Selasa, 30 Juli 2024

Kacamata Cinta

        Dengan  berat hati Chandra berjalan memasuki kafe Ki Abah. Dari pintu masuk dia terus berjalan hingga ke meja di ujung teras kafe itu. Dengan senyum yang dipaksakan dia menyalami Elena lalu duduk.

       "Pesan apa?" Tanya Elena seraya menyodorkan daftar menu.

      "Kopi hitam tanpa gula." Sahutnya sambil menerima daftar menu lalu menyimpannya di meja.

        "Bagaimana kabarmu?" Elena kembali bertanya.

      "Baik." Jawabnya singkat. "Langsung saja Lena. Apa yang ingin kau bicarakan?" Tanya Chandra sambil mengeluarkan sebatang rokok.

          Elena tidak bicara. Dia malah menunjukkan sebuah foto dari ponselnya.

      "Tentang setia, sejak awal sudah kukatakan padamu. Saat aku memilihmu." Chandra tersenyum getir, rokok ditangannya ia nyalakan lalu dihisapnya kuat-kuat.

       Mendengar hal itu Elena hanya terpaku memandangi ujung sepatunya yang mulai dihinggapi debu. Tak satu pun kata yang sanggup diucapkannya. Bibirnya bergetar dan airmatanya mulai menetes.

          "Apa arti hadirku bagimu?" Chandra kembali bersuara. "Itu yang selalu bergema dalam telingaku." Chandra kembali menghisap rokok di jarinya.

          Elena bergeming. Hanya air mata yang menjawab pertanyaan Chandra.

      "Sejak awal sudah kukatakan bukan? Apapun akan kuberikan selama aku mampu." Chandra tersenyum getir. "Namun tetap saja kau merasa kurang." Chandra menatap Elena tajam. "Sekarang semua keputusan ada di tanganmu. Apapun yang kau putuskan aku akan menerima." Chandra berusaha tersenyum meski hatinya sakit. "Apapun yang kau putuskan kuharap kau tidak menyesalinya."

        "Mengapa aku merasa seolah kau sedang mengucapkan perpisahan?" Elena akhirnya bersuara di sela-sela isak tangisnya.

         "Mungkin secara tidak sadar kau sudah memutuskan untuk tidak memilihku." Chandra mematikan rokoknya kemudian bangkit dari kursi.

          "Masih bolehkah aku menghubungimu?" Elena memegang lengan Chandra.

       "Kau tentu tahu mana yang lebih baik bila mengingat pada apa yang kau putuskan." Chandra melepaskan pegangan tangan Elena.

          "Kita masih bisa berteman?" Elena kembali memohon.

          "Kalau itu tak jadi masalah untukmu, mengapa tidak?" Chandra menggedikkan bahu.

          "Kata-katamu terkesan menyudutkan." Elena menyeka air matanya lalu menatap tajam pada Chandra yang kembali duduk.

      "Lena, kau ingin aku bersikap bagaimana?" Nada suara Chandra terdengar mulai menunjukkan kekesalan.

          "Kau dulu tidak seperti ini?" Elena menggigit bibirnya. Dia mulai ketakutan.

     "Kau juga dulu tidak seperti ini." Chandra tersenyum kecut. "Manusia harus tetap melanjutkan hidup sepahit apapun penderitaan mereka." Chandra menyesap kopi yang sudah mulai dingin. "Kalau tak ada lagi yang ingin kau bicarakan aku permisi pulang." Chandra mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan lalu menyimpannya di meja.

          "Kau sudah mau pulang?" Elena menatap kecewa.

          "Aku sudah janjian dengan adikku untuk bertemu dengan temannya."

          "Perempuan di facebook itu?"

      "Ya. Selamat siang Elena, semoga harimu menyenangkan." Chandra bangkit. Dia lalu berjalan meninggalkan Elena seorang diri.

          Sesampainya di parkiran Chandra lalu menelepon adiknya.

          "Rey, apa besok kau sibuk?"

          "Tidak bang, memangnya kenapa?" Suara Reyna terdengar heran. Belakangan ini dia dan Chandra memang jarang bertemu.

