“Kamu harus bahagia?”
“Setiap
orang punya masalah. Baik besar ataupun kecil. Yang paling penting adalah seperti
apa cara kita menghadapi masalah itu?”
Mengapa guru bahasa tidak bisa
menulis? Guru bahasa seharusnya pandai menulis! Guru bahasa tentu lihai
menulis? Sudah berapa karya yang guru bahasa hasilkan?
Pertanyaan-pertanyaan yang jika
dihimpun hanya akan mengecilkan hati. Padahal pesan sponsor (dari orang-orang
terdekat) adalah “Kamu harus bahagia”, “Jangan stress”, “Ingat siklus bulananmu
yang kacau.” Lucu memang? Ya semua orang menyenangkan sebelum tanduk mereka
keluar.
Masih ingat hukum tekanan?
Tekanan berbanding terbalik dengan
luas permukaan. Semakin luas permukaan maka semakin kecil tekanan yang
dihasilkan. Berdiri dengan dua kaki jauh lebih ringan dibandingkan dengan
berdiri hanya satu kaki. Mengapa demikian? Karena saat berdiri di atas satu
kaki luas permukaan kita jauh lebih sempit dibandingkan dengan berdiri di atas
dua kaki.
Apa saja yang membuat seseorang
tertekan? Apakah tekanan dapat membantu seseorang dalam berkarya?
Jawabannya bisa iya dan juga bisa
tidak. Tekanan bisa menjadikan seseorang terpacu untuk melakukan sesuatu. Di
sisi lain tekanan juga bisa membuat seseorang justru enggan melakukan sesuatu.
Selama seseorang masih bisa menyeimbangkan gaya dan luas permukaan, tekanan yang
dirasakan tidak akan berdampak besar. Namun jika tak mampu menyelaraskannya
maka akan berakibat buruk. Baik itu untuk kesehatan fisik maupun psikis.
Kecanggihan teknologi tetap tak
bisa mengimbangi hati. Perasaan kita tidak akan sepenuhnya digambarkan AI. Coba
tonton film Korea berjudul Wonderland. Film itu menceritakan tentang manusia
bisa memanfaatkan sebuah layanan untuk bisa tetap berinteraksi dengan orang-orang
yang sudah meninggal. Para pengguna layanan dapat berbicara melalui ponsel
dengan orang-orang terkasih mereka yang sudah meninggal dengan bantuan AI. Awalnya
para pengguna merasa terbantu lama kelamaan mereka menyadari bahwa yang telah pergi
memang harus pergi.
Merelakan sesuatu adalah cara
terbaik untuk menyembuhkan diri. Banyak hal yang terkadang harus kita relakan
kepergiannya. Di lain situasi hal-hal tertentu terkadang lebih baik untuk dilepaskan.
Menghimpun sakit hati dan menabung dendam hanya akan menyakiti diri lebih jauh
dan lebih dalam.
Apakah saya pernah sakit hati? Tentunya
hal itu tak memerlukan jawaban. Karena saya memiliki hati, dan masih berfungsi, tentu rasa sakit itu kadang-kadang mampir dalam hari-hari saya. Apakah saya
marah? Apakah saya kecewa? Tentu saja hal-hal itu pun saya alami. Saya manusia
yang masih bisa mengeluarkan air mata saat beban di hati sudah begitu berat.
Saya masih normal dan waras sehingga bisa merasakan semua emosi dalam
keseharian saya.
Seandainya tangan saya dan kemampuan
mengetik saya secepat kelebat ide-ide cerita yang berputar-putar di kepala
mungkin cerita-cerita itu sudah rampung. Mungkin tokoh-tokoh dalam cerita saya
sudah sampai pada akhir perjuangan mereka. Sayangnya tidak begitu Romeo. Banyak
hal yang membuatnya menjadi rumit.
Saya harus membagi waktu antara
pekerjaan dan hobi. Pekerjaan yang menurut beberapa orang tidak begitu
melelahkan. Hanya menemani anak-anak belajar, menyampaikan ilmu pada mereka
tentang sesuatu dan selesai. Kenyataannya tidak sesederhana itu Romeo. Banyak
hal-hal lain yang sepertinya mudah jika hanya dibicarakan tapi agak sulit saat
dilaksanakan.
Masa sih? Di rumahmu kan tidak ada
balita yang mengacaukan kerapihan rumah. Tidak ada remaja yang rewel minta
dibelikan sesuatu. Komentarnya pasti mengarah ke sana. Dan saya hanya akan
tersenyum. Berlalunya waktu membuat saya agak kebal dengan komentar-komentar seperti
itu.
Jika ingin berkomentar tentang
pekerjaan maka komentarilah. Tak perlu rasanya mengusik hal yang sampai
saat ini pun masih orang lain perjuangkan. Tidak etis rasanya jika mengomentari
hal-hal lain di luar maksud yang sebenarnya ingin kita sampaikan.
Orang moody seperti saya cenderung
sedikit bermasalah dengan konsistensi. Idealnya saya bisa menulis setiap hari
dengan waktu luang saya. Kenyataannya tidak demikian. Perlu lebih dari sekedar
waktu luang untuk menulis. Perlu lebih dari sekedar kecanggihan teknologi untuk
menulis. Apalagi jika saya yang menulis. Hati dan pikiran saya ikut berperan
dalam lahirnya tulisan-tulisan yang saya hasilkan.
Ada kalanya saya menangis saat menulis.
Ada masanya saya tertawa bahagia saat merangkai kata. Semuanya berkelindan
menjadi bagian yang menjiwai tulisan-tulisan saya. Sekalipun tulisan saya hanya
berupa curhat semata. Sekalipun tulisan saya tidak ilmiah dan tidak menghasilkan
keuntungan material.
Saya masih menulis. Meski dengan
tertatih-tatih. Meski dengan kata-kata yang tak seindah lembayung senja. Ini
adalah jalan yang saya lalui untuk terapi. Ini adalah jalan yang saya lewati
untuk menegarkan diri bahwa guru bahasa hanya manusia biasa yang tak luput dari
kesalahan eja dan kealfaan penggunaan tanda baca, bahwa guru bahasa tak
semuanya pandai merangkai kata menjadi wacana, bahwa guru bahasa adalah manusia
yang memiliki kesempatan untuk memberi satu warna dalam hidup para siswa.