Selasa, 11 Juni 2024

Sinekdok Yang Menyenangkan

        Pernah dengar sinekdok pars pro toto atau totem pro parte? 

       Kedua hal tersebut adalah gaya bahasa. Sinekdok pars pro toto adalah majas yang digunakan untuk menyebutkan sebagian tetapi dimaksud adalah keseluruhan. Misalnya, Ibu membeli lima ekor ayam. Dalam kalimat tersebut yang ibu beli adalah ayam secara keseluruhan bukan hanya ekornya. Sementara itu, sinekdok totem pro parte adalah kebalikannya, menyebutkan keselurihan tapi yang dimaksudkan hanya sebagian. Contohnya, Indonesia memenangkan pertandingan bulu tangkis. Yang dimaksud dalam kalimat tersebut sebenarnya bukan seluruh warga Indonesia tetapi hanya pemain bulu tangkis.

       Dalam kebaikan sinekdok pars pro toto tentunya menyenangkan. Namun akan tidak menyenangkan rasanya jika dalam keburukan. Hanya sebagian yang melakukan kesalahan tapi yang kena getahnya semua yang terkait. Seperti halnya saat sakit gigi. Satu atau dua gigi yang bermasalah tapi yang terasa sakit hampir semuanya.

       Terkadang kita memberi label yang sama pada siswa kita. Satu atau dua orang yang mambuat kesal tapi rasanya malas untuk mengajar di kelas tersebut. Sebenarnya hal ini tidak boleh dibiarkan. Masih ada siswa lain yang ingin belajar dan menantikan kehadiran kita. Jadi semangatlah! Singkirkan semua duri-duri kecil yang mengganjal itu agar kita bisa mengamalkan tugas dengan baik.

       Kita harus berpikir. Mungkin kita pun diberi label seperti itu oleh orang lain. Bisa itu oleh teman, kolega atau pimpinan. Lalu apa yang harus kita lakukan? Tetap jadi diri sendiri. Tampilkan versi terbaik dari diri kita. Bukan demi menjilat atau mencari muka tetapi agar kita bangga pada diri sendiri.

       Hal yang paling menakutkan bukan dihakimi orang. Penghakiman orang masih dapat dikatakan biasa. Yang paling menakutkan adalah penghakiman dari diri sendiri. Saat hati nurani kita menghakimi. Hati kita tahu jika kita berbuat salah sekalipun tak seorang pun tahu tentang itu.

       Menjadi orang yang baik mungkin melelahkan jika yang kita inginkan adalah validasi dari orang lain. Sangatlah tidak mungkin untuk kita membuat semua orang ikut senang dengan apa yang kita lakukan. Hal itu bukan masalah besar. Hal yang perlu kita lakukan adalah berbuat baik. Masalah respon itu kembali pada hati mereka yang mencoba menerima atau menolaknya.

       Jika setiap hal baik yang kita kerjakan selalu menanti validasi orang, lama kelamaan energi kita terkuras dan lelah. Jadi berbuat baiklah, demi diri sendiri. Berkaryalah demi dirimu sendiri. Capailah semua cita dan mimpi yang mungkin hanya menghuni sudut-sudut hati atau membuat warna di catatan harianmu.

       

Senin, 10 Juni 2024

Teks Tanggapan Isi Buku

Teks tanggapan adalah teks yang berisi respon terhadap sebuah masalah atau karya. 
Pada pembelajaran bahasa Indonesia yang menggunakan kurikulum merdeka, Teks Tanggapan diperkenalkan di kelas 7. Adapun jenis teks tanggapan yang diperkenalkan adalah teks tanggapan terhadap isi buku.
Pada umumnya struktur teks tanggapan dimulai dengan resume tentang masalah atau hal yang akan ditanggapi (resume), dilanjutkan dengan tanggapan kelebihan dan kekurangan dari masalah yang dibahas (kritik dan pujian) dan diakhiri dengan simpulan mengenai lebih banyak kekurangan ataukah lebih banyak kelebihan (simpulan).
Untuk struktur Teks Tanggapan Isi Buku ada dua bentuk struktur yang dapat dirumuskan, di antaranya:
1. Teks Tanggapan Isi Buku Fiksi
a. Identitas Buku
Judul 
Nama penulis:
Penerbit:
Tahun Terbit:
Editor:
Tebal buku:
b. Sinopsis
c. Kekurangan dan Kelebihan
d. Simpulan
Contoh:
Teks Tanggapan Isi Buku Fiksi
a. Identitas Buku
Judul : Toto Chan, Gadis Cilik di Jendela
Nama penulis: Tetsuko Kuroyanagi
Alih Bahasa: Widya Kirana
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2010
Tebal buku: 271 halaman
b. Sinopsis

Ibu Guru menganggap Totto-chan nakal, padahal gadis cilik itu hanya punya rasa ingin tahu yang besar. Itulah sebabnya ia gemar berdiri di depan jendela selama pelajaran berlangsung. Karena para guru sudah tak tahan lagi, akhirnya Totto-chan dikeluarkan dari sekolah.

