Waktu yang diperlukan nenek untuk menyiapkan tempat tinggal baru Clarisya ternyata sangat cepat. Dalam waktu tiga minggu saja apartemennya sudah siap dengan segala isinya. Clarisya bahkan hanya tinggal masuk. Nenek telah meminta orang-orangnya untuk memindahkan semua barang dari kamar Clarisya ke kamarnya yang baru saat Clarisya pergi mengantar bapak dan ibu ke desa.
Clarisya benar-benar takjub. Nenek selalu memberikan semua keinginannya bahkan terkadang melebihi yang dia harapkan. Kuncinya hanya tinggal meminta dan nenek akan segera menyiapkannya.
Clarisya menyimpan tasnya di samping tempat tidur lalu merebahkan diri. Pikirannya berkelana ke masa lalu. Masa paling bahagia dalam hidupnya.
"Claris, pacarmu ganteng ya?" Ine, teman sekelasnya, menjajari langkah Clarisya memasuki gerbang sekolah.
"Ih dia itu kakaknya, tahu." Nora, teman sebangku Clarisya, mengoreksi.
"Wah, boleh dong titip salam." Mata Ine berbinar-binar.
"Enggak boleh!" Clarisya melotot lalu berlari ke kelasnya.
Clarisya benci kalau ada perempuan yang tanya-tanya tentang abangnya. Dia sering ngambeuk kalau ada perempuan yang mencoba mendekati abangnya. Abangnya adalah miliknya. Titik tidak ada koma.
Orang mungkin akan berpikir Clarisya aneh. Dan Clarisya pun dulu memang merasa dirinya aneh. Namun sejak tahu kalau abangnya itu adalah anak dari sahabat mamanya, Clarisya merasa sangat lega. Hal itu pula yang membuat perasaan posesifnya. makin menjadi.
"Besok enggak usah anter aku lagi!" Clarisya masuk ke kamar abangnya yang sedang bermain gitar.
"Lho, kenapa. Sekolah kita kan tetanggaan. Kasihan papa kalau harus mengantar kamu padahal kamu bisa pergi denganku."
"Nanti banyak temanku yang nitip salam." Clarisya merengut dan abangnya tertawa.
"Kau cemburu ya!" Abangnya mengacak poni Clarisya.
"Enak saja." Clarisya berusaha menyingkirkan tangan abangnya dari poninya yang acak-acakan.
"Tenang saja. Selamanya aku adalah abdimu yang setia, wahai tuan putri." Abangnya menyimpan gitar lalu mengajak Clarisya turun ke ruang makan.
Di ruang makan Bunda sudah menanti mereka untuk makan malam. Hari ini mereka makan bertiga karena Papa ada jadwal operasi.
"Claris jangan nempel-nempel terus nanti abangmu enggak bakalan punya pacar!" Bunda pura-pura melotot saat melihat Claris digendong abangnya.
"Biarin!" Clarisya malah makin bergelayut manja di punggung Abangnya. "Bilang aja kalau Bunda iri karena papa enggak pernah lagi gendong bunda!" Clarisya mencibir.
"Ya deh. Puas-puasin aja manjanya. Sebentar lagi kan abangmu berangkat kuliah." Bunda tersenyum menggoda Clarisya.
Setiap teringat hal itu Clarisya kesal. Dia tahu tak mungkin melarang abangnya untuk meraih cita-cita. Namun perasaan takut kehilangan selalu menghantuinya.
Selesai makan Clarisya dan abangnya bermain ludo sambil mengobrol.
"Memangnya kalau mau jadi arsitek harus kuliah di Jogja ya? Di Bandung juga kan ada?"
"Abang kan dapat beasiswanya di sana."
"Memangnya papa enggak sanggup buat bayar kuliah."
"Abang ingin mengurangi beban papa dan Bunda. Sebentar lagi kamu kan masuk SMA."
"Aku SMA nya di Jogja aja, bagaimana?" Clarisya mengefip-ngedipkan mata.
"Ih jangan nanti papa dan bunda sedih kalau harus berjauhan dengan anak kesayangannya." Abangnya tersenyum.
Malam itu adalah terakhir kalinya mereka bermain ludo. Abangnya mulai sibuk dengan persiapan kuliah dan tidak punya banyak waktu untuk Clarisya. Sampai hari keberangkatannya ke Jogja mereka tidak banyak bicara.
"Apapun yang terjadi Fariz tak akan meninggalkan Claris." Abangnya memeluk Clarisya lalu naik ke kereta.
Clarisya hanya bisa menatap kepergiannya dengan mata berkaca-kaca didampingi Papa dan Bunda yang juga berkaca-kaca. Clarisya merasa sangat sedih. Seolah-olah dia tak akan melihat abangnya lagi.
