‘A wise boy kisses but doesn't love, listens but doesn’t
believe, and leaves before he is left’…
Kata-kata
itu benar-benar aku terapkan dalam keseharianku. Aku selalu pergi lebih dulu.
Aku tak pernah ditinggalkan atau diputuskan karena akulah yang selalu pergi dan
selalu memutuskan. Aku tak peduli orang menganggapku pengecut. Aku hanya tak
ingin sakit dan terluka.
“Pacar baru lagi?” Juni berteriak
di seberang sana. Saat ini dia pasti sedang mengomel panjang lebar. Sudah jadi
kebiasaannya untuk bicara tanpa henti kalau sedang kesal. “Awas kau, aku akan
membuat perhitungan denganmu!” ancamnya saat aku tak memedulikan petuahnya.
“Aku akan benar-benar datang untuk menyiksamu, tunggu saja.” Juni tampak sangat
marah hingga memutuskan pembicaraan.
Aku menyimpan Hp lalu merebahkan
diri di kasur. Juni sering mengancam akan membuat perhitungan denganku setiap
aku bercerita tentang pacar baru. Namun sampai sekarang dia belum melakukannya.
Juni terlalu sibuk dengan suaminya. Dia tak akan datang kemari dan meninggalkan
suaminya. Juni sangat mencintai suaminya hingga rela mengikutinya ke Korea. Dia
bahkan membuang semua mimpinya supaya bisa menikah dengan pria itu.
Juni sudah terjerat dalam
perangkap cinta yang menyesatkan. Aku pernah berharap bisa membebaskannya tapi
sayangnya aku tak bisa. Pria itu punya mantra yang sangat kuat sehingga membuat
Juni-ku bertekuk lutut. Aha, Juni-ku, di hadapannya aku tak pernah berani
berkata seperi itu. Dia pasti akan mengomel panjang lebar.
Ah Juni, aku benar-benar merindukanmu. Sudah
lama tak ada yang membangunkanku dari kemalasan di hari minggu. Tak ada yang
berani mengganggu dan memerintahku selain Juni. Semua orang rumah takut
membuatku marah. Namun Juni tak pernah peduli dengan hal itu. Dia selalu
melakukan apa yang menurutnya baik untukku. Dan anehnya, aku tidak merasa
keberatan diperlakukan seperti apapun olehnya.
“Hoammm…,” aku menguap lalu
tertidur. Dalam mimpiku aku bertemu dengan Juni. Dia terlihat lebih kurus dan
sedih. Aku bingung karena ia tak mau cerita padaku.
“Banguuuun…,” seseorang berteriak
di telingaku. Aku membuka mata dan termenung. Juni ada di hadapanku. “Aku sudah
bilang kan tadi malam.” Aku mengucek-ngucek mata dan buru-buru duduk. “Cuci
muka sana!” Dengan langkah terhunyung aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci
muka dan gosok gigi. Saat aku kembali, Juni sedang merapikan tempat tidur. “Kau
pasti kaget melihatku ada di sini?” Aku mengangguk lalu duduk di sampingnya.
“Kita jalan-jalan ke Gasibu, yuk!” Juni berdiri dan berjalan menuju pintu.
“Tunggu sebentar, aku masih
bingung.” Aku mengajaknya duduk lagi. “Bagaimana bisa kau berada di kamarku
sepagi ini? Bukankah seharusnya kau ada di Korea?”
“Sebenarnya sudah satu minggu aku
kembali dari Korea.”
“Kau pulang? Lalu suamimu?” Aku
menatapnya heran.
“Kami berpisah.” Sahutnya dengan
suara yang tiba-tiba jadi serak.
“Ber-pi-sah?”
Aku menatapnya bingung. Selama ini aku mengira hubungan mereka baik-baik saja.
Setiap bicara di telepon Juni tidak pernah terdengar sedih atau sedang punya
masalah.
“Pernikahan kami sudah berakhir.
Dia tidak sebaik yang kupikirkan. Dia lebih mencintai laptopnya daripada aku.”
Juni tersenyum tipis. “Aku lapar, kita makan lomie, yuk!” Juni mengajakku
berdiri. Dia belum mau bercerita banyak. Kalau sudah begitu aku tak bisa
berbuat apa-apa selain mengikuti keinginannya.
