Rabu, 05 Juni 2024

PENYELAMAT HIDUPKU

 A wise boy kisses but doesn't love, listens but doesn’t believe, and leaves before he is left’…

              Kata-kata itu benar-benar aku terapkan dalam keseharianku. Aku selalu pergi lebih dulu. Aku tak pernah ditinggalkan atau diputuskan karena akulah yang selalu pergi dan selalu memutuskan. Aku tak peduli orang menganggapku pengecut. Aku hanya tak ingin sakit dan terluka.

              “Pacar baru lagi?” Juni berteriak di seberang sana. Saat ini dia pasti sedang mengomel panjang lebar. Sudah jadi kebiasaannya untuk bicara tanpa henti kalau sedang kesal. “Awas kau, aku akan membuat perhitungan denganmu!” ancamnya saat aku tak memedulikan petuahnya. “Aku akan benar-benar datang untuk menyiksamu, tunggu saja.” Juni tampak sangat marah hingga memutuskan pembicaraan.

              Aku menyimpan Hp lalu merebahkan diri di kasur. Juni sering mengancam akan membuat perhitungan denganku setiap aku bercerita tentang pacar baru. Namun sampai sekarang dia belum melakukannya. Juni terlalu sibuk dengan suaminya. Dia tak akan datang kemari dan meninggalkan suaminya. Juni sangat mencintai suaminya hingga rela mengikutinya ke Korea. Dia bahkan membuang semua mimpinya supaya bisa menikah dengan pria itu.

              Juni sudah terjerat dalam perangkap cinta yang menyesatkan. Aku pernah berharap bisa membebaskannya tapi sayangnya aku tak bisa. Pria itu punya mantra yang sangat kuat sehingga membuat Juni-ku bertekuk lutut. Aha, Juni-ku, di hadapannya aku tak pernah berani berkata seperi itu. Dia pasti akan mengomel panjang lebar.

               Ah Juni, aku benar-benar merindukanmu. Sudah lama tak ada yang membangunkanku dari kemalasan di hari minggu. Tak ada yang berani mengganggu dan memerintahku selain Juni. Semua orang rumah takut membuatku marah. Namun Juni tak pernah peduli dengan hal itu. Dia selalu melakukan apa yang menurutnya baik untukku. Dan anehnya, aku tidak merasa keberatan diperlakukan seperti apapun olehnya.

              “Hoammm…,” aku menguap lalu tertidur. Dalam mimpiku aku bertemu dengan Juni. Dia terlihat lebih kurus dan sedih. Aku bingung karena ia tak mau cerita padaku.

              “Banguuuun…,” seseorang berteriak di telingaku. Aku membuka mata dan termenung. Juni ada di hadapanku. “Aku sudah bilang kan tadi malam.” Aku mengucek-ngucek mata dan buru-buru duduk. “Cuci muka sana!” Dengan langkah terhunyung aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi. Saat aku kembali, Juni sedang merapikan tempat tidur. “Kau pasti kaget melihatku ada di sini?” Aku mengangguk lalu duduk di sampingnya. “Kita jalan-jalan ke Gasibu, yuk!” Juni berdiri dan berjalan menuju pintu.

              “Tunggu sebentar, aku masih bingung.” Aku mengajaknya duduk lagi. “Bagaimana bisa kau berada di kamarku sepagi ini? Bukankah seharusnya kau ada di Korea?”

              “Sebenarnya sudah satu minggu aku kembali dari Korea.”

              “Kau pulang? Lalu suamimu?” Aku menatapnya heran.

              “Kami berpisah.” Sahutnya dengan suara yang tiba-tiba jadi serak.

              “Ber-pi-sah?” Aku menatapnya bingung. Selama ini aku mengira hubungan mereka baik-baik saja. Setiap bicara di telepon Juni tidak pernah terdengar sedih atau sedang punya masalah.

              “Pernikahan kami sudah berakhir. Dia tidak sebaik yang kupikirkan. Dia lebih mencintai laptopnya daripada aku.” Juni tersenyum tipis. “Aku lapar, kita makan lomie, yuk!” Juni mengajakku berdiri. Dia belum mau bercerita banyak. Kalau sudah begitu aku tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti keinginannya.

