Jumat, 08 Agustus 2025

Frekuensi Yang Sama

  Saat menerima SK penempatan aku tertegun. 

        Garut. Tempat yang sudah lama ingin kukunjungi. Tempat yang ditinggali seseorang yang sangat ingin kutemui. Tempat yang akan menjadi saksi pengabdianku pada negeri. Tempat yang mungkin akan membuat ibuku menangis sedih karena harus berjauhan dengan satu-satunya anak laki-laki yang dimiliki.

       Apapun yang terjadi aku akan tetap pergi. Aku ingin menyusuri kembali jejak-jejak yang telah lama kuhindari. Aku ingin kembali menapaki getaran-getaran yang dulu menguji diri. Meski aku tak tahu harus mulai dari mana. Namun aku yakin pasti akan kutemukan juga.

***

“Met! Jamet!” Aku meneriaki gadis jangkung yang sedang memarkirkan motornya. Gadis itu larak-lirik mencari hingga akhirnya tatapannya tertuju padaku. Dia menatapku bak menatap hantu. Wajah cantiknya terlihat bingung. “Akhirnya ketemu.” Ujarku seraya berjalan menghampirinya. “Makin kurus aja, met.” Aku memandangnya dari ujung kaki ke ujung kepala.

“Kamu ngapain di sini?” Janet memandangi seragam warna kaki yang kupakai. Raut wajahnya seakan berkata “enggak salah lo pake baju?”.

“Aku ada acara di sini!” Aku menunjuk ke dalam ruang pertemuan yang sudah mulai dihadiri para pembina PMR dari berbagai sekolah yang ada di kecamatan tempat puskesmasku bekerja berada.

“Kamu pembina PMR juga?” Tanyanya menebak-nebak. Aku langsung tertawa mendengar tebakannya. “Kukira kamu tidak suka jadi guru?” Janet kembali bertanya.

“Aku yang jadi pembicara di kegiatan hari ini!” Ujarku yang langsung mendapat tatapan tajam darinya. “Ini nomor ponselku.” Aku menuliskan nomorku di kertas lalu memberikannya. “Tolong hubungi aku. Aku tunggu.”

“Oh ok.” Sahutnya dengan kebingungan yang belum berakhir.

“Kalau kau tidak juga menghubungi sampai nanti sore. Aku akan mencarimu di seluruh sekolah yang ada di kecamatan ini.” Aku tersenyum lalu segera masuk ke ruangan.

Sebenarnya aku masih sangat ingin bicara dengannya. Aku kangen sekali. Seandainya saja aku tak harus segera masuk dan menyampaikan materi tentang pemeriksaan kesehatan gratis untuk sekolah, aku pasti mengajaknya ke kafe terdekat.

Aku bersyukur acaranya berjalan dengan lancar. Padahal awalnya konsentrasiku sedikit buyar karena bertemu dengannya. Untunglah itu hanya berlangsung sebentar. Aku bisa kembali menguasai diri dan melaksanakan tugasku dengan baik. Aku berterima kasih pada semua undangan yang hadir. Mereka berpartisipasi cukup aktif tentang permasalahan yang aku bahas. 

Setelah kegiatan selesai aku kembali ke tempat kerja untuk menyelesaikan laporan kegiatan hari ini. Di sela-sela menyusun laporan sesekali aku melihat ke ponsel. Janet masih belum juga menghubungi. Sepertinya anak itu memang sengaja. Dia tak mau menghubungiku lebih dulu.

Malam harinya sambil menyeruput es kopi favoritku, iseng-iseng aku mencari tahu tentang sekolah tempat Janet bekerja. Ternyata selama ini dia mengajar di sekolah yang cukup dekat dengan tempatku bekerja. Tunggu saja nanti. Kalau dia tak kunjung menghubungi, akan kudatangi sekolahnya.

***

“Minggat?” Tanyaku sambil menatap gadis di hadapanku yang baru saja berhasil meloncati dinding sekolah. Aku membantu dia mengambilkan tas dari tanah lalu memberikannya. Gadis itu masih diam membisu. Raut wajahnya tampak kesal dan malu. Gadis itu mengambil tasnya dengan paksa lalu melesat pergi meninggalkan aku tanpa kata.