Dan ketakutannya menjadi nyata.
Fariz tidak pernah kembali. Bahkan saat papa dan bunda meninggal dalam kecelakaan pun dia tidak muncul. Clarisya benar-benar kecewa dan sedih.
Clarisya benar-benar sebatang kara. Kedua orang tuanya adalah anak tunggal dan mereka sudah yatim piatu. Dia tidak tahu harus bersandar pada siapa. Dia hanya terpekur memandangi jasad kedua orang tuanya. Dia membeku.
"Jangan bersedih. Mulai sekarang aku yang akan mengurusmu!" Seorang perempuan yang telah berumur menghampirinya lalu menuntunnya untuk duduk. "Namaku Caroline. Orang-orang memanggilku Nenek Carol. Fariz mengirimku untuk menjagamu."
Mendengar nama Fariz disebut mata Clarisya kembali berbinar. "Aku ingin bertemu dengannya! Di mana dia?"
"Kau boleh meminta apapun kecuali bertemu dengan dia." Nenek Carol bicara dengan tegas.
"Mengapa? Mengapa harus seperti itu?"
"Ini perjanjian yang kami buat. Aku akan memenuhi semua permintaanmu kalau dia berjanji tidak akan menemuimu."
"Mengapa? Apakah dia marah padaku?"
"Inilah yang terbaik untuk kalian berdua. Semakin lama kalian bersama akan semakin sulit bagi kalian untuk saling melupakan."
"Mengapa kami harus saling melupakan?"
"Karena kalian terlarang untuk bersama!"
"Mengapa? Jelaskan!"
"Suatu hari kau akan tahu alasannya! Sekarang mari kita pulang. Kau harus bersiap menghadiri pemakaman orang tua mu."
Nenek Carol membawa Clarisya pulang. Dia mengenalkan Claris pada pasangan suami istri yang kemudian menjadi orang tua angkatnya. Mereka memperlakukan Clarisya dengan sangat baik. Mereka tetap sabar meski awal-awal pertemuan mereka Clarisya selalu bersikap tidak bersahabat.
"Heum... Aku harus menemui nenek untuk berterima kasih tentang apartemen ini!" Clarisya menarik napas dalam-dalam dan berusaha mengenyahkan semua kenangan masa lalu yang menyedihkan.
Baru saja dia hendak pergi keluar, Bi Imah datang untuk beres-beres. Dia mengatakan kalau nenek sedang tidak ada di rumah. Dan Nenek berpesan akan menghubungi Clarisya kalau urusannya sudah selesai.
Karena sudah terlanjur berdandan Clarisya pun tetap pergi ke luar. Dia pergi ke kafe favoritnya. Dia memeriksa pos el yang masuk dan membalasnya satu persatu. Dia begitu larut dengan kegiatannya sehingga tidak sadar kalau dari tadi ada yang sedang memperhatikannya.
"Selamat sore Claris!"
"Anda lagi! Betapa tidak beruntungnya saya." Claris segera merapikan laptopnya.
"Saya hanya ikut duduk di sini untuk menikmati kopi. Silahkan kalau Claris mau melanjutkan pekerjaan!"
"Saya tidak biasa kerja jika ada penonton." Clarisya mendengus kesal.
"Berarti Claris salah pilih tempat untuk bekerja."
"Apakah Anda sudah terbiasa mengomentari orang yang tidak di kenal?" Clarisya menatap Pria yang mengaku bernama Pras itu dengan tatapan setajam silet.
"Kamu terlalu sibuk dengan diri sendiri. Sehingga lupa kalau ini bukan pertemuan kita yang pertama." Pras tertawa kemudian kembali bicara, "Saya sering melihat Anda berlari di Sabuga. Saya juga sering melihat Anda duduk sendirian di Kafe ini."
"Anda penguntit ya?" Clarisya memicingkan mata. Dia menatap Pras lekat-lekat.
"Saya hanya seorang laki-laki yang kebetulan sering berpapasan dengan Anda tetapi tidak Anda sadari."
"Kata-kata Anda persis seperti mahasiswa-mahasiswa yang sering merayu saya."
"Saya tahu itu. Dan saya iri pada mereka bisa lebih sering melihat Anda."
"Dan seperti mereka, gombalan Anda pun tidak mempan untuk saya."
"Saya tidak sedang menggombal. Saya hanya mencoba mengajak Anda mengobrol."
Clarisya menghembuskan napas dengan kesal lalu kembali fokus dengan tugas-tugas yang dikirim mahasiswanya.
Pras tidak berbicara. Dia hanya terdiam menatap Clarisya. Dia juga tidak mengomel saat Clarisya merapikan laptopnya dan pergi begitu saja.