Lambatnya waktu yang berputar di sisi Adelia membuatnya merenungkan kembali masa lalu. Masa-masa yang tidak ingin dikenang lagi. Masa di mana cinta yang penuh dengan airmata terus menerus melingkupinya. Masa itu adalah masa saat cinta bersemi dan berakhir dengan derai-derai air mata.
Usia 32 tahun memang buka usia yang muda bagi seorang perempuan. Teman-teman Adel bahkan sudah memiliki beberapa anak. Adik kecilnya pun sudah menikah dan memiliki dua anak. Namun Adel tetap asyik sendiri. Keluarganya sudah mencoba untuk memperkenalkan dia pada pria-pria kenalan mereka. Namun Adel bergeming. Tak satu pun dari mereka yang membuat hatinya tersentuh.
“Akhirnya kalian datang.” Adel bangkit dari kursinya lalu menyambut kedatangan Rosa dan papanya.
“Maaf del, tadi Rosa ingin beli boneka dulu.” Satria, papanya Rosa yang juga sepupunya Adel, meminta maaf karena datang terlambat.
“Nda, lihat boneka balu Oca.” Gadis tiga tahun itu memperlihatkan boneka beruang yang dari tadi dipeluknya lalu naik ke pangkuan Adel.
“Bagus ya boneka nya!” Adel mengelus puncak kepala bocah berambut ikal itu penuh kasih sayang. “Sekarang abang akan pergi untuk berapa lama?” Adel menatap Satria yang sedang memandangi putrinya.
“Mungkin dua minggu. Aku harus melakukan kunjungan ke beberapa kantor cabang. Maaf ya del lagi-lagi aku membuatmu repot dengan menitipkan Rosa.” Satria tertunduk malu.
“Tidak apa-apa. Aku justru senang bisa bermain dengan Rosa. Kelas 12 sudah selesai ujian aku jadi tidak banyak pekerjaan.”
“Tapi kau kan harus tetap pergi ke sekolah!”
“Aku tak perlu masuk kelas. Lagipula Rosa terlihat senang kalau aku mengajaknya ke sekolah.”
“Seandainya kita menikah mungkin Rosa akan punya ibu yang menemaninya setiap waktu.” Satria tersenyum. Dia tidak begitu serius dengan ucapannya. Keduanya memang saling menyayangi tapi rasa sayang mereka tidak cukup kuat untuk dilanjutkan menjadi hubungan suami dan istri.
“Jangan mulai membahas topik yang membosankan. Sebelum abang datang aku baru saja menolak dokter yang dikenalkan Azena padaku. “
“Kau sombong sekali. “ Satria mengejeknya.
“Dokter itu mengajakku menikah dan pindah ke Jepang.”
“Apa yang salah dengan itu?” Satria mencibir lalu menyeruput kopi yang sudah dipesankan Adel.
“Murid-muridku dan Rosa bagaimana?” Adel mendelik dan Satria tertawa.
“Eh minggu lalu aku ketemu sama Evan. Sekarang dia jadi pengusaha yang sukses.”
“Evan siapa?” Adel mengernyit.
“Evan Hermawan, mantanmu.”
“Oh…. “ Adel nyengir dan Satria membelalakan matanya. “Aku tidak pernah melihatnya lagi sejak kami berpisah.”
“Itu sudah 8 tahun berlalu.”
Adel tidak menanggapi Satria. Dia disibukkan oleh Rosa yang ingin ke toilet. Setelah dari toilet Adel mengajak Satria pulang.
“Papa pergi dulu ya!” Satria berpamitan pada Rosa begitu mereka sampai di depan rumah Adel.
Sepeninggal Satria, Adel mengajak Rosa ke rumah lalu memandikannya. Setelah itu mereka bermain boneka sambil nonton film kartun. Adel sangat bahagia bisa bermain bersamanya. Mengasuh Rosa mengobati rasa rindunya pada anaknya yang meninggal.
“Kalau bian ada pasti sekarang dia sudah duduk di kelas 3 SD sama dengan Zara anaknya Azena.” Adel bicara sambil menidurkan Rosa. Tanpa terasa airmatanya menetes dan pikirannya kembali ke masa itu.
Saat itu Adel duduk di kelas 2 SMU dan Evan baru masuk kuliah. Mereka bertemu dalam acara pelantikan PMR. Keduanya berkenalan lalu mulai pacaran. Hubungan keduanya dekat dan sulit dipisahkan. Dua tahun kemudian mereka menikah.
Awal pernikahan mereka sangat bahagia meskipun keduanya masih sama-sama kuliah dan bekerja paruh waktu untuk membiayai kehidupan mereka. Kedua orang tua mereka juga memberikan bantuan finansial tapi mereka tetap bekerja.
Semuanya berubah saat Adel dinyatakan hamil. Saat itu Evan sudah lulus kuliah dan mulai bekerja di pabrik. Adel sendiri tengah sibuk menyiapkan ujian sidang. Keduanya jadi jarang bertemu karena kesibukan masing-masing.
Evan selalu berangkat sebelum Adel bangun dan kembali saat Adel terlelap. Evan memang sengaja bekerja lembur untuk menyiapkan biaya bagi persalinan bayi mereka. Sayangnya bayi mereka meninggal saat usia kandungan Adel 7 bulan. Sebelumnya Adel terjatuh di kamar mandi dan mengalami pendarahan.
