Clarisya mungkin tak bisa sepenuhnya mandiri. Namun untuk saat ini semuanya lebih dari cukup.
Setelah pulang dari nenek Clarisya kembali bicara dengan bapak dan ibu. Mereka terlihat bahagia sekaligus sedih.
"Kau telah mewujudkan mimpi kami untuk jadi orang tua. Kau adalah putri terbaik yang Tuhan kirimkan pada kami." Bapak tersenyum pada Clarisya.
"Kalian juga orang tua terbaik yang bisa dimiliki seorang anak."
"Bapak sudah menghubungi saudara di desa. Kami akan pergi dalam waktu dua sampai tiga minggu." Ibu berusaha tersenyum meski hatinya sedih.
"Kita masih punya waktu untuk bersama-sama. Dan aku akan mengunjungi kalian di sela-sela waktu senggangku."
" Kami akan sangat bahagia menantinya. Dan Claris, kami akan sangat senang mendengar bila ada ... " Bapak berusaha mengosongkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa sesak karena ibu memelototinya.
" Claris, impian orang tua adalah menikahkan putrinya dengan orang yang baik saat mereka masih hidup." Ibu memperhalus kata-kata bapak.
Clarisya tertawa karena melihat bapak merengut. Clarisya selalu berharap bisa seperti ibu dan bapak yang mencintai satu sama lain. Harapan Clarisya itu sepertinya tidak akan terwujud dalam waktu dekat.
Clarisya selalu menjauh bila ada pria yang tertarik padanya. Dia akan langsung membentengi hatinya dengan banyak pemikiran. Dia hanya ingin jatuh cinta pada satu pria. Dan itu untuk selamanya.
Akankah cintanya menjadi nyata? Akankah ia bisa memiliki pernikahan bahagia seperti ibu dan bapak? Semua itu selalu berputar di kepalanya.
Sudah sepuluh tahun berlalu tapi aku masih merindukannya. Aku masih berharap dan mungkin akan terus berharap. Dia masih hidup dan aku yakin dia akan kembali padaku.
Clarisya bangkit dari duduknya. Dia minta izin untuk pergi ke luar. Dia mengganti pakaiannya dengan kostum olahraga lalu pergi ke Sabuga.
Sesampainya di Sasana Budaya Ganesa (Sabuga), dia langsung siap-siap untuk berlari mengitari lintasan.
" Hai, ketemu lagi!" Seorang pria bertubuh atletis berusaha menjajari langkahnya.
Clarisya tersenyum samar lalu mulai peregangan.
" Hai, aku Pras. Boleh tahu siapa namamu?" Pria itu memandangi Clarisya. Clarisya hanya menggedikkan bahu. "Baiklah, bagaimana kalau kita bertanding?" Lanjut Pria itu, tidak pantang menyerah.
"Boleh. Kalau saya menang Anda tidak akan mengganggu saya lagi." Clarisya sangat percaya diri.
"Dan kalau saya menang. Kamu akan memberitahu namamu." Pria itu tersenyum lebar.