              Aku menyambar jaket dan kunci motor lalu mengikutinya keluar dari kamar. Setelah berpamitan pada bunda kami pun pergi. Aku menuruti keinginannya untuk pergi ke Gasibu. Setibanya di sana kami langsung menuju tenda lomie langganan kami. Sejak Juni menikah dan pergi ke Korea, aku tak pernah makan di sana lagi. Aku menghindari semua tempat yang bisa mengingatkanku padanya.

              “Eh neng Juni, sudah lama tidak makan di sini?” Abang penjual lomie tampak senang bertemu dengan kami.

              “Iya bang, saya baru kembali dari liburan panjang.” Sahut Juni sambil duduk. “Lomienya dua ya, bang!” Si abang mengangguk lalu segera membuatkannya.

              “Kamu pergi cukup lama sampai orang-orang merasa kehilangan.”

              “Orang-orang, termasuk kamu?” tanya Juni seraya menatapku. Aku tak menjawab dan Juni pun tersenyum seperti biasa kalau aku tak menjawab pertanyaannya. “Kata bunda, kamu sudah jadi dosen tetap?”

              “Iya, aku jadi asisten Pak Marpaung. Sekarang aku tak bisa seenaknya datang dan pergi ke kampus.”

              “Syukurlah kau sudah jadi orang. Ryuzaky, dosen manajemen Informatika.” Juni tersenyum, bangga. “Sekarang kau tinggal memilih calon istri. Bunda terus-menerus membicarakan hal itu padaku. Dia ingin segera menimang cucu.”

              “Mbak Zahra dan Mas Zamzam kan sudah memberinya cucu.”

              “Bunda ingin cucu darimu. Mungkin bunda ingin cucu perempuan.”

              “Ah, laki-laki dan perempuan sama saja.”

            “Tentu saja berbeda. Anak perempuan itu jauh lebih menyenangkan, baju-baju mereka lebih lucu dan beragam.” Mata Juni selalu bersinar terang kalau sudah berbicara tentang anak-anak. “Seandainya saja bayiku tidak meninggal.” Juni bergumam. Bayi? Selama ini dia tidak pernah bercerita kalau mereka punya anak.

         “Kamu tak pernah bercerita tentang bayi kalian.” Juni tidak mengacuhkan aku. Dia membayar lomie lalu berjalan menuju taman lansia. Aku buru-buru mensejajari langkahnya. Apakah aku salah bicara? Kenapa Juni tiba-tiba menjadi aneh?

       “Kalau saja dia hidup, sekarang ini pasti dia sudah bisa jalan.” Juni kembali bersuara. Juni mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Ternyata itu foto hasil USG. “Aku membayangkan matanya yang coklat seperti matamu, rambutnya juga ikal seperti rambutmu.” Juni terus berbicara. Kata-katanya membuatku bingung. Bagaimana mungkin anaknya mirip denganku.

        “Bagaimana bisa dia mirip denganku?” Aku bertanya dengan penuh kehati-hatian. Aku tak ingin membuatnya marah. Juni tidak menjawab ia malah mencari kursi kosong lalu duduk.

           “Kau ingat acara kemping di Pangandaran tiga tahun yang lalu?” Juni menatapku tajam. Ah dia pasti bercanda, bagaimana mungkin aku melupakan acara itu. Malam itu aku dan Juni terbuai godaan setan hingga berbuat yang tidak seharusnya. Meski begitu aku tak pernah menyesalinya. Aku sangat menyayangi Juni dan pasti bersedia bertanggung jawab dengan apa yang telah kuperbuat padanya.

            “Aku tak pernah melupakannya karena setelah kejadian itu tiba-tiba saja kau menikah dan pergi ke Korea. Aku benar-benar tak mengerti. Sebelumnya kau sudah berjanji akan memutuskan Jody dan menerimaku selamanya di hatimu.”

       “Saat itu aku baru saja pergi sebentar dan kau sudah bersama perempuan lain.” Juni menatapku marah.

              “Perempuan lain siapa? Saat itu aku tak mengajak siapapun. Aku hanya mengajakmu.”