Mama pun mendaftarkan Totto-chan ke Tomoe Gakuen. Totto-chan girang sekali, di sekolah itu para murid belajar di gerbong kereta yang dijadikan kelas. la bisa belajar sambil menikmati pemandangan di luar gerbong dan membayangkan sedang melakukan perjalanan. Mengasyikkan sekali, kan?

Di Tomoe Gakuen, para murid juga boleh mengubah urutan pelajaran sesuai keinginan mereka. Ada yang memulai hari dengan belajar fisika, ada yang mendahulukan menggambar, ada yang ingin belajar bahasa dulu, pokoknya sesuka mereka. Karena sekolah itu begitu unik, Totto-chan pun merasa kerasan.

Walaupun belum menyadarinya, Totto-chan tidak hanya belajar fisika, berhitung, musik, bahasa, dan lain-lain di sana. la juga mendapatkan banyak pelajaran berharga tentang persahabatan, rasa hormat dan menghargai orang lain, serta kebebasan menjadi diri sendiri.

c. Kekurangan dan Kelebihan

Novel Toto chan Gadis Cilik di jendela ini sangat menarik untuk dibaca. Isinya bercerita tentang kehidupan sehari-hari seorang anak kecil dengan segala tingkahnya yang menggemaskan. Novel ini mengajarkan kita tentang cara menghormati dan menghargai perbedaan serta cara menjadi diri sendiri.
Sistem pendidikan yang unik dalam novel ini dapat memberikan inspirasi bagi para guru untuk membuat pembelajaran menjadi lebih menyenangkan. 
Novel ini juga menceritakan betapa beruntungnya Toto-chan memiliki ibu seperti ibunya. Ibu Toto-chan tidak mengatakan bahwa Toto-chan dikeluarkan dari sekolah. Namun dia memilih untuk berkata, "Bagaimana kalau kita pindah ke sekolah yang baru?" Dia memilih menggunakan kata-kata itu supaya anaknya tidak merasa tertekan karena baru seminggu sekolah sudah dikeluarkan.
meski demikian bagi pembaca yang tidak terbiasa dengan tata cara penyebutan nama dalam bahasa Jepang mungkin akan sedikit kesulitan. 
d. Simpulan
Secara umum Novel Toto Chan Gadis Cilik di Jendela merupakan novel yang menarik untuk dibaca. Melalui novel ini pembaca akan diajak mengenang masa kecil sekaligus belajar banyak hal tentang menjadi ibu, menjadi guru dan menjadi kepala sekolah.

2. Teks Tanggapan Isi Buku Non-Fiksi
a. Identitas Buku
Judul : 
Nama penulis: 
Penerbit: 
Tahun Terbit:
Editor:
Tebal buku:
Jumlah Bab
b. Ringkasan
c. Kekurangan dan Kelebihan
d. Simpulan

Contoh: 
a. Identitas Buku
Judul: Mahir Berbahasa Indonesia untuk SMP/MTs Kelas VII (Edisi Revisi)
Nama penulis: Tim Edukatif (Wahono, M.Pd., Drs. Makhrufi, M.Pd., Sawali, M.Pd.)
Penerbit: Erlangga
Tahun Terbit: 2013
Editor: Muhammad Baihaqi, S.S.
Tebal buku: 283 halaman
Jumlah Bab : 8 Bab

b. Ringkasan
Buku ini berisi materi pembelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas VII, mulai dari Teks Deskripsi sampai Teks Fabel. Buku ini dilengkapi dengan teori tentang struktur dan kaidah kebahasaan setiap teks yang harus dipelajari oleh kelas 7. Selain itu isi buku juga memuat latihan soal dan uji kompetensi untuk setiap bab dan juga untuk akhir semester.

c. Kekurangan dan Kelebihan
Buku ini sangat bermanfaat bagi guru Bahasa Indonesia yang mengajar di kelas 7. Tampilan buku ini cukup menarik dan bahasanya mudah untuk dipahami baik oleh guru maupun oleh siswa. Teks-teks yang ditampilkan sesuai dengan kebutuhan siswa.

d. Simpulan
Buku Marbi merupakan buku paket yang cocok digunakan untuk siswa dan juga guru bahasa Indonesia di kelas 7.






