Rabu, 18 Desember 2024

Keinginan Terlarang (4)

        Waktu yang diperlukan nenek untuk menyiapkan tempat tinggal baru Clarisya ternyata sangat cepat. Dalam waktu tiga minggu saja apartemennya sudah siap dengan segala isinya. Clarisya bahkan hanya tinggal masuk. Nenek telah meminta orang-orangnya untuk memindahkan semua barang dari kamar Clarisya ke kamarnya yang baru saat Clarisya pergi mengantar bapak dan ibu ke desa.

        Clarisya benar-benar takjub. Nenek selalu memberikan semua keinginannya bahkan terkadang melebihi yang dia harapkan. Kuncinya hanya tinggal meminta dan nenek akan segera menyiapkannya.

       Clarisya menyimpan tasnya di samping tempat tidur lalu merebahkan diri. Pikirannya berkelana ke masa lalu. Masa paling bahagia dalam hidupnya.

       "Claris, pacarmu ganteng ya?" Ine, teman sekelasnya, menjajari langkah Clarisya memasuki gerbang sekolah.

       "Ih dia itu kakaknya, tahu." Nora, teman sebangku Clarisya, mengoreksi.

        "Wah, boleh dong titip salam." Mata Ine berbinar-binar.

       "Enggak boleh!" Clarisya melotot lalu berlari ke kelasnya.

        Clarisya benci kalau ada perempuan yang tanya-tanya tentang abangnya. Dia sering ngambeuk kalau ada perempuan yang mencoba mendekati abangnya. Abangnya adalah miliknya. Titik tidak ada koma.

       Orang mungkin akan berpikir Clarisya aneh. Dan Clarisya pun dulu memang merasa dirinya aneh. Namun sejak tahu kalau abangnya itu adalah anak dari sahabat mamanya, Clarisya merasa sangat lega. Hal itu pula yang membuat perasaan posesifnya. makin menjadi.

       "Besok enggak usah anter aku lagi!" Clarisya masuk ke kamar abangnya yang sedang bermain gitar.

       "Lho, kenapa. Sekolah kita kan tetanggaan. Kasihan papa kalau harus mengantar kamu padahal kamu bisa pergi denganku."

      "Nanti banyak temanku yang nitip salam." Clarisya merengut dan abangnya tertawa.

       "Kau cemburu ya!" Abangnya mengacak poni Clarisya.

        "Enak saja." Clarisya berusaha menyingkirkan tangan abangnya dari poninya yang acak-acakan.

       "Tenang saja. Selamanya aku adalah abdimu yang setia, wahai tuan putri." Abangnya menyimpan gitar lalu mengajak Clarisya turun ke ruang makan.

       Di ruang makan Bunda sudah menanti mereka untuk makan malam. Hari ini mereka makan bertiga karena Papa ada jadwal operasi.

       "Claris jangan nempel-nempel terus nanti abangmu enggak bakalan punya pacar!" Bunda pura-pura melotot saat melihat Claris digendong abangnya.

       "Biarin!" Clarisya malah makin bergelayut manja di punggung Abangnya. "Bilang aja kalau Bunda iri karena papa enggak pernah lagi gendong bunda!" Clarisya mencibir.

       "Ya deh. Puas-puasin aja manjanya. Sebentar lagi kan abangmu berangkat kuliah." Bunda tersenyum menggoda Clarisya.

       Setiap teringat hal itu Clarisya kesal. Dia tahu tak mungkin melarang abangnya untuk meraih cita-cita. Namun perasaan takut kehilangan selalu menghantuinya.

        Selesai makan Clarisya dan abangnya bermain ludo sambil mengobrol.

       "Memangnya kalau mau jadi arsitek harus kuliah di Jogja ya? Di Bandung juga kan ada?"

       "Abang kan dapat beasiswanya di sana."

       "Memangnya papa enggak sanggup buat bayar kuliah."

       "Abang ingin mengurangi beban papa dan Bunda. Sebentar lagi kamu kan masuk SMA."

      "Aku SMA nya di Jogja aja, bagaimana?" Clarisya mengefip-ngedipkan mata.

      "Ih jangan nanti papa dan bunda sedih kalau harus berjauhan dengan anak kesayangannya." Abangnya tersenyum.

