Clarisya boleh minta apapun pada ibu dan ayah angkatnya, kecuali satu. Satu hal yang paling diinginkannya tapi tak akan pernah ia dapatkan.
Sejak orang tuanya meninggal Clarisya tinggal bersama ibu dan bapak angkat. Keduanya adalah orang yang dipilih oleh Nenek. Bukan Nenek Clarisya tentunya. Namun, dia meminta Clarisya menganggapnya begitu.
Secara material Clarisya hidup serba berkecukupan. Dia tidak perlu memikirkan apapun. Dia bahkan boleh meminta apa saja kecuali satu hal. Itulah perjanjian yang dibuatnya dengan nenek.
Clarisya tak pernah menunjukkan rasa sedihnya di hadapan ibu dan bapak angkatnya. Dia selalu terlihat tegar dan ceria.
"Aku sudah dewasa sekarang. Sudah saatnya aku meninggalkan kalian." Clarisya memandang ibu dan bapak yang sudah merawatnya selama hampir sepuluh tahun.
"Mengapa Claris harus pergi? Apakah kami berbuat sesuatu yang salah?" Ibu menatap Clarisya dengan sedih.
Clarisya menggenggam tangan Ibu lalu bicara padanya, "Tidak tentu saja tidak. Kalian sudah terlalu baik padaku. Aku ingin hidup mandiri, Bu, Pak!" Clarisya menatap bapak dan ibu bergantian.
"Nenek Carol pasti tidak akan mengizinkan." Bapak menatap Clarisya dengan sendu.
"Claris akan bicara baik-baik pada nenek." Clarisya berusaha menenangkan bapak. "Sudah saatnya ibu dan bapak menikmati masa tua kalian." Clarisya bicara sambil meremas tangan ibu. "Bukankah kalian sangat ingin tinggal di desa dan menikmati masa tua?" Clarisya mengingatkan mereka pada impian yang pernah mereka ceritakan. "Claris tidak akan melupakan kalian. Claris ingin kalian mewujudkan mimpi yang sempat tertunda. Claris akan tetap mengunjungi kalian."
"Iya. Kami tahu itu." Bapak tersenyum lalu memegang bahu ibu. "Mungkin memang sudah saatnya kita membiarkan putri kita hidup mandiri. Kita tidak kehilangan dia. Kita hanya memberinya ruang yang lebih luas untuk berkembang." Bapak mengelus pundak ibu dengan penuh sayang.
Mata Clarisya berkaca-kaca melihat bibir ibu bergetar menahan tangis. Namun, dia harus kuat. Dia tak boleh terlalu lama menahan mereka untuk mewujudkan mimpi. Sudah terlalu lama mereka berkorban untuknya.
"Hari ini Claris akan bicara pada nenek. Claris akan berusaha meyakinkannya."
Clarisya memeluk ibu dan bapak bergantian kemudian bangkit untuk pergi ke kamarnya dan berganti pakaian. Dia harus membuat nenek terkesan. Dia pun memutuskan untuk memakai gaun berwarna biru keabuan yang dibelikan nenek untuknya.
Sebelum bicara dengan ibu dan bapak dia sudah menyiapkan pisang bolen untuk nenek. Nenek sangat suka makanan itu dan Clarisya sengaja membuatnya untuk bernegoisasi.
Pak Ali, kepala pelayan di rumah nenek, menyambutnya dengan ramah saat dia datang. Pak Ali bilang nenek sedang minum teh di teras belakang. Clarisya pun langsung pergi menemui nenek setelah meninta Pak Ali memindahkan pisang bolen ke piring.
"Selamat siang!" Clarisya mencium punggung tangan nenek, menyimpan pisang bolen di meja dan duduk di kursi di hadapan nenek.
"Kau pasti menginginkan sesuatu!" Nenek menyipitkan mata dan memandangi pisang bolen di hadapannya.
"Nenek memang mengerti aku." Clarisya berdecak kagum.
"Bagaimana pekerjaanmu?" Nenek memandangi Clarisya dengan penuh selidik.
"Lancar. Aku senang bisa jadi dosen." Clarisya tersenyum.
"Baguslah. Kukira kau akan berakhir jadi tukang jahit atau tukang kue." Nenek tertawa.
"Nenek sendiri yang bilang perempuan itu harus punya hobi yang berguna. "
"Kau benar." Nenek meminum tehnya lalu mulai memakan pisang bolen mini yang dibawa Clarisya. "Kali ini apa yang ingin kau negosiasikan?" Nenek menatap tajam. Tatapannya membuat bulu kuduk Clarisya meremang.
"Claris mau tinggal sendiri. Ibu dan bapak akan pulang kampung."
"Memang sudah saatnya kau mandiri." Nenek kembali meminum tehnya. "Lalu kau mau tinggal di mana?"
"Di dekat kampus. Mungkin juga di perumahan dosen."
"Jangan! Aku setujui keinginanmu dengan syarat.... "
"Apa syaratnya?" Clarisya tahu nenek tak akan setuju begitu saja.
"Aku yang pilih tempat tinggalmu. Dan Imah akan mengunjungimu tiga kali seminggu untuk membersihkan rumah."