Jumat, 07 Juni 2024

Berkaca sebelum Berkomentar

      Apakah dengan bertambahnya umur kita, body shaming berhenti? 
      Jawabannya adalah tidak. "Masa sih badan gede gitu kalau dipukul sakit? Enak yang badannya gede mah enggak akan kedinginan."
      Mungkin kalimat-kalimat itu terdengar biasa saja bagi yang mengatakan. Mungkin juga lucu bagi yang mendengar. Namun tentunya tak menyenangkan untuk orang yang dimaksud.
      Jika selama ini kita mengira body shaming hanya terjadi pada kalangan anak atau remaja, itu sangatlah kurang tepat. Orang dewasa pun sering mengalaminya.
       Semua orang tentu ingin memiliki badan indah layaknya model, kulit seputih salju, bibir semerah darah, rambut sehitam malam. Namun kita manusia yang memiliki gen dan gaya hidup yang berbeda. Ada orang yang memiliki badan kurus tapi makannya banyak. Di sisi lain ada orang yang memiliki badan gemuk tapi makannya sedikit.
       Selama ini tubuh gemuk sering diidentikkan dengan orang yang suka makan coklat, junk food dan makanan tak sehat lainnya. Padahal bisa saja diakibatkan oleh kurangnya olahraga dan bahkan genetika.
        Jadi mari kita berhenti mengomentari kekurangan fisik orang lain. Lihatlah diri sendiri sebelum berkomentar. Kita tak akan pernah tahu sejauh mana dampak yang ditimbulkan dari kata-kata yang kita ucapkan terhadap kehidupan seseorang.

Rabu, 05 Juni 2024

PENYELAMAT HIDUPKU

 A wise boy kisses but doesn't love, listens but doesn’t believe, and leaves before he is left’…

              Kata-kata itu benar-benar aku terapkan dalam keseharianku. Aku selalu pergi lebih dulu. Aku tak pernah ditinggalkan atau diputuskan karena akulah yang selalu pergi dan selalu memutuskan. Aku tak peduli orang menganggapku pengecut. Aku hanya tak ingin sakit dan terluka.

              “Pacar baru lagi?” Juni berteriak di seberang sana. Saat ini dia pasti sedang mengomel panjang lebar. Sudah jadi kebiasaannya untuk bicara tanpa henti kalau sedang kesal. “Awas kau, aku akan membuat perhitungan denganmu!” ancamnya saat aku tak memedulikan petuahnya. “Aku akan benar-benar datang untuk menyiksamu, tunggu saja.” Juni tampak sangat marah hingga memutuskan pembicaraan.

              Aku menyimpan Hp lalu merebahkan diri di kasur. Juni sering mengancam akan membuat perhitungan denganku setiap aku bercerita tentang pacar baru. Namun sampai sekarang dia belum melakukannya. Juni terlalu sibuk dengan suaminya. Dia tak akan datang kemari dan meninggalkan suaminya. Juni sangat mencintai suaminya hingga rela mengikutinya ke Korea. Dia bahkan membuang semua mimpinya supaya bisa menikah dengan pria itu.

              Juni sudah terjerat dalam perangkap cinta yang menyesatkan. Aku pernah berharap bisa membebaskannya tapi sayangnya aku tak bisa. Pria itu punya mantra yang sangat kuat sehingga membuat Juni-ku bertekuk lutut. Aha, Juni-ku, di hadapannya aku tak pernah berani berkata seperi itu. Dia pasti akan mengomel panjang lebar.

               Ah Juni, aku benar-benar merindukanmu. Sudah lama tak ada yang membangunkanku dari kemalasan di hari minggu. Tak ada yang berani mengganggu dan memerintahku selain Juni. Semua orang rumah takut membuatku marah. Namun Juni tak pernah peduli dengan hal itu. Dia selalu melakukan apa yang menurutnya baik untukku. Dan anehnya, aku tidak merasa keberatan diperlakukan seperti apapun olehnya.

              “Hoammm…,” aku menguap lalu tertidur. Dalam mimpiku aku bertemu dengan Juni. Dia terlihat lebih kurus dan sedih. Aku bingung karena ia tak mau cerita padaku.

              “Banguuuun…,” seseorang berteriak di telingaku. Aku membuka mata dan termenung. Juni ada di hadapanku. “Aku sudah bilang kan tadi malam.” Aku mengucek-ngucek mata dan buru-buru duduk. “Cuci muka sana!” Dengan langkah terhunyung aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi. Saat aku kembali, Juni sedang merapikan tempat tidur. “Kau pasti kaget melihatku ada di sini?” Aku mengangguk lalu duduk di sampingnya. “Kita jalan-jalan ke Gasibu, yuk!” Juni berdiri dan berjalan menuju pintu.

              “Tunggu sebentar, aku masih bingung.” Aku mengajaknya duduk lagi. “Bagaimana bisa kau berada di kamarku sepagi ini? Bukankah seharusnya kau ada di Korea?”

              “Sebenarnya sudah satu minggu aku kembali dari Korea.”

              “Kau pulang? Lalu suamimu?” Aku menatapnya heran.

              “Kami berpisah.” Sahutnya dengan suara yang tiba-tiba jadi serak.

              “Ber-pi-sah?” Aku menatapnya bingung. Selama ini aku mengira hubungan mereka baik-baik saja. Setiap bicara di telepon Juni tidak pernah terdengar sedih atau sedang punya masalah.

              “Pernikahan kami sudah berakhir. Dia tidak sebaik yang kupikirkan. Dia lebih mencintai laptopnya daripada aku.” Juni tersenyum tipis. “Aku lapar, kita makan lomie, yuk!” Juni mengajakku berdiri. Dia belum mau bercerita banyak. Kalau sudah begitu aku tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti keinginannya.