        Malam itu adalah terakhir kalinya mereka bermain ludo. Abangnya mulai sibuk dengan persiapan kuliah dan tidak punya banyak waktu untuk Clarisya. Sampai hari keberangkatannya ke Jogja mereka tidak banyak bicara.

       "Apapun yang terjadi Fariz tak akan meninggalkan Claris." Abangnya memeluk Clarisya lalu naik ke kereta.

        Clarisya hanya bisa menatap kepergiannya dengan mata berkaca-kaca didampingi Papa dan Bunda yang juga berkaca-kaca. Clarisya merasa sangat sedih. Seolah-olah dia tak akan melihat abangnya lagi.

       Dan ketakutannya menjadi nyata.

Fariz tidak pernah kembali. Bahkan saat papa dan bunda meninggal dalam kecelakaan pun dia tidak muncul. Clarisya benar-benar kecewa dan sedih.

       Clarisya benar-benar sebatang kara. Kedua orang tuanya adalah anak tunggal dan mereka sudah yatim piatu. Dia tidak tahu harus bersandar pada siapa. Dia hanya terpekur memandangi jasad kedua orang tuanya. Dia membeku.

       "Jangan bersedih. Mulai sekarang aku yang akan mengurusmu!" Seorang perempuan yang telah berumur menghampirinya lalu menuntunnya untuk duduk. "Namaku Caroline. Orang-orang memanggilku Nenek Carol. Fariz mengirimku untuk menjagamu."

       Mendengar nama Fariz disebut mata Clarisya kembali berbinar. "Aku ingin bertemu dengannya! Di mana dia?"

        "Kau boleh meminta apapun kecuali bertemu dengan dia." Nenek Carol bicara dengan tegas.

        "Mengapa? Mengapa harus seperti itu?"

        "Ini perjanjian yang kami buat. Aku akan memenuhi semua permintaanmu kalau dia berjanji tidak akan menemuimu."

        "Mengapa? Apakah dia marah padaku?"

        "Inilah yang terbaik untuk kalian berdua. Semakin lama kalian bersama akan semakin sulit bagi kalian untuk saling melupakan."

        "Mengapa kami harus saling melupakan?"

        "Karena kalian terlarang untuk bersama!"

        "Mengapa? Jelaskan!"

        "Suatu hari kau akan tahu alasannya! Sekarang mari kita pulang. Kau harus bersiap menghadiri pemakaman orang tua mu."

        Nenek Carol membawa Clarisya pulang. Dia mengenalkan Claris pada pasangan suami istri yang kemudian menjadi orang tua angkatnya. Mereka memperlakukan Clarisya dengan sangat baik. Mereka tetap sabar meski awal-awal pertemuan mereka Clarisya selalu bersikap tidak bersahabat.

       "Heum... Aku harus menemui nenek untuk berterima kasih tentang apartemen ini!" Clarisya menarik napas dalam-dalam dan berusaha mengenyahkan semua kenangan masa lalu yang menyedihkan.

        Baru saja dia hendak pergi keluar, Bi Imah datang untuk beres-beres. Dia mengatakan kalau nenek sedang tidak ada di rumah. Dan Nenek berpesan akan menghubungi Clarisya kalau urusannya sudah selesai.

        Karena sudah terlanjur berdandan Clarisya pun tetap pergi ke luar. Dia pergi ke kafe favoritnya. Dia memeriksa pos el yang masuk dan membalasnya satu persatu. Dia begitu larut dengan kegiatannya sehingga tidak sadar kalau dari tadi ada yang sedang memperhatikannya.

        "Selamat sore Claris!"

        "Anda lagi! Betapa tidak beruntungnya saya." Claris segera merapikan laptopnya.

        "Saya hanya ikut duduk di sini untuk menikmati kopi. Silahkan kalau Claris mau melanjutkan pekerjaan!"

        "Saya tidak biasa kerja jika ada penonton." Clarisya mendengus kesal.

        "Berarti Claris salah pilih tempat untuk bekerja."

        "Apakah Anda sudah terbiasa mengomentari orang yang tidak di kenal?" Clarisya menatap Pria yang mengaku bernama Pras itu dengan tatapan setajam silet.