Keesokan harinya aku mencari gadis itu di sekitar sekolah. Sayang usahaku tidak berjalan mulus. Azura, kakak kelas, yang kecentilan itu selalu mendatangiku di jam istirahat. Kadang aku ingin menyuruh dia untuk berhenti datang. Namun dengan lincahnya dia akan menghubungi ayah dan melaporkan semua kenakalanku. Akhirnya kubiarkan saja dia membuat rumor bahwa aku sangat cinta mati padanya.

Sebenarnya aku lebih memilih untuk masuk SMK tapi ayah memaksaku masuk ke SMA. Dia takut aku makin nakal kalau satu sekolah dengan teman-teman yang pernah satu SMP. Ini semua juga demi ibu. Ibu memohon agar aku mengakhiri perang dingin dengan ayah dan menjadi anak manis. Sayangnya tidak semudah itu untuk jadi anak manis. Godaan selalu datang menerjang.

        “Minggat lagi?” Aku kembali bertemu dengan gadis itu saat sedang menikmati permen loli yang kuminta dari teman kelasku yang perempuan.

    “Apa lihat-lihat!” Tatapnya dengan galak. Aku hanya tersenyum menanggapi kejutekannya.

         “Idih galak amat.” Aku melemparinya senyuman tapi gadis itu membuang muka.

        “Bodo!” Gadis itu mengambil tasnya lalu pergi.

       Kali ini aku tak membiarkannya pergi begitu saja. Aku berniat mengikutinya. Aku tak ingin kehilangan jejaknya lagi. Aku tahu gadis itu tak ingin diganggu, sayangnya aku tak peduli. Hari ini aku tak ingin kehilangan lagi.

         “Apa maumu?” Gadis itu tiba-tiba berbalik dan menatapku nyalang.

         “Namamu? Siapa namamu?” Aku membalas tatapannya tanpa gentar.

         “Janet.” Sahutnya sambil kembali berjalan.

    “Oh Jamet?” Aku tertawa lalu kembali mengekorinya. “Apa alasanmu minggat?” Tanyaku penasaran. 

        “Pelajaran sejarah.” Ujarnya dengan ketus. 

       “Kalau aku sih pelajaran Bahasa Arab.” Aku menjelaskan tanpa ditanya. Dia langsung memberiku tatapan “emangnya gue nanya?”. 

      Itulah awal kedekatan kami. Sejak hari itu kami sering kabur bersama. Kami biasanya duduk-duduk di lapangan olahraga atau minimarket sambil menikmati kopi. Saat itu yang ada dipikiran kami hanyalah melarikan diri dari hal yang tak disuka. Kalau dipikir lagi sekarang, kelakuan kami saat itu benar-benar konyol. 

     Saat ketahuan sering kabur, kami pernah dihukum bersama. Kami harus menyapu halaman sekolah yang luas itu. Namun saat itu kami melakukannya tanpa mengeluh. Kami malah bercanda dan tertawa. Kami berjanji untuk berusaha lebih betah tinggal di kelas, apapun pelajarannya. Ya, karena ketika naik kelas 11 ternyata kami satu kelas. Itu merupakan kebahagiaan tak terkira untukku.

      “Met, kamu pacaran sama si Aldo?” Aku menanyainya saat kami merapikan peralatan praktikum di lab. Kali ini bukan karena dihukum, kami melakukannya untuk membantu guru IPA kesayangan kami.

       “Kalau iya kenapa.” Dia menjawab sambil lalu. Wajahnya tampak biasa. Dia tak sadar kalau laki-laki di hadapannya sedang menahan marah. “Pekerjaanku selesai. Aku mau ketemu Aldo di kantin.” Dia meninggalkanku sendirian.

        Sejak saat itu kami mulai jarang bicara. Janet sibuk dengan pacarnya sedangkan aku sibuk dengan kemarahanku padanya. Kadang aku tak mengerti mengapa dia lebih memilih Aldo. Aku yang selalu disisinya. Aku yang tahu semua tentangnya. Namun Aldo yang menerima cintanya.