              Aku menyambar jaket dan kunci motor lalu mengikutinya keluar dari kamar. Setelah berpamitan pada bunda kami pun pergi. Aku menuruti keinginannya untuk pergi ke Gasibu. Setibanya di sana kami langsung menuju tenda lomie langganan kami. Sejak Juni menikah dan pergi ke Korea, aku tak pernah makan di sana lagi. Aku menghindari semua tempat yang bisa mengingatkanku padanya.

              “Eh neng Juni, sudah lama tidak makan di sini?” Abang penjual lomie tampak senang bertemu dengan kami.

              “Iya bang, saya baru kembali dari liburan panjang.” Sahut Juni sambil duduk. “Lomienya dua ya, bang!” Si abang mengangguk lalu segera membuatkannya.

              “Kamu pergi cukup lama sampai orang-orang merasa kehilangan.”

              “Orang-orang, termasuk kamu?” tanya Juni seraya menatapku. Aku tak menjawab dan Juni pun tersenyum seperti biasa kalau aku tak menjawab pertanyaannya. “Kata bunda, kamu sudah jadi dosen tetap?”

              “Iya, aku jadi asisten Pak Marpaung. Sekarang aku tak bisa seenaknya datang dan pergi ke kampus.”

              “Syukurlah kau sudah jadi orang. Ryuzaky, dosen manajemen Informatika.” Juni tersenyum, bangga. “Sekarang kau tinggal memilih calon istri. Bunda terus-menerus membicarakan hal itu padaku. Dia ingin segera menimang cucu.”

              “Mbak Zahra dan Mas Zamzam kan sudah memberinya cucu.”

              “Bunda ingin cucu darimu. Mungkin bunda ingin cucu perempuan.”

              “Ah, laki-laki dan perempuan sama saja.”

            “Tentu saja berbeda. Anak perempuan itu jauh lebih menyenangkan, baju-baju mereka lebih lucu dan beragam.” Mata Juni selalu bersinar terang kalau sudah berbicara tentang anak-anak. “Seandainya saja bayiku tidak meninggal.” Juni bergumam. Bayi? Selama ini dia tidak pernah bercerita kalau mereka punya anak.

         “Kamu tak pernah bercerita tentang bayi kalian.” Juni tidak mengacuhkan aku. Dia membayar lomie lalu berjalan menuju taman lansia. Aku buru-buru mensejajari langkahnya. Apakah aku salah bicara? Kenapa Juni tiba-tiba menjadi aneh?

       “Kalau saja dia hidup, sekarang ini pasti dia sudah bisa jalan.” Juni kembali bersuara. Juni mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Ternyata itu foto hasil USG. “Aku membayangkan matanya yang coklat seperti matamu, rambutnya juga ikal seperti rambutmu.” Juni terus berbicara. Kata-katanya membuatku bingung. Bagaimana mungkin anaknya mirip denganku.

        “Bagaimana bisa dia mirip denganku?” Aku bertanya dengan penuh kehati-hatian. Aku tak ingin membuatnya marah. Juni tidak menjawab ia malah mencari kursi kosong lalu duduk.

           “Kau ingat acara kemping di Pangandaran tiga tahun yang lalu?” Juni menatapku tajam. Ah dia pasti bercanda, bagaimana mungkin aku melupakan acara itu. Malam itu aku dan Juni terbuai godaan setan hingga berbuat yang tidak seharusnya. Meski begitu aku tak pernah menyesalinya. Aku sangat menyayangi Juni dan pasti bersedia bertanggung jawab dengan apa yang telah kuperbuat padanya.

            “Aku tak pernah melupakannya karena setelah kejadian itu tiba-tiba saja kau menikah dan pergi ke Korea. Aku benar-benar tak mengerti. Sebelumnya kau sudah berjanji akan memutuskan Jody dan menerimaku selamanya di hatimu.”

       “Saat itu aku baru saja pergi sebentar dan kau sudah bersama perempuan lain.” Juni menatapku marah.

              “Perempuan lain siapa? Saat itu aku tak mengajak siapapun. Aku hanya mengajakmu.”

          “Aku melihat Zaskia di tendamu. Dia memelukmu erat dan pakaiannya berantakan.” Juni menarik nafas beberapa saat. “Coba kau bayangkan apa yang muncul di benakku saat itu?” Aku mengingat-ingat kejadian itu. Oh iya, aku sempat memergoki Zaskia sedang menatapku saat aku bangun dan dia langsung pergi. Setelah itu aku mencari Juni dan teman-temanku mengatakan dia sudah pulang. Aku berusaha menghubungi dan menemuinya tapi Juni terus-terusan menghindar. Tiba-tiba saja dia mengirim kartu undangan ke rumah. Satu tahun aku kehilangan kabar darinya dan baru tahun lalu dia kembali menghubungiku.

            “Kau salah paham, Jun. Aku dan Zaskia tidak melakukan apa-apa. Kau tahu sendiri kalau aku tidur karena begitu mengantuk.”