          "Antar aku ketemu Namia."

          "Namia temanku?" Reyna balik bertanya.

     "Iya, tadi pagi aku sudah menghubunginya. Kukatakan kau ingin bertemu dengannya."

          "Abang serius? Kok tiba-tiba." Reyna masih keheranan.

          "Kau sendiri yang bilang kalau aku layak bahagia."

        "Heuheu... Iya bang. Tapi aku ajak Zaki ya.  Supaya aku tidak jadi obat nyamuk." Reyna merajuk.

          "Ya kau bawa saja dia. Lagipula sudah lama aku tidak bertemu dengannya. "

         "Baiklah. Sampai besok!" Chandra mematikan ponsel lalu memasukkannya ke dalam saku jaket. Setelah itu dia memakai helm dan mulai melajukan motor sportnya meninggalkan kafe.

 

Cerita ini ditulis di Leles, 14 Januari 2019

Jumat, 26 Juli 2024

Paradoks Persfektif

    Paradoks adalah pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran. (KBBI)
    Persfektif adalah sudut pandang; pandangan. (KBBI)

      Pernah dengar kata-kata "dasar orang aneh", "alien", "beda server"? Kalau saya sih sering mendengarnya. Kata-kata tersebut pernah beberapa kali ditujukan rekan pada dairi saya. Kadang saya pun berpikir apakah ada yang salah dengan diri ini? Sementara orang-orang berada di saluran fm saya malah ada di am (cek istilah saluran radio, karena saya pendengar radio).
      Orang-orang sering mengira saya menari-nari karena bahagia. Di lain waktu mereka pun sering mengira saya bernyanyi nyaring karena saya kasmaran. Padahal kenyataannya adalah saya sedang merasa bosan, kesal atau tidak bahagia. Saya suka dengan komentar teman saya diunggahan saya pada status FB. Dia menulis "daripada ngabatin mending ngabaso" (daripada membatin mending makan bakso). Kata-kata itu sangat menghibur dan menginspirasi. 
       Saat berada di posisi tak bisa melawan arus, harus manut dan patuh padahal dalam hati kadang tidak sejalan, disitulah saya mulai berulah.😌 
       Saya bisa menggelar konser di meja kerja saya. Istilah konser ini saya gunakan saat saya nyanyi-nyanyi di meja kerja dan membuat kegaduhan untuk teman sebangku saya. Atau mungkin di lain waktu saya akan bergerak-gerak kurang kerjaan yang dikira orang sedang joged-joged.
      Meski saya menyelesaikan kedua gelar di bidang bahasa tapi pola pikir saya kadang lebih suka seperti pola pikir eksak. Saat mengajar saya lebih suka membuat tabel untuk menjelaskan perbedaan dua bahasan atau menggunakan simbol-simbol untuk mencatat. Saya kurang suka ketika berbelit-belit dalam menulis ataupun berbicara.
       Saya adalah orang yang lebih suka to the point. Mungkin hal itu juga yang membuat saya harus melengkapi kembali ujian mata kuliah PKN saya waktu S1.😀  
       Saat itu saya ditelepon dosen agar melengkapi jawaban esai soal UAS. Kata beliau jawaban untuk soal PG sangat bagus karena banyak jawaban yang dijawab dengan benar, hanya saja saya terlalu singkat saat menjawab esai. Kebiasaan to the point ini sering membuat saya kesulitan saat harus berpanjang-panjang dalam berargumen. Hal ini juga sering membuat orang menilai saya teugeug (ketus).
        Mungkin pembelajaran tentang kalimat efektif dan pragmatik cukup melekat dalam benak saya sehingga saya sering bersikap demikian. Bisa jadi saya malas beradu argumen atau mempermasalahkan hal yang kurang penting.
      Memang ada orang yang berpandangan bahwa guru bahasa adalah orang yang suka bicara berbelit-belit, berpanjang-panjang. Orang juga ada yang berpandangan kalau guru bahasa adalah guru yang wajib pintar menulis apapun karena di dalam mata kuliah dan mata pelajaran bahasa ada pembelajaran menulis. Padahal sejatinya tidak demikian.
       Writing is healing. 
       Ya menulis bisa menjadi cara untuk menyembuhkan. Apa yang dapat disembuhkan? 
      Ada hal-hal yang lebih menenangkan setelah diceritakan dan dibagikan kepada orang lain. Namun di saat kita tak bisa bicara karena bibir kadang berubah menjadi kelu saat akan memulai cerita, menulis bisa menjadi jalan keluar. 
       Apakah saya menulis? Tentu.
       Saya tak mungkin dapat menyelesaikan kedua jenjang pendidikan jika tidak menulis. Lalu apakah saya juga menulis saat saya meminta siswa untuk menulis. Jawabnya ya. Saya menulis untuk menunjukkan pada murid-murid saya bahwa saya juga melakukannya. Meski tidak berarti saya mahir atau mumpuni dalam melakukannya. Hal yang saya inginkan adalah mereka mencoba karena segala sesuatu mungkin terasa menakutkan saat belum dimulai dan dilaksanakan.
       Lalu apakah saya aktif menulis? Inilah yang menjadi pertanyaan besar?
      Salah satu kekurangan orang moody seperti saya adalah susahnya untuk konsisten. Saya merasa tertekan hingga kadang tak bisa menyelesaikan apa yang sudah mulai ditulis ketika mood sedang tidak baik. Blog ini pun bukan yang pertama yang saya miliki. Pernah ada satu atau dua blog lain yang pernah saya buat tapi sudah lama tak dikunjungi karena lupa kata sandi. 😇 
        Jadi bila ada yang beranggapan saya pasti rajin dan suka menulis karena guru bahasa itu tidaklah tepat. Menulis itu proses yang melibatkan banyak hal. Menulis juga banyak jenisnya.
       Setiap orang bisa menulis. Apalagi jika menulis itu adalah panggilan jiwanya. Bukan hanya guru bahasa, siapapun bisa melakukannya. Sependek pengetahuan saya, menulis karena hasrat jauh lebih mudah dilakukan daripada menulis karena tuntutan atau kewajiban. Jadi lakukanlah! Tulislah apa yang menjadi minatmu, apa yang menjadi panggilan jiwamu.
          Dan ini adalah tulisan terpanjang yang pernah saya tulis di sini. Entah ada angin apa yang menggerakkan jari-jari saya dan menggelitik skemata yang beberapa waktu ini terasa kaku. Mudah-mudahan saya bisa menulis dengan lebih konsisten. Dan tentunya dengan pikiran yang sebening mata air. 