***

“Kara, kenapa ketemu di sini?” Janet melirik ke kanan dan ke kiri saat tiba di lapangan olahraga Kerkhof. Aku tahu gadisku ini lebih memilih rebahan di kamar sambil melihat video di youtube atau tiktok.

“Ini adalah kegiatan yang selalu kuimpikan. Berolahraga bersama.” Sahutku sambil mengajaknya masuk ke lintasan untuk jalan kaki.

“Kalau nanti kita ketemu muridku bagaimana?” Janet terlihat khawatir.

“Kita berada 20 Km dari sekolah tempatmu bekerja. Kemungkinan bertemu dengan mereka sangat kecil. Lagipula apa masalahnya kalau bertemu dengan mereka. Aku kan bisa sekalian kenalan. Aku ingin tahu bagaimana kau di sekolah.”

“Rendra Bagaskara!” Janet memanggil nama lengkapku. Dia biasa melakukannya kalau aku membuatnya kesal.

“Ya sayang.” Aku makin menggodanya. Dia menatapku dengan berapi-api. “Ayo kejar aku Zara Janetra Bagaskara.” Aku sengaja memanggil nama lengkapnya dan menambahkan namaku di belakangnya. Aku segera berlari karena dia mulai mengejarku. Aku sengaja melakukannya agar dia mau bergerak. Kalau sedang marah dia akan sanggup mengejarku bahkan dengan tertatih. 

   “Aku lelah!” Janet berhenti berlari dan memegangi pinggangnya dengan napas tersengal.

       “Ayo beli minum dulu!” Aku melambatkan langkahku, berbalik menghampirinya lalu menuntunnya ke pinggir lapang. “Jadi kenapa saat itu kau pacaran dengan Aldo?” Tanyaku sambil menggenggam tangannya dan mengajaknya duduk di pinggir lapang setelah kami membeli minum.

      “Karena Aldo yang memohon. Lagipula saat itu aku malas didatangi terus oleh Kak Azura. Dia selalu mengancamku agar menjauhimu.” 

        “Lalu kenapa kau putus dengannya?”

     “Karena dia juga yang meminta.” Jawabannya membuatku gemas. Ingin sekali aku menjembel pipinya. Namun dia pasti mengamuk.

      “Met, Met. Kau ini tak punya keinginan apa? Mau aja diperlakukan seperti itu sama Aldo.”

       “Kau sendiri. Mau-maunya dirumorkan bucin pada Kak Azura.” Janet mencibir.

       “Aku melakukannya karena dua alasan.”

       “Apa alasannya.”

      “Pertama agar dia tidak melaporkan kenakalanku pada ayah. Dan yang kedua ....” Aku sengaja menggantungkan kata-kataku agar dia penasaran.

       “Apa yang kedua?” Tanyanya dengan mata yang penasaran.

      “Supaya kamu cemburu.” 

      “Kenapa aku harus cemburu?” Janet mengernyit.

     “Karena aku tahu sejak awal hatimu berada di frekuensi yang sama dengan hatiku.” Aku bicara sambil menatapnya tajam dan menggenggam tangannya. “Kali ini aku tak akan melepasnya lagi.” Aku mengacungkan genggaman tangan kami ke udara. Dia mengangguk lalu tersenyum. 

YN, 09-08-2025


Jumat, 01 Agustus 2025

Alur Yang Sama

 

                  Sunyi.

        Kata yang selalu disenangi Janet. Janet tidak suka keramaian. Janet lebih memilih diam di kamar sambil melihat-lihat video di youtube dibandingkan berada di keramaian. Waktu liburnya dia manfaatkan untuk tidur dan rebahan. Energinya sudah terkuras habis dari Senin hingga Jumat.

        Apakah dia kesepian? Jawabnya tidak. Dia masih punya ibu yang sangat asyik untuk diajak bicara. Setiap pulang ke rumah ibu pasti mengajaknya mengobrol. Janet sangat bersyukur karenanya. Dia masih belum bisa membayangkan seandainya ibunya dipanggil Sang Pencipta. Dia masih belum rela. Dia masih sangat membutuhkannya.