            “Iya, aku tahu itu. Tiga bulan yang lalu aku bertemu dengannya di sebuah seminar di Korea. Dia minta maaf karena sudah membuatku salah paham padamu. Dia putus asa karena kamu tak juga meliriknya.”

             “Kembali ke masalah bayi. Bisa kau ceritakan lagi?” aku menatapnya penuh harap.  

            “Saat itu aku begitu kesal hingga akhirnya aku menerima lamaran Mas Jody. Aku baru tahu kalau aku mengandung bayimu setelah kami tiba di Korea. Awalnya Mas Jody marah tapi akhirnya dia menyerah. Sejak awal dia tahu kalau aku hanya mencintaimu. Mas Jody bilang, dia sendiri yang mengundang dirinya ke dalam kedekatan kita. Dia terlalu mencintaiku hingga rela mendapat perlakuan apapun. Sayangnya bayiku tak bertahan lama di rahimku. Saat usia kandunganku menginjak bulan kelima, aku terjatuh di kamar mandi dan keguguran. Peristiwa itu membuatku sangat terpukul, begitu juga Mas Jody. Dia merasa sudah menyiksaku dengan memaksaku untuk tetap menjalani pernikahan dengannya. Dan beberapa bulan kemudian dia menceraikanku.”

            “Kalian sudah bercerai satu tahun lamanya dan kau baru bercerita padaku? Apa yang kau lakukan selama satu tahun terakhir? Apa kalian masih tinggal bersama?” Aku benar-benar penasaran dengan kisah Juni.

          “Tentu saja tidak. Aku mendapat kepercayaan untuk mengajar bahasa Indonesia di kedutaan. Aku tinggal di apartemen sederhana, sendirian. Sesekali kami masih bertemu dan makan siang bersama. Seandainya saja rasa rinduku padamu bisa kutahan, mungkin aku masih di Korea dan tak akan pernah kembali.”

    “Kau benar-benar jahat, Jun. Begitu banyak peristiwa yang kau lalui tapi kau tak menceritakannya padaku.” Aku menatapnya kesal tapi dalam hati aku senang. Juni bilang dia mencintaiku, hanya mencintaiku.

              “Habisnya kau terlalu sibuk berganti pacar.” Juni tertawa pelan.

          “Aku hanya bermain-main dengan mereka. Aku sengaja ingin membuatmu kesal agar kau memutuskan untuk kembali dan menjadi penyelamat hidupku.”

       “Dasar egois, tukang merayu dan perampok hati!” Juni mengejekku lalu tertawa. Aku menggendongnya lalu membawanya ke parkiran motor. “Aku mau dibawa kemana?” tanyanya sambil berusaha melepaskan diri.

            “Aku akan menghukummu karena sudah meninggalkan aku dan membuatku jadi playboy bulanan,” sahutku sambil menurunkannya. “Menikahlah denganku dan kembalilah jadi penyelamat hidupku yang tak karuan!” ujarku mantap sambil berlutut dan memasukkan gantungan kunci motor ke jari manisnya. Aku tak peduli dengan orang-orang di sekitar lapangan parkir yang memandang ke arah kami dengan tatapan heran.

           “Aku sudah menunggu kalimat ini selama enam tahun, Zak.” Juni menarikku berdiri lalu memelukku erat.

              “Terima kasih Juni karena sudah menyelamatkan hidupku.” Juni tersenyum lalu mengecup pipiku.

 