Keduanya sangat terpukul dan berusaha untuk saling menguatkan. Satu tahun berikutnya Adel kembali hamil tetapi janinnya hanya bertahan 3 bulan. Dan begitu pun tahun berikutnya. Mereka mulai berselisih pendapat dan sering bertengkar. Adel ingin sekali memiliki bayi tetapi Evan takut Adel terluka saat mereka mencoba memiliki bayi.
Tepat di ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Adel mengajukan gugatan cerai. Sejak itu mereka berpisah dan tak pernah bertemu lagi. Adel mendapatkan kesempatan untuk mengabdi sebagai guru di sebuah SMA di tempat kelahirannya. Sementara itu Evan pergi ditugaskan oleh tempatnya bekerja untuk belajar di Korea.
“Lia….” Sosok yang selalu hadir di mimpinya tiba-tiba berdiri di hadapannya.
“Evaaann….” Adel terperanjat kaget.
“Apa kabar?” Evan mengulurkan tangan. Adel tidak langsung menanggapinya karena Rosa meminta perhatiannya.
“Nda, baksonya lagi!” Rosa menarik-narik tangan Adel agar membantunya membelah bakso di mangkuknya.
“Boleh aku duduk?” Tanya Evan.
“Oh iya, silahkan. Kamu mau makan bakso juga?” Adel tersenyum sambil meringis. Karena ia merasa jantungnya berdebar tak karuan.
“Cantik ya! Berapa tahun usianya?” Evan memandangi Rosa yang tengah asyik makan baso.
“Tiga setengah tahun.” Sahut Adel malu-malu.
“Hai, siapa namanya?” Evan mengajak Rosa bicara.
“Oca…. “ Sahut Rosa malu-malu.
“Makannya berdua aja?”
“Iya, papa kan kelja….” Sahut Rosa kemudian kembali menikmati baso aci kesukaannya.
“Aku pernah melihat anak ini bersama Satria.” Evan menatap Adel yang bengong. “Lalu kembali bicara pada Rosa, “Nama papanya Satria?”
“Iya. Kok om tahu papa Oca.”
“Om kan temannya Papa Satria.”
“Iya gitu, Nda. Om temennya papa?” Rosa menatap Adel yang langsung mengangguk.
Saat Evan hendak bicara lagi seorang perempuan datang dan menghampirinya.
“Sayang, tiap pelanggan yang bawa anak kecil pasti disapa.” Perempuan itu merengut kesal. “Ayo dong katanya mau lihat cabang yang di Kebon Kalapa.” Perempuan itu menarik Evan berdiri.
“Lia, selamat menikmati basonya. Salam buat Satria ya!” Evan bangkit dengan sedih lalu pergi dengan perempuan itu.
Sepeninggal Evan, Adel buru-buru mengajak Rosa pulang. Sebelumnya dia minta pelayan untuk membungkuskan 2 porsi bakso untuk dinikmati di rumah. Saat membayar di kasir, Adel baru tahu kalau kedai bakso kesukaannya dan Rosa adalah salah satu cabang kedai bakso yang dimiliki keluarga Evan.
Kedai bakso Bian ini selalu dikunjungi Adel bersama Rosa. Selain karena nama kedainya yang mengingatkan Adel pada anaknya, rasa baksonya juga enak dan jenis baksonya bervariasi.
Malam harinya saat Rosa sudah tertidur. Adel membuka kotak berisi barang-barang kenangannya dengan Evan yang dia simpan di bawah tempat tidurnya. Satu persatu dia keluarkan album kenangan mereka dan juga foto-foto hasil USG Bian. Adel menangis dalam diam. Dia sengaja menahan agar tangisnya tak bersuara. Dia takut Rosa terbangun.
Beberapa hari kemudian Adel menolak saat Satria mengajaknya makan bakso aci Bian. Dia takut bertemu lagi dengan Evan. Setelah delapan tahun berlalu ternyata perasaannya pada Evan belum sepenuhnya pudar.
“Mengapa kau membiarkan Evan berpikir kalau kita menikah?” Tanya Satria ketika mereka makan siang bersama di rumah Satria.
“Sudahlah bang. Toh sekarang Evan juga sudah bahagia dengan orang lain. Sekarang coba ceritakan pertemuan abang dengan cinta pertama abang itu.” Adel mengalihkan pembicaraan.
“Sekarang dia jadi dosen. Suaminya sudah lama meninggal dan dia kini menjanda.”
“Abang ingin mengejarnya lagi?” Adel menggoda Satria.
“Entahlah. Ada Rosa yang harus abang pikirkan.”
“Apa pacar abang itu punya anak?”
“Tidak. Dia bilang selama menikah mencoba untuk memiliki anak tapi Tuhan belum memberikannya dan suaminya keburu meninggal.”
“Apa dia tahu kalau istri abang meninggal saat melahirkan Rosa?”
“Belum. Dia hanya tahu kalau abang sudah punya anak dan menduda.”
“Kalau abang masih mencintainya. Dekati dia. Berbahagialah dengannya. “
“Kau juga del. Kembali saja pada Evan.”
“Abang ….” Adel merengut.
“Kau ini selalu mendorong orang lain untuk mengejar kebahagian mereka. Kau malah menjodohkan calon-calon yang disodorkan padamu dengan teman-temanmu.” Satria menatap Adel lalu kembali bicara, “ kau juga berhak bahagia del. Sudah cukup kau menyiksa diri selama delapan tahun.”
Adelia tidak menjawab. Dia hanya tertegun memandangi Rosa yang tengah berkeliling di pekarangan rumah menaiki sepeda barunya.
(Pertama diunggah 29052020 di FB)