        "Kamu terlalu sibuk dengan diri sendiri. Sehingga lupa kalau ini bukan pertemuan kita yang pertama." Pras tertawa kemudian kembali bicara, "Saya sering melihat Anda berlari di Sabuga. Saya juga sering melihat Anda duduk sendirian di Kafe ini."

       "Anda penguntit ya?" Clarisya memicingkan mata. Dia menatap Pras lekat-lekat.

        "Saya hanya seorang laki-laki yang kebetulan sering berpapasan dengan Anda tetapi tidak Anda sadari."

        "Kata-kata Anda persis seperti mahasiswa-mahasiswa yang sering merayu saya."

        "Saya tahu itu. Dan saya iri pada mereka bisa lebih sering melihat Anda."

       "Dan seperti mereka, gombalan Anda pun tidak mempan untuk saya."

        "Saya tidak sedang menggombal. Saya hanya mencoba mengajak Anda mengobrol."

        Clarisya menghembuskan napas dengan kesal lalu kembali fokus dengan tugas-tugas yang dikirim mahasiswanya.

        Pras tidak berbicara. Dia hanya terdiam menatap Clarisya. Dia juga tidak mengomel saat Clarisya merapikan laptopnya dan pergi begitu saja.


Keinginan Terlarang (3)

 Clarisya berlari sekuat tenaga. Dia tidak ingin kalah. Dia tidak peduli kalau tubuhnya merasa letih. Akal sehatnya tertutupi rasa marah.

        Clarisya paling malas kalau ada pria yang mengajaknya berkenalan. Dia tidak ingin berurusan dengan pria. Dia tidak ingin terluka.

        "Hai...!" Pria bernama Pras melambaikan tangan dengan gembira saat Clarisya mendekati garis finish. "Jadi siapa namamu?" Pria itu memberikan air mineral yang masih tersegel.

        "Clarisya!" Sembur Clarisya dengan marah.

        "Boleh bertukar nomor ponsel?" Pria itu menjajari langkahnya sambil menyerahkan ponsel pintarnya.

        "Kita belum saling mengenal, untuk apa bertukar nomor." Clarisya memelototi Pras.

        "Justru karena itu. Aku ingin kita saling mengenal makanya bertukar nomor."

        " Saya tak pernah memberikan nomor secara sembarangan." Clarisya berjalan cepat menuju parkiran.

       "Baiklah!" Pras mengeluarkan kartu nama dari dompetnya. "Ini kartu namaku. Kau boleh mengecek kantor tempatku bekerja." Pras tersenyum manis.

        Clarisya mengambil kartu nama, memasukkannya ke saku lalu pergi menuju motornya.

        Sesampainya di rumah. Clarisya langsung mengurung diri. Dia mengambil kotak musik berbentuk bola kristal dan mulai memainkannya. Musik dari lagu "You Are My Everything" pun mulai mengalun sendu.

        "Apapun yang terjadi Fariz akan selalu bersama Claris." Kata-kata itu kembali terngiang di telinga Clarisya.

        " Kau bohong! Pembohong!" Clarisya berteriak sambil memukul-mukul boneka Lumba-lumba besar yang jadi boneka favoritnya. Setelah puas berteriak dan memukul Clarisya pun pergi mandi.

        Clarisya tahu setiap dia mengurung diri, ibu akan berdiri di depan pintunya dan menangis memanggil-manggil Clarisya. Sudah lama Clarisya tidak seperti ini. Namun, kehadiran pria tadi membangkitkan kenangan yang lama dipendamnya.

        "Hari ini kita makan apa?" Clarisya langsung menemui ibu di dapur begitu selesai mandi.

        "Ayam bakar. "Sahut ibu sambil tersenyum. Matanya terlihat sembab dan dia berusaha terlihat biasa saja.

        "Ada yang bisa kubantu?" Clarisya menawarkan diri.

        "Tolong keluarkan pie susu dari oven." Ibu bicara sambil tersenyum.

        "Ada pie susu juga. Wow benar-benar hebat." Clarisya langsung menuju oven. Dia mengeluarkan pie susu dan menyimpannya di meja lalu menungguinya sampai dingin.

         Dia selalu suka pie susu. Dia tak pernah bisa menahan diri kalau melihat pie susu. Kekesalannya akan sedikit berkurang kalau dia makan pie susu.