          “Aku melihat Zaskia di tendamu. Dia memelukmu erat dan pakaiannya berantakan.” Juni menarik nafas beberapa saat. “Coba kau bayangkan apa yang muncul di benakku saat itu?” Aku mengingat-ingat kejadian itu. Oh iya, aku sempat memergoki Zaskia sedang menatapku saat aku bangun dan dia langsung pergi. Setelah itu aku mencari Juni dan teman-temanku mengatakan dia sudah pulang. Aku berusaha menghubungi dan menemuinya tapi Juni terus-terusan menghindar. Tiba-tiba saja dia mengirim kartu undangan ke rumah. Satu tahun aku kehilangan kabar darinya dan baru tahun lalu dia kembali menghubungiku.

            “Kau salah paham, Jun. Aku dan Zaskia tidak melakukan apa-apa. Kau tahu sendiri kalau aku tidur karena begitu mengantuk.”

            “Iya, aku tahu itu. Tiga bulan yang lalu aku bertemu dengannya di sebuah seminar di Korea. Dia minta maaf karena sudah membuatku salah paham padamu. Dia putus asa karena kamu tak juga meliriknya.”

             “Kembali ke masalah bayi. Bisa kau ceritakan lagi?” aku menatapnya penuh harap.  

            “Saat itu aku begitu kesal hingga akhirnya aku menerima lamaran Mas Jody. Aku baru tahu kalau aku mengandung bayimu setelah kami tiba di Korea. Awalnya Mas Jody marah tapi akhirnya dia menyerah. Sejak awal dia tahu kalau aku hanya mencintaimu. Mas Jody bilang, dia sendiri yang mengundang dirinya ke dalam kedekatan kita. Dia terlalu mencintaiku hingga rela mendapat perlakuan apapun. Sayangnya bayiku tak bertahan lama di rahimku. Saat usia kandunganku menginjak bulan kelima, aku terjatuh di kamar mandi dan keguguran. Peristiwa itu membuatku sangat terpukul, begitu juga Mas Jody. Dia merasa sudah menyiksaku dengan memaksaku untuk tetap menjalani pernikahan dengannya. Dan beberapa bulan kemudian dia menceraikanku.”

            “Kalian sudah bercerai satu tahun lamanya dan kau baru bercerita padaku? Apa yang kau lakukan selama satu tahun terakhir? Apa kalian masih tinggal bersama?” Aku benar-benar penasaran dengan kisah Juni.

          “Tentu saja tidak. Aku mendapat kepercayaan untuk mengajar bahasa Indonesia di kedutaan. Aku tinggal di apartemen sederhana, sendirian. Sesekali kami masih bertemu dan makan siang bersama. Seandainya saja rasa rinduku padamu bisa kutahan, mungkin aku masih di Korea dan tak akan pernah kembali.”

    “Kau benar-benar jahat, Jun. Begitu banyak peristiwa yang kau lalui tapi kau tak menceritakannya padaku.” Aku menatapnya kesal tapi dalam hati aku senang. Juni bilang dia mencintaiku, hanya mencintaiku.

              “Habisnya kau terlalu sibuk berganti pacar.” Juni tertawa pelan.

          “Aku hanya bermain-main dengan mereka. Aku sengaja ingin membuatmu kesal agar kau memutuskan untuk kembali dan menjadi penyelamat hidupku.”

       “Dasar egois, tukang merayu dan perampok hati!” Juni mengejekku lalu tertawa. Aku menggendongnya lalu membawanya ke parkiran motor. “Aku mau dibawa kemana?” tanyanya sambil berusaha melepaskan diri.

            “Aku akan menghukummu karena sudah meninggalkan aku dan membuatku jadi playboy bulanan,” sahutku sambil menurunkannya. “Menikahlah denganku dan kembalilah jadi penyelamat hidupku yang tak karuan!” ujarku mantap sambil berlutut dan memasukkan gantungan kunci motor ke jari manisnya. Aku tak peduli dengan orang-orang di sekitar lapangan parkir yang memandang ke arah kami dengan tatapan heran.

           “Aku sudah menunggu kalimat ini selama enam tahun, Zak.” Juni menarikku berdiri lalu memelukku erat.

              “Terima kasih Juni karena sudah menyelamatkan hidupku.” Juni tersenyum lalu mengecup pipiku.

 

Created by: Yuli Nurhati, 14 Oktober 2010 

Finally 40

 Happy Birthday.... Saenghil Cukhae.... Barakallah Fii Umrik.... Yeay... Akhirnya sampai di usia ini. Dulu pernah berpikiran usia 40 itu sud...