       Ibu adalah rumah tempatnya pulang dari semua kelelahan. Janet berusaha berdiri tegak di tengah gempuran pertanyaan “Kapan menikah?atau “Di tunggu undangannya”.  Dia berusaha tetap tersenyum dan tak ambil pusing. Dia percaya Sang Pencipta sudah menyiapkan seseorang untuknya. Hanya saja orang itu belum datang.

         Janet bahagia dengan hidupnya. Dia bersyukur atas apa yang telah dianugerahkan Sang Pencipta. Namun kini semua ketenangan dan kedamaian itu terusik oleh kedatangannya.

         “Syehrazad kenapa?” Yuri bertanya pada Rosa yang sedang asyik menonton drama china di ponsel canggihnya.

          Rosa mengalihkan pandang dari ponselnya lalu berbisik, “Enggak tahu, anak itu dari tadi diam terus. Lagi pindah ke Turki kali?” Rosa tertawa.

           “Apa mungkin dia sudah ketemu si Onur?” Yuri tergelak.

        Ketika Yuri dan Rosa sedang tergelak, tiba-tiba Janet bangkit dari kursinya lalu berdiri dan berjalan menuju pintu. Dia melihat ponselnya sebentar lalu berjalan tergesa menuju gerbang. Di belakangnya Yuri dan Rosa melongo heran.

***

         “Sudah terima makanannya?” Tanya seseorang di seberang sana saat Janet baru selesai mengambil makanan dari kurir.

“Kamu lagi banyak duit ya?” Tegur Janet berusaha terkesan galak padahal hatinya senang tak terkira.

Enggak juga. Tadi kebetulan lewat ke toko dimsum. Sudah dulu ya! Aku ada janji sama teman-teman mau basket.”

“Masih suka basket ternyata.” Janet tersenyum mengingat masa SMA.

“Bukan hanya basket yang masih aku suka. Orang yang sekarang bicara denganku juga masih aku suka.”

Mendengar kata-kata itu Janet langsung mengalihkan pembicaraan. “Sudah dulu ya! Aku lapar. Mau makan dimsum.”

“Baiklah! Sampai jumpa hari Sabtu nanti. Awas jangan pura-pura lupa!” Ancamnya.

Janet menutup pembicaraan lalu kembali ke UKS. Di UKS kedua sobatnya sudah siap dengan naskah interogasi mereka.

“Dimsum nih?” Yuri melirik dimsum di tangan Janet yang sudah kembali ke UKS.

“Pesen makanan kok enggak ngajak-ngajak.” Tegur Rosa sambil mengedip-ngedipkan mata  pada dimsum di tangan Janet.

“Oh ini tadi dikirim orang.” Janet bicara sambil tertunduk malu lalu duduk di karpet tempat mereka biasa makan-makan.

Mendengar hal itu baik Yuri maupun Rosa langsung saling pandang dan tergelak.

“Jadi siapakah dia?” Mode detektif Yuri langsung aktif. Dia menatap Janet dengan tatapan maut.

“Teman.” Sahut Janet dengan wajah bersemu merah.

“Baik amat temennya sampai ngasih dimsum.” Rosa menatap tak percaya.

“Teman SMA. Dia baru saja ditugaskan di Puskesmas.”

Mendengar nama puskesmas disebut, Rosa dan Yuri langsung berpikir keras. Dua bulan yang lalu Janet mengantar Rosa ke acara pertemuan para pembina UKS dengan pihak Puskesmas.

“Coba ceritakan si teman ini!” Yuri kembali beraksi.

“Ya waktu itu ketemu pas nganter kak Ocha. Aku juga enggak nyangka bisa ketemu lagi sama dia.”

Singel kan?” Yuri menatap tajam dan Janet langsung mengangguk. “Kalau begitu, gas.” Yuri menyemangati.

“Apanya yang gas?” Janet pura-pura tak mengerti.

