Saat menerima SK penempatan aku tertegun.
Garut. Tempat yang sudah lama ingin kukunjungi. Tempat yang ditinggali seseorang yang sangat ingin kutemui. Tempat yang akan menjadi saksi pengabdianku pada negeri. Tempat yang mungkin akan membuat ibuku menangis sedih karena harus berjauhan dengan satu-satunya anak laki-laki yang dimiliki.
Apapun yang terjadi aku akan tetap pergi. Aku ingin menyusuri kembali jejak-jejak yang telah lama kuhindari. Aku ingin kembali menapaki getaran-getaran yang dulu menguji diri. Meski aku tak tahu harus mulai dari mana. Namun aku yakin pasti akan kutemukan juga.
***
“Met! Jamet!” Aku meneriaki gadis jangkung yang sedang memarkirkan motornya. Gadis itu larak-lirik mencari hingga akhirnya tatapannya tertuju padaku. Dia menatapku bak menatap hantu. Wajah cantiknya terlihat bingung. “Akhirnya ketemu.” Ujarku seraya berjalan menghampirinya. “Makin kurus aja, met.” Aku memandangnya dari ujung kaki ke ujung kepala.
“Kamu ngapain di sini?” Janet memandangi seragam warna kaki yang kupakai. Raut wajahnya seakan berkata “enggak salah lo pake baju?”.
“Aku ada acara di sini!” Aku menunjuk ke dalam ruang pertemuan yang sudah mulai dihadiri para pembina PMR dari berbagai sekolah yang ada di kecamatan tempat puskesmasku bekerja berada.
“Kamu pembina PMR juga?” Tanyanya menebak-nebak. Aku langsung tertawa mendengar tebakannya. “Kukira kamu tidak suka jadi guru?” Janet kembali bertanya.
“Aku yang jadi pembicara di kegiatan hari ini!” Ujarku yang langsung mendapat tatapan tajam darinya. “Ini nomor ponselku.” Aku menuliskan nomorku di kertas lalu memberikannya. “Tolong hubungi aku. Aku tunggu.”
“Oh ok.” Sahutnya dengan kebingungan yang belum berakhir.
“Kalau kau tidak juga menghubungi sampai nanti sore. Aku akan mencarimu di seluruh sekolah yang ada di kecamatan ini.” Aku tersenyum lalu segera masuk ke ruangan.
Sebenarnya aku masih sangat ingin bicara dengannya. Aku kangen sekali. Seandainya saja aku tak harus segera masuk dan menyampaikan materi tentang pemeriksaan kesehatan gratis untuk sekolah, aku pasti mengajaknya ke kafe terdekat.
Aku bersyukur acaranya berjalan dengan lancar. Padahal awalnya konsentrasiku sedikit buyar karena bertemu dengannya. Untunglah itu hanya berlangsung sebentar. Aku bisa kembali menguasai diri dan melaksanakan tugasku dengan baik. Aku berterima kasih pada semua undangan yang hadir. Mereka berpartisipasi cukup aktif tentang permasalahan yang aku bahas.
Setelah kegiatan selesai aku kembali ke tempat kerja untuk menyelesaikan laporan kegiatan hari ini. Di sela-sela menyusun laporan sesekali aku melihat ke ponsel. Janet masih belum juga menghubungi. Sepertinya anak itu memang sengaja. Dia tak mau menghubungiku lebih dulu.
Malam harinya sambil menyeruput es kopi favoritku, iseng-iseng aku mencari tahu tentang sekolah tempat Janet bekerja. Ternyata selama ini dia mengajar di sekolah yang cukup dekat dengan tempatku bekerja. Tunggu saja nanti. Kalau dia tak kunjung menghubungi, akan kudatangi sekolahnya.
***
“Minggat?” Tanyaku sambil menatap gadis di hadapanku yang baru saja berhasil meloncati dinding sekolah. Aku membantu dia mengambilkan tas dari tanah lalu memberikannya. Gadis itu masih diam membisu. Raut wajahnya tampak kesal dan malu. Gadis itu mengambil tasnya dengan paksa lalu melesat pergi meninggalkan aku tanpa kata.
Keesokan harinya aku mencari gadis itu di sekitar sekolah. Sayang usahaku tidak berjalan mulus. Azura, kakak kelas, yang kecentilan itu selalu mendatangiku di jam istirahat. Kadang aku ingin menyuruh dia untuk berhenti datang. Namun dengan lincahnya dia akan menghubungi ayah dan melaporkan semua kenakalanku. Akhirnya kubiarkan saja dia membuat rumor bahwa aku sangat cinta mati padanya.
Sebenarnya aku lebih memilih untuk masuk SMK tapi ayah memaksaku masuk ke SMA. Dia takut aku makin nakal kalau satu sekolah dengan teman-teman yang pernah satu SMP. Ini semua juga demi ibu. Ibu memohon agar aku mengakhiri perang dingin dengan ayah dan menjadi anak manis. Sayangnya tidak semudah itu untuk jadi anak manis. Godaan selalu datang menerjang.
“Minggat lagi?” Aku kembali bertemu dengan gadis itu saat sedang menikmati permen loli yang kuminta dari teman kelasku yang perempuan.
“Apa lihat-lihat!” Tatapnya dengan galak. Aku hanya tersenyum menanggapi kejutekannya.
“Idih galak amat.” Aku melemparinya senyuman tapi gadis itu membuang muka.
“Bodo!” Gadis itu mengambil tasnya lalu pergi.
Kali ini aku tak membiarkannya pergi begitu saja. Aku berniat mengikutinya. Aku tak ingin kehilangan jejaknya lagi. Aku tahu gadis itu tak ingin diganggu, sayangnya aku tak peduli. Hari ini aku tak ingin kehilangan lagi.