Created by: Yuli Nurhati, 14 Oktober 2010 

Senin, 03 Juni 2024

Yang Kembali

       Lambatnya waktu yang berputar di sisi Adelia membuatnya merenungkan kembali masa lalu. Masa-masa yang tidak ingin dikenang lagi. Masa di mana cinta yang penuh dengan airmata terus menerus melingkupinya. Masa itu adalah masa saat cinta bersemi dan berakhir dengan derai-derai air mata.
       Usia 32 tahun memang buka usia yang muda bagi seorang perempuan. Teman-teman Adel bahkan sudah memiliki beberapa anak. Adik kecilnya pun sudah menikah dan memiliki dua anak. Namun Adel tetap asyik sendiri. Keluarganya sudah mencoba untuk memperkenalkan dia pada pria-pria kenalan mereka. Namun Adel bergeming. Tak satu pun dari mereka yang membuat hatinya tersentuh.
       “Akhirnya kalian datang.” Adel bangkit dari kursinya lalu menyambut kedatangan Rosa dan papanya.
       “Maaf del, tadi Rosa ingin beli boneka dulu.” Satria, papanya Rosa yang juga sepupunya Adel, meminta maaf karena datang terlambat.
       “Nda, lihat boneka balu Oca.” Gadis tiga tahun itu memperlihatkan boneka beruang yang dari tadi dipeluknya lalu naik ke pangkuan Adel.
       “Bagus ya boneka nya!” Adel mengelus puncak kepala bocah berambut ikal itu penuh kasih sayang. “Sekarang abang akan pergi untuk berapa lama?” Adel menatap Satria yang sedang memandangi putrinya.
       “Mungkin dua minggu. Aku harus melakukan kunjungan ke beberapa kantor cabang. Maaf ya del lagi-lagi aku membuatmu repot dengan menitipkan Rosa.” Satria tertunduk malu.
       “Tidak apa-apa. Aku justru senang bisa bermain dengan Rosa. Kelas 12 sudah selesai ujian aku jadi tidak banyak pekerjaan.”
       “Tapi kau kan harus tetap pergi ke sekolah!”
       “Aku tak perlu masuk kelas. Lagipula Rosa terlihat senang kalau aku mengajaknya ke sekolah.”
       “Seandainya kita menikah mungkin Rosa akan punya ibu yang menemaninya setiap waktu.” Satria tersenyum. Dia tidak begitu serius dengan ucapannya. Keduanya memang saling menyayangi tapi rasa sayang mereka tidak cukup kuat untuk dilanjutkan menjadi hubungan suami dan istri.
       “Jangan mulai membahas topik yang membosankan. Sebelum abang datang aku baru saja menolak dokter yang dikenalkan Azena padaku. “
       “Kau sombong sekali. “ Satria mengejeknya.
       “Dokter itu mengajakku menikah dan pindah ke Jepang.”
       “Apa yang salah dengan itu?” Satria mencibir lalu menyeruput kopi yang sudah dipesankan Adel.
       “Murid-muridku dan Rosa bagaimana?” Adel mendelik dan Satria tertawa.
       “Eh minggu lalu aku ketemu sama Evan. Sekarang dia jadi pengusaha yang sukses.”
       “Evan siapa?” Adel mengernyit.
       “Evan Hermawan, mantanmu.”
       “Oh…. “ Adel nyengir dan Satria membelalakan matanya. “Aku tidak pernah melihatnya lagi sejak kami berpisah.”
       “Itu sudah 8 tahun berlalu.”
       Adel tidak menanggapi Satria. Dia disibukkan oleh Rosa yang ingin ke toilet. Setelah dari toilet Adel mengajak Satria pulang.
       “Papa pergi dulu ya!” Satria berpamitan pada Rosa begitu mereka sampai di depan rumah Adel.
       Sepeninggal Satria, Adel mengajak Rosa ke rumah lalu memandikannya. Setelah itu mereka bermain boneka sambil nonton film kartun. Adel sangat bahagia bisa bermain bersamanya. Mengasuh Rosa mengobati rasa rindunya pada anaknya yang meninggal.
       “Kalau bian ada pasti sekarang dia sudah duduk di kelas 3 SD sama dengan Zara anaknya Azena.” Adel bicara sambil menidurkan Rosa. Tanpa terasa airmatanya menetes dan pikirannya kembali ke masa itu.
Saat itu Adel duduk di kelas 2 SMU dan Evan baru masuk kuliah. Mereka bertemu dalam acara pelantikan PMR. Keduanya berkenalan lalu mulai pacaran. Hubungan keduanya dekat dan sulit dipisahkan. Dua tahun kemudian mereka menikah.
       Awal pernikahan mereka sangat bahagia meskipun keduanya masih sama-sama kuliah dan bekerja paruh waktu untuk membiayai kehidupan mereka. Kedua orang tua mereka juga memberikan bantuan finansial tapi mereka tetap bekerja.
        Semuanya berubah saat Adel dinyatakan hamil. Saat itu Evan sudah lulus kuliah dan mulai bekerja di pabrik. Adel sendiri tengah sibuk menyiapkan ujian sidang. Keduanya jadi jarang bertemu karena kesibukan masing-masing.
       Evan selalu berangkat sebelum Adel bangun dan kembali saat Adel terlelap. Evan memang sengaja bekerja lembur untuk menyiapkan biaya bagi persalinan bayi mereka. Sayangnya bayi mereka meninggal saat usia kandungan Adel 7 bulan. Sebelumnya Adel terjatuh di kamar mandi dan mengalami pendarahan.