“Mau gue datengin ke Puskes?” Gertak Rosa gemas melihat tingkah Janet.

“Ayo!” Yuri bersemangat. Bakat terpendamnya sebagai mak comblang kembali mencuat.

“Ih jangan. Kalian malu-maluin aja.” Janet langsung menolak dengan tegas. Lalu membuka bungkus dimsum dan mulai memakannya.

“Okelah kalau begitu.” Seru Yuri dan Rosa sambil ikut menikmati dimsum.

***

            “Hai!” Sapa Janet dengan senyum yang tiba-tiba jadi makin serinng menghiasai wajahnya.

“Halo. Yuk, pergi!” Yang disapa menyerahkan helm lalu meminta Janet segera naik ke jok motor di belakangnya.

“Jadi kita mau pergi ke mana?” Tanyanya setelah memakai helm dan duduk dengan nyaman.

“Lihat saja nanti!” Sahutnya sambil menutup kaca helm lalu mulai menjalankan motornya.

Awalnya Janet bingung antara harus pegangan ke bajunya ataukah ke bagian belakang jok. Dia terbiasa mengendarai motor sendiri sehingga merasa kurang nyaman saat harus dibonceng orang.  Setelah lama berpikir akhirnya Janet berpegangan pada jaketnya.

“Curug?” Janet tertegun saat mereka sampai di tujuan.

“Ya. Kamu pasti belum pernah ke sini.” Dia tersenyum senang melihat Janet yang memandangi keadaan sekeliling dengan takjub. “Ayo!”

Janet membiarkan dirinya ditarik untuk berjalan menuruni anak tangga menuju Curug Orok yang ada di bawah mereka. Dia tidak sedikit pun protes meski kakinya merasa pegal dan lelah. Dia membiarkan dirinya mengikuti keinginan laki-laki di hadapannya yang tengah tersenyum riang.

“Kau baik-baik saja?” Dia menatap Janet yang sedang mengatur napasnya. “Kau tidak mengomel?” Lagi-lagi dia tersenyum riang. “Betapa jarak dan waktu mampu mengubah keadaan seseorang.” Dia berdecak kagum lalu duduk di samping Janet. “Kau tahu Met, betapa bahagianya diriku saat melihatmu hari itu. Akhirnya semesta berpihak padaku.” Dia tersenyum sambil memandangi air terjun di hadapan mereka.

“Sejak kapan kamu jadi puitis begini?” Janet yang mulai mendapatkan ketenangannya akhirnya berkomentar. Laki-laki di hadapannya ini telah tumbuh jadi orang yang berbeda. Dia yang selalu memanggilnya “Jamet” hanya sekedar untuk membuatnya kesal, tiba-tiba jadi puitis.

“Sejak dulu. Kau saja yang tak pernah memberiku kesempatan untuk menunjukkannya.” Dia kembali tersenyum dan senyumnya menular. Senyum yang kini tak lagi dirasa Janet sebagai gangguan. Dulu dia benci sekali melihat senyuman itu. Senyuman yang selalu muncul di wajahnya setelah berhasil membuatnya kesal. “Kau tahu mengapa sampai saat ini aku masih sendiri?” Tanyanya tiba-tiba.

“Mungkin karena semua perempuan yang kau pelet sudah kembali normal.” Jawab Janet asal.

“Enak saja.” Dia manyun lalu menjitak kening Janet. “Susah sekali sih bicara serius denganmu.” Dia menyerah lalu meninggalkan Janet untuk pergi bermain air.

Sementara laki-laki itu asyik bermain air, Janet memandanginya dalam diam. Janet senang bisa dipertemukan kembali dengannya. Namun Janet tak yakin apakah kali ini kisah mereka bisa berakhir dalam satu alur yang sama ataukah hanya sekedar berpapasan sebelum kembali ke alur masing-masing.

YN, 01-07-2025

 

 

             

Frekuensi Yang Sama

  Saat menerima SK penempatan aku tertegun.          Garut. Tempat yang sudah lama ingin kukunjungi. Tempat yang ditinggali seseorang yang...