Keinginan Terlarang (2)

 Clarisya mungkin tak bisa sepenuhnya mandiri. Namun untuk saat ini semuanya lebih dari cukup.

        Setelah pulang dari nenek Clarisya kembali bicara dengan bapak dan ibu. Mereka terlihat bahagia sekaligus sedih.

        "Kau telah mewujudkan mimpi kami untuk jadi orang tua. Kau adalah putri terbaik yang Tuhan kirimkan pada kami." Bapak tersenyum pada Clarisya.

       "Kalian juga orang tua terbaik yang bisa dimiliki seorang anak."

        "Bapak sudah menghubungi saudara di desa. Kami akan pergi dalam waktu dua sampai tiga minggu." Ibu berusaha tersenyum meski hatinya sedih.

        "Kita masih punya waktu untuk bersama-sama. Dan aku akan mengunjungi kalian di sela-sela waktu senggangku."

        " Kami akan sangat bahagia menantinya. Dan Claris, kami akan sangat senang mendengar bila ada ... " Bapak berusaha mengosongkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa sesak karena ibu memelototinya.

        " Claris, impian orang tua adalah menikahkan putrinya dengan orang yang baik saat mereka masih hidup." Ibu memperhalus kata-kata bapak.

        Clarisya tertawa karena melihat bapak merengut. Clarisya selalu berharap bisa seperti ibu dan bapak yang mencintai satu sama lain. Harapan Clarisya itu sepertinya tidak akan terwujud dalam waktu dekat.

        Clarisya selalu menjauh bila ada pria yang tertarik padanya. Dia akan langsung membentengi hatinya dengan banyak pemikiran. Dia hanya ingin jatuh cinta pada satu pria. Dan itu untuk selamanya.

        Akankah cintanya menjadi nyata? Akankah ia bisa memiliki pernikahan bahagia seperti ibu dan bapak? Semua itu selalu berputar di kepalanya.

       Sudah sepuluh tahun berlalu tapi aku masih merindukannya. Aku masih berharap dan mungkin akan terus berharap. Dia masih hidup dan aku yakin dia akan kembali padaku.

        Clarisya bangkit dari duduknya. Dia minta izin untuk pergi ke luar. Dia mengganti pakaiannya dengan kostum olahraga lalu pergi ke Sabuga.

        Sesampainya di Sasana Budaya Ganesa (Sabuga), dia langsung siap-siap untuk berlari mengitari lintasan.

        " Hai, ketemu lagi!" Seorang pria bertubuh atletis berusaha menjajari langkahnya.

       Clarisya tersenyum samar lalu mulai peregangan.

        " Hai, aku Pras. Boleh tahu siapa namamu?" Pria itu memandangi Clarisya. Clarisya hanya menggedikkan bahu. "Baiklah, bagaimana kalau kita bertanding?" Lanjut Pria itu, tidak pantang menyerah.

        "Boleh. Kalau saya menang Anda tidak akan mengganggu saya lagi." Clarisya sangat percaya diri.

        "Dan kalau saya menang. Kamu akan memberitahu namamu." Pria itu tersenyum lebar.


Keinginan Terlarang (1)

