untuk tidak memilihku." Chandra mematikan rokoknya
kemudian bangkit dari kursi.
"Masih bolehkah aku
menghubungimu?" Elena memegang lengan Chandra.
"Kau tentu tahu mana yang lebih
baik bila mengingat pada apa yang kau putuskan." Chandra melepaskan
pegangan tangan Elena.
"Kita masih bisa berteman?"
Elena kembali memohon.
"Kalau itu tak jadi masalah
untukmu, mengapa tidak?" Chandra menggedikkan bahu.
"Kata-katamu terkesan
menyudutkan." Elena menyeka air matanya lalu menatap tajam pada Chandra
yang kembali duduk.
"Lena, kau ingin aku bersikap
bagaimana?" Nada suara Chandra terdengar mulai menunjukkan kekesalan.
"Kau dulu tidak seperti
ini?" Elena menggigit bibirnya. Dia mulai ketakutan.
"Kau juga dulu tidak seperti
ini." Chandra tersenyum kecut. "Manusia harus tetap melanjutkan hidup
sepahit apapun penderitaan mereka." Chandra menyesap kopi yang sudah mulai
dingin. "Kalau tak ada lagi yang ingin kau bicarakan aku permisi
pulang." Chandra mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan lalu
menyimpannya di meja.
"Kau sudah mau pulang?"
Elena menatap kecewa.
"Aku sudah janjian dengan adikku
untuk bertemu dengan temannya."
"Perempuan di facebook itu?"
"Ya. Selamat siang Elena, semoga
harimu menyenangkan." Chandra bangkit. Dia lalu berjalan meninggalkan
Elena seorang diri.
Sesampainya di parkiran Chandra lalu
menelepon adiknya.
"Rey, apa besok kau sibuk?"
"Tidak bang, memangnya
kenapa?" Suara Reyna terdengar heran. Belakangan ini dia dan Chandra
memang jarang bertemu.
"Antar aku ketemu Namia."
"Namia temanku?" Reyna balik
bertanya.
"Iya, tadi pagi aku sudah
menghubunginya. Kukatakan kau ingin bertemu dengannya."
"Abang serius? Kok
tiba-tiba." Reyna masih keheranan.
"Kau sendiri yang bilang kalau
aku layak bahagia."
"Heuheu... Iya bang. Tapi aku
ajak Zaki ya. Supaya aku tidak jadi obat
nyamuk." Reyna merajuk.
"Ya kau bawa saja dia. Lagipula
sudah lama aku tidak bertemu dengannya. "
"Baiklah. Sampai besok!"
Chandra mematikan ponsel lalu memasukkannya ke dalam saku jaket. Setelah itu
dia memakai helm dan mulai melajukan motor sportnya meninggalkan kafe.
Cerita ini ditulis di Leles, 14 Januari 2019