Aku menyambar jaket dan kunci
motor lalu mengikutinya keluar dari kamar. Setelah berpamitan pada bunda kami
pun pergi. Aku menuruti keinginannya untuk pergi ke Gasibu. Setibanya di sana
kami langsung menuju tenda lomie langganan kami. Sejak Juni menikah dan pergi
ke Korea, aku tak pernah makan di sana lagi. Aku menghindari semua tempat yang
bisa mengingatkanku padanya.
“Eh neng Juni, sudah lama tidak
makan di sini?” Abang penjual lomie tampak senang bertemu dengan kami.
“Iya bang, saya baru kembali dari
liburan panjang.” Sahut Juni sambil duduk. “Lomienya dua ya, bang!” Si abang
mengangguk lalu segera membuatkannya.
“Kamu pergi cukup lama sampai
orang-orang merasa kehilangan.”
“Orang-orang, termasuk kamu?”
tanya Juni seraya menatapku. Aku tak menjawab dan Juni pun tersenyum seperti
biasa kalau aku tak menjawab pertanyaannya. “Kata bunda, kamu sudah jadi dosen
tetap?”
“Iya, aku jadi asisten Pak
Marpaung. Sekarang aku tak bisa seenaknya datang dan pergi ke kampus.”
“Syukurlah kau sudah jadi orang.
Ryuzaky, dosen manajemen Informatika.” Juni tersenyum, bangga. “Sekarang kau
tinggal memilih calon istri. Bunda terus-menerus membicarakan hal itu padaku.
Dia ingin segera menimang cucu.”
“Mbak Zahra dan Mas Zamzam kan
sudah memberinya cucu.”
“Bunda ingin cucu darimu. Mungkin
bunda ingin cucu perempuan.”
“Ah, laki-laki dan perempuan sama
saja.”
“Tentu saja berbeda. Anak
perempuan itu jauh lebih menyenangkan, baju-baju mereka lebih lucu dan
beragam.” Mata Juni selalu bersinar terang kalau sudah berbicara tentang
anak-anak. “Seandainya saja bayiku tidak meninggal.” Juni bergumam. Bayi?
Selama ini dia tidak pernah bercerita kalau mereka punya anak.
“Kamu tak pernah bercerita tentang
bayi kalian.” Juni tidak mengacuhkan aku. Dia membayar lomie lalu berjalan
menuju taman lansia. Aku buru-buru mensejajari langkahnya. Apakah aku salah
bicara? Kenapa Juni tiba-tiba menjadi aneh?
“Kalau saja dia hidup, sekarang
ini pasti dia sudah bisa jalan.” Juni kembali bersuara. Juni mengeluarkan
sesuatu dari dompetnya. Ternyata itu foto hasil USG. “Aku membayangkan matanya
yang coklat seperti matamu, rambutnya juga ikal seperti rambutmu.” Juni terus
berbicara. Kata-katanya membuatku bingung. Bagaimana mungkin anaknya mirip
denganku.
“Bagaimana bisa dia mirip
denganku?” Aku bertanya dengan penuh kehati-hatian. Aku tak ingin membuatnya
marah. Juni tidak menjawab ia malah mencari kursi kosong lalu duduk.
“Kau ingat acara kemping di
Pangandaran tiga tahun yang lalu?” Juni menatapku tajam. Ah dia pasti bercanda,
bagaimana mungkin aku melupakan acara itu. Malam itu aku dan Juni terbuai
godaan setan hingga berbuat yang tidak seharusnya. Meski begitu aku tak pernah
menyesalinya. Aku sangat menyayangi Juni dan pasti bersedia bertanggung jawab
dengan apa yang telah kuperbuat padanya.
“Aku tak pernah melupakannya
karena setelah kejadian itu tiba-tiba saja kau menikah dan pergi ke Korea. Aku
benar-benar tak mengerti. Sebelumnya kau sudah berjanji akan memutuskan Jody
dan menerimaku selamanya di hatimu.”
“Saat itu aku baru saja pergi
sebentar dan kau sudah bersama perempuan lain.” Juni menatapku marah.
“Perempuan lain siapa? Saat itu
aku tak mengajak siapapun. Aku hanya mengajakmu.”
“Aku melihat Zaskia di tendamu.