       Clarisya boleh minta apapun pada ibu dan ayah angkatnya, kecuali satu. Satu hal yang paling diinginkannya tapi tak akan pernah ia dapatkan.
       Sejak orang tuanya meninggal Clarisya tinggal bersama ibu dan bapak angkat. Keduanya adalah orang yang dipilih oleh Nenek. Bukan Nenek Clarisya tentunya. Namun, dia meminta Clarisya menganggapnya begitu.
       Secara material Clarisya hidup serba berkecukupan. Dia tidak perlu memikirkan apapun. Dia bahkan boleh meminta apa saja kecuali satu hal. Itulah perjanjian yang dibuatnya dengan nenek.
      Clarisya tak pernah menunjukkan rasa sedihnya di hadapan ibu dan bapak angkatnya. Dia selalu terlihat tegar dan ceria.
        "Aku sudah dewasa sekarang. Sudah saatnya aku meninggalkan kalian." Clarisya memandang ibu dan bapak yang sudah merawatnya selama hampir sepuluh tahun.
       "Mengapa Claris harus pergi? Apakah kami berbuat sesuatu yang salah?" Ibu menatap Clarisya dengan sedih.
        Clarisya menggenggam tangan Ibu lalu bicara padanya, "Tidak tentu saja tidak. Kalian sudah terlalu baik padaku. Aku ingin hidup mandiri, Bu, Pak!" Clarisya menatap bapak dan ibu bergantian.
        "Nenek Carol pasti tidak akan mengizinkan." Bapak menatap Clarisya dengan sendu.
       "Claris akan bicara baik-baik pada nenek." Clarisya berusaha menenangkan bapak. "Sudah saatnya ibu dan bapak menikmati masa tua kalian." Clarisya bicara sambil meremas tangan ibu. "Bukankah kalian sangat ingin tinggal di desa dan menikmati masa tua?" Clarisya mengingatkan mereka pada impian yang pernah mereka ceritakan. "Claris tidak akan melupakan kalian. Claris ingin kalian mewujudkan mimpi yang sempat tertunda. Claris akan tetap mengunjungi kalian."
       "Iya. Kami tahu itu." Bapak tersenyum lalu memegang bahu ibu. "Mungkin memang sudah saatnya kita membiarkan putri kita hidup mandiri. Kita tidak kehilangan dia. Kita hanya memberinya ruang yang lebih luas untuk berkembang." Bapak mengelus pundak ibu dengan penuh sayang.
       Mata Clarisya berkaca-kaca melihat bibir ibu bergetar menahan tangis. Namun, dia harus kuat. Dia tak boleh terlalu lama menahan mereka untuk mewujudkan mimpi. Sudah terlalu lama mereka berkorban untuknya.
       "Hari ini Claris akan bicara pada nenek. Claris akan berusaha meyakinkannya."
        Clarisya memeluk ibu dan bapak bergantian kemudian bangkit untuk pergi ke kamarnya dan berganti pakaian. Dia harus membuat nenek terkesan. Dia pun memutuskan untuk memakai gaun berwarna biru keabuan yang dibelikan nenek untuknya.
        Sebelum bicara dengan ibu dan bapak dia sudah menyiapkan pisang bolen untuk nenek. Nenek sangat suka makanan itu dan Clarisya sengaja membuatnya untuk bernegoisasi.
       Pak Ali, kepala pelayan di rumah nenek, menyambutnya dengan ramah saat dia datang. Pak Ali bilang nenek sedang minum teh di teras belakang. Clarisya pun langsung pergi menemui nenek setelah meninta Pak Ali memindahkan pisang bolen ke piring.
        "Selamat siang!" Clarisya mencium punggung tangan nenek, menyimpan pisang bolen di meja dan duduk di kursi di hadapan nenek.
        "Kau pasti menginginkan sesuatu!" Nenek menyipitkan mata dan memandangi pisang bolen di hadapannya.
        "Nenek memang mengerti aku." Clarisya berdecak kagum.
        "Bagaimana pekerjaanmu?" Nenek memandangi Clarisya dengan penuh selidik.
       "Lancar. Aku senang bisa jadi dosen." Clarisya tersenyum.
       "Baguslah. Kukira kau akan berakhir jadi tukang jahit atau tukang kue." Nenek tertawa.
       "Nenek sendiri yang bilang perempuan itu harus punya hobi yang berguna. "
       "Kau benar." Nenek meminum tehnya lalu mulai memakan pisang bolen mini yang dibawa Clarisya. "Kali ini apa yang ingin kau negosiasikan?" Nenek menatap tajam. Tatapannya membuat bulu kuduk Clarisya meremang.
        "Claris mau tinggal sendiri. Ibu dan bapak akan pulang kampung."
        "Memang sudah saatnya kau mandiri." Nenek kembali meminum tehnya. "Lalu kau mau tinggal di mana?"
        "Di dekat kampus. Mungkin juga di perumahan dosen."
        "Jangan! Aku setujui keinginanmu dengan syarat.... "
        "Apa syaratnya?" Clarisya tahu nenek tak akan setuju begitu saja.
      "Aku yang pilih tempat tinggalmu. Dan Imah akan mengunjungimu tiga kali seminggu untuk membersihkan rumah."

Finally 40

 Happy Birthday.... Saenghil Cukhae.... Barakallah Fii Umrik.... Yeay... Akhirnya sampai di usia ini. Dulu pernah berpikiran usia 40 itu sud...