“Apa maumu?” Gadis itu tiba-tiba berbalik dan menatapku nyalang.
“Namamu? Siapa namamu?” Aku membalas tatapannya tanpa gentar.
“Janet.” Sahutnya sambil kembali berjalan.
“Oh Jamet?” Aku tertawa lalu kembali mengekorinya. “Apa alasanmu minggat?” Tanyaku penasaran.
“Pelajaran sejarah.” Ujarnya dengan ketus.
“Kalau aku sih pelajaran Bahasa Arab.” Aku menjelaskan tanpa ditanya. Dia langsung memberiku tatapan “emangnya gue nanya?”.
Itulah awal kedekatan kami. Sejak hari itu kami sering kabur bersama. Kami biasanya duduk-duduk di lapangan olahraga atau minimarket sambil menikmati kopi. Saat itu yang ada dipikiran kami hanyalah melarikan diri dari hal yang tak disuka. Kalau dipikir lagi sekarang, kelakuan kami saat itu benar-benar konyol.
Saat ketahuan sering kabur, kami pernah dihukum bersama. Kami harus menyapu halaman sekolah yang luas itu. Namun saat itu kami melakukannya tanpa mengeluh. Kami malah bercanda dan tertawa. Kami berjanji untuk berusaha lebih betah tinggal di kelas, apapun pelajarannya. Ya, karena ketika naik kelas 11 ternyata kami satu kelas. Itu merupakan kebahagiaan tak terkira untukku.
“Met, kamu pacaran sama si Aldo?” Aku menanyainya saat kami merapikan peralatan praktikum di lab. Kali ini bukan karena dihukum, kami melakukannya untuk membantu guru IPA kesayangan kami.
“Kalau iya kenapa.” Dia menjawab sambil lalu. Wajahnya tampak biasa. Dia tak sadar kalau laki-laki di hadapannya sedang menahan marah. “Pekerjaanku selesai. Aku mau ketemu Aldo di kantin.” Dia meninggalkanku sendirian.
Sejak saat itu kami mulai jarang bicara. Janet sibuk dengan pacarnya sedangkan aku sibuk dengan kemarahanku padanya. Kadang aku tak mengerti mengapa dia lebih memilih Aldo. Aku yang selalu disisinya. Aku yang tahu semua tentangnya. Namun Aldo yang menerima cintanya.
***
“Kara, kenapa ketemu di sini?” Janet melirik ke kanan dan ke kiri saat tiba di lapangan olahraga Kerkhof. Aku tahu gadisku ini lebih memilih rebahan di kamar sambil melihat video di youtube atau tiktok.
“Ini adalah kegiatan yang selalu kuimpikan. Berolahraga bersama.” Sahutku sambil mengajaknya masuk ke lintasan untuk jalan kaki.
“Kalau nanti kita ketemu muridku bagaimana?” Janet terlihat khawatir.
“Kita berada 20 Km dari sekolah tempatmu bekerja. Kemungkinan bertemu dengan mereka sangat kecil. Lagipula apa masalahnya kalau bertemu dengan mereka. Aku kan bisa sekalian kenalan. Aku ingin tahu bagaimana kau di sekolah.”
“Rendra Bagaskara!” Janet memanggil nama lengkapku. Dia biasa melakukannya kalau aku membuatnya kesal.
“Ya sayang.” Aku makin menggodanya. Dia menatapku dengan berapi-api. “Ayo kejar aku Zara Janetra Bagaskara.” Aku sengaja memanggil nama lengkapnya dan menambahkan namaku di belakangnya. Aku segera berlari karena dia mulai mengejarku. Aku sengaja melakukannya agar dia mau bergerak. Kalau sedang marah dia akan sanggup mengejarku bahkan dengan tertatih.
“Aku lelah!” Janet berhenti berlari dan memegangi pinggangnya dengan napas tersengal.
“Ayo beli minum dulu!” Aku melambatkan langkahku, berbalik menghampirinya lalu menuntunnya ke pinggir lapang. “Jadi kenapa saat itu kau pacaran dengan Aldo?” Tanyaku sambil menggenggam tangannya dan mengajaknya duduk di pinggir lapang setelah kami membeli minum.
“Karena Aldo yang memohon. Lagipula saat itu aku malas didatangi terus oleh Kak Azura. Dia selalu mengancamku agar menjauhimu.”
“Lalu kenapa kau putus dengannya?”
“Karena dia juga yang meminta.” Jawabannya membuatku gemas. Ingin sekali aku menjembel pipinya. Namun dia pasti mengamuk.
“Met, Met. Kau ini tak punya keinginan apa? Mau aja diperlakukan seperti itu sama Aldo.”
“Kau sendiri. Mau-maunya dirumorkan bucin pada Kak Azura.” Janet mencibir.
“Aku melakukannya karena dua alasan.”
“Apa alasannya.”
“Pertama agar dia tidak melaporkan kenakalanku pada ayah. Dan yang kedua ....” Aku sengaja menggantungkan kata-kataku agar dia penasaran.
“Apa yang kedua?” Tanyanya dengan mata yang penasaran.
“Supaya kamu cemburu.”
“Kenapa aku harus cemburu?” Janet mengernyit.
“Karena aku tahu sejak awal hatimu berada di frekuensi yang sama dengan hatiku.” Aku bicara sambil menatapnya tajam dan menggenggam tangannya. “Kali ini aku tak akan melepasnya lagi.” Aku mengacungkan genggaman tangan kami ke udara. Dia mengangguk lalu tersenyum.
YN, 09-08-2025