YN, 26/07/2024
Disponsori lagu-lagu Jepang yang saya pun tak mengerti artinya.😆

Sabtu, 06 Juli 2024

39

      Ini bukan tentang nomor sepatu. Ini tentang usiaku yang sebentar lagi akan melepaskan angka 3 didepannya.
      Tak terasa 39 tahun sudah kulalui. Tahun depan usiaku sudah masuk ke angka empat. Do'a yang kupanjatkan masih sama. Harapan itu masih tumbuh dalam hati meski tidak semenggebu tahun-tahun yang lalu.
      Apa pentingnya ultah? Bagiku lebih ke momen untuk mengingatkan diri bahwa usia semakin berkurang dan masa untuk introspeksi. 
       Jika dulu banyak hal yang ingin kuraih, sekarang tidak. Sekarang aku hanya ingin menikmati sisa hidup dengan tenang. Menemani ibuku di masa tuanya. Menemani adik bungsuku sampai dia bertemu dengan jodohnya. Menemani suamiku.
       Apa yang kulakukan di hari ultah ke-39 ini? 
       Mencicipi kuliner di Festival Baso Aci Garut 2024, di Festival Makanan Pedas dan mencoba menu kopi di kedai kopi yang ada di mal. Berburu seragam sekolah untuk anak SMA. Inilah caraku menikmati hari ini.
       

Finally 40

 Happy Birthday.... Saenghil Cukhae.... Barakallah Fii Umrik.... Yeay... Akhirnya sampai di usia ini. Dulu pernah berpikiran usia 40 itu sud...