Keduanya sangat terpukul dan berusaha untuk saling menguatkan. Satu tahun berikutnya Adel kembali hamil tetapi janinnya hanya bertahan 3 bulan. Dan begitu pun tahun berikutnya. Mereka mulai berselisih pendapat dan sering bertengkar. Adel ingin sekali memiliki bayi tetapi Evan takut Adel terluka saat mereka mencoba memiliki bayi.
Tepat di ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Adel mengajukan gugatan cerai. Sejak itu mereka berpisah dan tak pernah bertemu lagi. Adel mendapatkan kesempatan untuk mengabdi sebagai guru di sebuah SMA di tempat kelahirannya. Sementara itu Evan pergi ditugaskan oleh tempatnya bekerja untuk belajar di Korea.
       “Lia….” Sosok yang selalu hadir di mimpinya tiba-tiba berdiri di hadapannya.
       “Evaaann….” Adel terperanjat kaget.
       “Apa kabar?” Evan mengulurkan tangan. Adel tidak langsung menanggapinya karena Rosa meminta perhatiannya.
       “Nda, baksonya lagi!” Rosa menarik-narik tangan Adel agar membantunya membelah bakso di mangkuknya.
       “Boleh aku duduk?” Tanya Evan.
       “Oh iya, silahkan. Kamu mau makan bakso juga?” Adel tersenyum sambil meringis. Karena ia merasa jantungnya berdebar tak karuan.
       “Cantik ya! Berapa tahun usianya?” Evan memandangi Rosa yang tengah asyik makan baso.
       “Tiga setengah tahun.” Sahut Adel malu-malu.
       “Hai, siapa namanya?” Evan mengajak Rosa bicara.
       “Oca…. “ Sahut Rosa malu-malu.
       “Makannya berdua aja?”
       “Iya, papa kan kelja….” Sahut Rosa kemudian kembali menikmati baso aci kesukaannya.
       “Aku pernah melihat anak ini bersama Satria.” Evan menatap Adel yang bengong.             “Lalu kembali bicara pada Rosa, “Nama papanya Satria?”
       “Iya. Kok om tahu papa Oca.”
       “Om kan temannya Papa Satria.”
       “Iya gitu, Nda. Om temennya papa?” Rosa menatap Adel yang langsung mengangguk.
Saat Evan hendak bicara lagi seorang perempuan datang dan menghampirinya.
        “Sayang, tiap pelanggan yang bawa anak kecil pasti disapa.” Perempuan itu merengut kesal. “Ayo dong katanya mau lihat cabang yang di Kebon Kalapa.” Perempuan itu menarik Evan berdiri.
       “Lia, selamat menikmati basonya. Salam buat Satria ya!” Evan bangkit dengan sedih lalu pergi dengan perempuan itu.
        Sepeninggal Evan, Adel buru-buru mengajak Rosa pulang. Sebelumnya dia minta pelayan untuk membungkuskan 2 porsi bakso untuk dinikmati di rumah. Saat membayar di kasir, Adel baru tahu kalau kedai bakso kesukaannya dan Rosa adalah salah satu cabang kedai bakso yang dimiliki keluarga Evan.
       Kedai bakso Bian ini selalu dikunjungi Adel bersama Rosa. Selain karena nama kedainya yang mengingatkan Adel pada anaknya, rasa baksonya juga enak dan jenis baksonya bervariasi.
       Malam harinya saat Rosa sudah tertidur. Adel membuka kotak berisi barang-barang kenangannya dengan Evan yang dia simpan di bawah tempat tidurnya. Satu persatu dia keluarkan album kenangan mereka dan juga foto-foto hasil USG Bian. Adel menangis dalam diam. Dia sengaja menahan agar tangisnya tak bersuara. Dia takut Rosa terbangun.
        Beberapa hari kemudian Adel menolak saat Satria mengajaknya makan bakso aci Bian. Dia takut bertemu lagi dengan Evan. Setelah delapan tahun berlalu ternyata perasaannya pada Evan belum sepenuhnya pudar.
       “Mengapa kau membiarkan Evan berpikir kalau kita menikah?” Tanya Satria ketika mereka makan siang bersama di rumah Satria.
       “Sudahlah bang. Toh sekarang Evan juga sudah bahagia dengan orang lain. Sekarang coba ceritakan pertemuan abang dengan cinta pertama abang itu.” Adel mengalihkan pembicaraan.
       “Sekarang dia jadi dosen. Suaminya sudah lama meninggal dan dia kini menjanda.”
       “Abang ingin mengejarnya lagi?” Adel menggoda Satria.
       “Entahlah. Ada Rosa yang harus abang pikirkan.”
       “Apa pacar abang itu punya anak?”
       “Tidak. Dia bilang selama menikah mencoba untuk memiliki anak tapi Tuhan belum memberikannya dan suaminya keburu meninggal.”
       “Apa dia tahu kalau istri abang meninggal saat melahirkan Rosa?”
       “Belum. Dia hanya tahu kalau abang sudah punya anak dan menduda.”
       “Kalau abang masih mencintainya. Dekati dia. Berbahagialah dengannya. “
“Kau juga del. Kembali saja pada Evan.”
       “Abang ….” Adel merengut.
       “Kau ini selalu mendorong orang lain untuk mengejar kebahagian mereka. Kau malah menjodohkan calon-calon yang disodorkan padamu dengan teman-temanmu.” Satria menatap Adel lalu kembali bicara, “ kau juga berhak bahagia del. Sudah cukup kau menyiksa diri selama delapan tahun.”
       Adelia tidak menjawab. Dia hanya tertegun memandangi Rosa yang tengah berkeliling di pekarangan rumah menaiki sepeda barunya.