Dia memelukmu erat dan pakaiannya berantakan.” Juni menarik nafas beberapa
saat. “Coba kau bayangkan apa yang muncul di benakku saat itu?” Aku
mengingat-ingat kejadian itu. Oh iya, aku sempat memergoki Zaskia sedang menatapku
saat aku bangun dan dia langsung pergi. Setelah itu aku mencari Juni dan
teman-temanku mengatakan dia sudah pulang. Aku berusaha menghubungi dan
menemuinya tapi Juni terus-terusan menghindar. Tiba-tiba saja dia mengirim
kartu undangan ke rumah. Satu tahun aku kehilangan kabar darinya dan baru tahun
lalu dia kembali menghubungiku.
“Kau salah paham, Jun. Aku dan
Zaskia tidak melakukan apa-apa. Kau tahu sendiri kalau aku tidur karena begitu
mengantuk.”
“Iya, aku tahu itu. Tiga bulan
yang lalu aku bertemu dengannya di sebuah seminar di Korea. Dia minta maaf
karena sudah membuatku salah paham padamu. Dia putus asa karena kamu tak juga
meliriknya.”
“Kembali ke masalah bayi. Bisa kau
ceritakan lagi?” aku menatapnya penuh harap.
“Saat itu aku begitu kesal hingga
akhirnya aku menerima lamaran Mas Jody. Aku baru tahu kalau aku mengandung
bayimu setelah kami tiba di Korea. Awalnya Mas Jody marah tapi akhirnya dia
menyerah. Sejak awal dia tahu kalau aku hanya mencintaimu. Mas Jody bilang, dia
sendiri yang mengundang dirinya ke dalam kedekatan kita. Dia terlalu
mencintaiku hingga rela mendapat perlakuan apapun. Sayangnya bayiku tak
bertahan lama di rahimku. Saat usia kandunganku menginjak bulan kelima, aku
terjatuh di kamar mandi dan keguguran. Peristiwa itu membuatku sangat terpukul,
begitu juga Mas Jody. Dia merasa sudah menyiksaku dengan memaksaku untuk tetap
menjalani pernikahan dengannya. Dan beberapa bulan kemudian dia menceraikanku.”
“Kalian sudah bercerai satu tahun
lamanya dan kau baru bercerita padaku? Apa yang kau lakukan selama satu tahun
terakhir? Apa kalian masih tinggal bersama?” Aku benar-benar penasaran dengan
kisah Juni.
“Tentu saja tidak. Aku mendapat
kepercayaan untuk mengajar bahasa Indonesia di kedutaan. Aku tinggal di
apartemen sederhana, sendirian. Sesekali kami masih bertemu dan makan siang
bersama. Seandainya saja rasa rinduku padamu bisa kutahan, mungkin aku masih di
Korea dan tak akan pernah kembali.”
“Kau benar-benar jahat, Jun.
Begitu banyak peristiwa yang kau lalui tapi kau tak menceritakannya padaku.”
Aku menatapnya kesal tapi dalam hati aku senang. Juni bilang dia mencintaiku,
hanya mencintaiku.
“Habisnya kau terlalu sibuk
berganti pacar.” Juni tertawa pelan.
“Aku hanya bermain-main dengan
mereka. Aku sengaja ingin membuatmu kesal agar kau memutuskan untuk kembali dan
menjadi penyelamat hidupku.”
“Dasar egois, tukang merayu dan
perampok hati!” Juni mengejekku lalu tertawa. Aku menggendongnya lalu
membawanya ke parkiran motor. “Aku mau dibawa kemana?” tanyanya sambil berusaha
melepaskan diri.
“Aku akan menghukummu karena sudah
meninggalkan aku dan membuatku jadi playboy bulanan,” sahutku sambil
menurunkannya. “Menikahlah denganku dan kembalilah jadi penyelamat hidupku yang
tak karuan!” ujarku mantap sambil berlutut dan memasukkan gantungan kunci motor
ke jari manisnya. Aku tak peduli dengan orang-orang di sekitar lapangan parkir
yang memandang ke arah kami dengan tatapan heran.
“Aku sudah menunggu kalimat ini
selama enam tahun, Zak.” Juni menarikku berdiri lalu memelukku erat.
“Terima kasih Juni karena sudah
menyelamatkan hidupku.” Juni tersenyum lalu mengecup pipiku.
Created by:
Yuli Nurhati, 14 Oktober 2010