(Pertama diunggah 29052020 di FB)

Menjelang 40

       Satu tahun lagi usiaku genap 40. Tidak terasa aku hampir menjelang paruh baya. Apa saja ha yang telah kuraih? Coba kita pikirkan.
       Pertama, Berat badan. 
       Mengapa ini jadi hal yang perlu dibahas? Jawabnya adalah orang sering mengingatkanku tentang ini. Bahkan tak jarang mereka tertawa setelah membahasnya. Mulai dari komentar "Masa pantat besar bisa merasa sakit?", "Masa badan besar takut hantu?" sampai pada komentar "Mungkin kamu harus diet biar cepat punya momongan".
       Dulu aku akan melotot dan marah. Sekarang aku hanya akan melihat siapa yang berkomentar lalu menatapnya sekilas. Rasanya tak perlu menghabiskan energi untuk mendebat omongan mereka. Toh berat badanku tak berubah karena komentar mereka. Dan kupikir orang dewasa tak akan  berkomentar demikian.
       Kedua, karir. 
       Aku bersyukur Tuhan memberiku pekerjaan yang sesuai dengan hasratku. Aku menyukai bahasa dan sekarang menjadi guru bahasa. Bonusnya pekerjaanku ini sudah di-ACC negara. Meski pangkatku masih tetap seperti awal pengangkatan. Sistem kenaikan pangkat yang konon dipermudah belum memudahkan aku untuk naik pangkat. Mungkin tahun depan, Aamiin.
       Bisa kembali ke kampung halaman adalah karunia terbesar di tahun ini. Sebetah dan sebahagia apapun di daerah orang tetap aku ingin kembali ke kampung halaman. Aku ingin pulang dan pergi dari dan ke rumah sendiri. Aku berharap masih bisa menemani ibuku di waktu-waktu yang tak mengharuskanku berada di tempat kerja. 
       Dulu ibu selalu berkata, "karir yang paling cocok untuk perempuan adalah menjadi guru". Kalau guru dengan jam kerja seperti dulu mungkin. Jam kerja yang sekarang tidak seperti itu. 37,5 atau 40 seminggu harus dihabiskan di tempat kerja. Jadi semua pekerjaan sebaiknya diselesaikan di tempat sehingga waktu di rumah dikhususkan untuk me time dan family time.
        Ketiga, momongan. 
        Aku masih belum dipercaya untuk jadi seorang ibu. Cita-cita yang belum tercapai. Sedih? Galau? Menangis? Tentu. Namun, tidak sedahsyat dulu. Aku yang sekarang belajar sabar dan pasrah. Karena garis hidup manusia sudah ada yang menulisnya. 
       Berusahakah aku? Berdo'akah aku? Tentunya tak perlu ku umbar dan kuceritakan pada setiap orang yang bertanya. Ada hal-hal yang memang di luar kuasa kita. Dan harusnya semua manusia paham tentang itu.
       Tak perlu kiranya kita bertanya mendalam tentang jodoh, keturunan dan hal pribadi lainnya yang mungkin membuat orang yang kita ajak bicara merasa tidak nyaman.
       Keempat, tempat tinggal.
       Alhamdulillah, ayah mewariskan sebuah rumah untukku. Aku bersyukur karenanya. Meski rumahku sederhana, aku merasa tenang di dalamnya. Tak perlulah kudengarkan omongan orang tentang rumahku. 
       Komentar-komentar orang tak akan mengubah rumahku jadi bagus atau sebaliknya. Biarkan orang berkomentar. Mereka punya bibir yang tentunya tidak berada dalam jangkauan kendaliku. 
       Kelima, kendaraan.
       Lagi-lagi aku ingat komentar orang. Betapa mereka selalu memandang hidup orang lain segampang pandangan mereka. 
      Aku belum punya roda empat dan hanya punya roda dua. Alhamdulillah roda dua yang kumiliki ini telah mengantarku meraih gelar S2 dan berbakti di daerah orang sebelum akhirnya kembali ke kampung halaman.
       Mungkin nanti aku berencana memiliki roda empat. Tentunya setelah kupikirkan di mana memarkirkannya. Aku tak punya kantong doraemon untuk menyimpannya.
      Keenam, pendidikan.
      Meski belum diakui, pendidikan terakhirku itu magister. Perlu proses lagi untuk dapat membubuhkan gelar agar diakui tempat kerjaku. Itu bukan masalah besar. Ilmu yang kuperoleh tidak hilang dengan tidak dicantumkannya gelar. 
      Banyak hal yang kuperoleh saat meraih gelar magister. Layaknya ponsel yang di charge begitu pula pengetahuan tentang mata pelajaran yang kuajarkan. Bertambahnya persaudaraan dan relasi. 
       Banyak hal yang telah kuraih tapi tak bisa kubahas. Yang pasti aku sedang menempa diri untuk lebih bersyukur dan bersabar. Kedua hal itulah yang membantuku tetap menjaga kewarasan di tengah problematika hidup dan derasnya komentar netizen.

Finally 40

 Happy Birthday.... Saenghil Cukhae.... Barakallah Fii Umrik.... Yeay... Akhirnya sampai di usia ini. Dulu pernah berpikiran usia 40 itu sud...